Gejala pundak terasa berat sering kali menjadi hambatan dalam aktivitas sehari-hari. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan rasa tidak nyaman, tetapi juga dapat memperburuk…
Ritual Traveling Ke Jepang Saat Musim Dingin – Keindahan Shirakawa-go terhampar di depan saya. Rumah-rumah Gassho Style yang diliputi salju tebal membuat hati…
Makin bangga jadi warga Surabaya ketika melihat bangunan-bangunan tua yang sebelumnya hanya jadi pajangan kota sekarang telah berfungsi nyata. Ada yang disulap menjadi…
Ada yang kebiasaan ngegas di lampu merah saat warna kuning menyala? Awas hati-hati kesorot CCTV tau-tau dapat surat cinta dari Kepolisian. Cuman surat…
Pastinya banyak diantara teman-teman yang beranggapan bahwa kursus atau pelatihan hanya ditujukan untuk orang-orang yang masih belum bekerja atau para jobseeker. Padahal sebenarnya…
Bulan-bulan terakhir ini cuaca kota Surabaya sangat panas. Begitu terik. Tak hanya di luar rumah, didalam rumah pun udaranya ‘sumuk’ sekali.
Hingga kipas angin yang gak siang, gak malam, bahkan pagi hari pun terus berputar. Namun tetap tak membantu menyegarkan udara di dalam ruangan. Untungnya kipas angin saya tahan banting. Ups, jangan ngerasani kipas angin nanti baling-balingnya ngambek. Malah bikin repot nanti.
“Di kipasi panas, nggak dikipasi badan basah oleh keringat”
Begitu keluh saya setiap usai matikan kipas beberapa menit yang lalu karena sebelumnya anginnya mengganggu badan saya yang makin lama anginnya makin tak nyaman. Hawanya seperti paduan antara gerah dan isis yang kemudian menghasilkan udara meriang.
Tips saya untuk menghilangkan segala kegerahan adalah dengan memainkan tombol kecepatan. Biarlah tombol itu berganti setiap 10 menit asal saya bisa menikmati kipas angin ini. Dari pada saya harus bolak-balik ke kamar mandi untuk mengguyur badan. Nanti malah jadi boros air.
Saya tidak tau kenapa di wilayah tempat tinggal belum juga turun hujan. Padahal di kawasan Dinoyo, yang lokasinya tak jauh dari rumah saya sudah sering turun hujan bahkan sampai jalanannya tergenang air! itu berarti hujannya lebat banget, kan ya? Yang buat saya heran kenapa tempat tinggal saya gak dikasih cipratan air hujan barang seember pun, toh ya jarak nya cuma dibatasi sungai kali Mas aja. Ini mendungnya pilih kasih sih!
“Kebanyakan dosa!”
Selalu begitu jawaban yang diberikan orang-orang ketika saya bertanya kenapa di rumah saya tidak hujan-hujan?
Emang ada gitu hubungan antara hujan dan dosa?
Dosa kan relatif ya. Kalaupun sering melakukan dosa, upaya jitunya ya meminta ampun. Bukannya minta hujan, kan?
Yah terserah deh apa alasannya yang penting semoga tingkat kegerahan ini bisa diturunkan secepatnya supaya kipas angin saya segera istirahat untuk sementara waktu. Karena kipas angin ini sudah mulai menunjukkan gejala tidak beres. Tombol kecepatan sudah gak mau fungsi. Ditambah lagi penutup baling-balingnya suka bunyi-bunyi. Sudah dicoba betulin eh, bunyinya makin keras. Dari pada mengganggu pendengaran akhirnya penutupnya di copot. Jadilah kipas angin saya gundul. Harus makin waspada nih kalau ada anak kecil. Siapa tau dia melihat baling-baling muter, lalu tangannya di masukin ke dalam kipas angin.
Sebagai jaga-jaga kalau suatu saat kipas angin itu marah lalu mogok, lalu saya coba browsing di toko online Lazada.co.id .
Kalau nggak dikasih tau itu kipas, pasti sudah saya pake masak air 😀
Pas saya lihat di bagian peralatan rumah tangga saya melihat kipas angin yang bentuknya unik. Awalnya saya kira panci yang ada pegangannya. Eh ternyata kipas angin yang gak ada baling-balingnya. Konon kalau pakai kipas angin ini saya tak perlu mengatur sudut hembusaan! Ah, keren sekali..
Harus mulai nabung dari sekarang nih supaya bisa beli kipas angin cantik ini. Karena kalau kelamaan takut stock di Lazada Indonesia habis.
Sepertinya kurang afdhol ya kalau habis review buku tapi gak bagi-bagi buku. Naah supaya teman-teman juga bisa mendapatkan kisah lengkap dengan membaca sendiri bukunya maka saatnya saya bagi-bagi buku One More Chancenya Mbak Ninna Rosmina..
Syaratnya apa?
Syaratnya mudah. Teman-teman cuma diminta komentar aja di kolom komentar. Boleh di share di twitter atau di FB. Karena kemarin ada teman yang ngeluh gak bisa ikutan karena gak punya twitter maka sekarang semua syarat saya bebaskan. Asiik khaaan?
Jadi GA ini bisa diikuti semua orang. Baik yang gak punya blog, gak punya akun FB, gak punya Twitter. Tapi yang paling penting harus punya alamat rumah. Kalau gak punya alamat rumah gimana ngirim hadiahnya kalau misal menang?
Sekarang baca baik-baik soal berikut ini:
Tampilan cover novel One More Chance berwarna hijau dengan hiasan pita berwarna merah muda. Selain judul One More Chance sendiri, tertera juga nama penulisnya, Ninna Rosmina. Tagline yang tertera di bawah judul terdapat kata: Saat waktu menyempurnakan keinginan hati.
Pertanyaannya:
Jika di beri satu kesempatan hidup, apa yang akan teman-teman lakukan?
Barangkali ada yang bingung dengan pertanyaan ini, maka saya persilakan membaca review novelnya disini.
Jawaban saya tunggu hingga tanggal 16 November 2013. Ada waktu 5 hari untuk menjawabnya. Jadi beri jawaban yang menarik dan masuk akal. Satu pemenang terpilih akan mendapatkan 1 novel One More Chance dari penerbit Gagas Media.
Nah, kemarin saya sudah memposting review Novel One More Chance karya Ninna Rosmina. Supaya bedah buku Novel One More Chance ini lengkap sekarang saya akan mempersembahkan wawancara saya bersama Mbak Ninna Rosmina.
Berikut obrolan saya bersama Mbak Nina:
Assalamu Alaikum. Apa kabar Mbak Ninna? Sekarang sedang sibuk apa nih?
Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh. Alhamdulillah baik. Sekarang alhamdulillah masih sibuk menulis kok
Novel One More Chance (OMC) ini kan debut novel Mbak yang pertama, dari mana ide yang Mbak dapatkan?
Sebelumnya Novel OMC memang novel debut saya di GagasMedia. Tapi bukan novel pertama saya. Sebelumnya saya pernah menulis di Bukune dengan judul Cinta Yang Lain. Ide menulis novel ini awalnya dari membaca sebuah novel berjudul Ways To Live Forever, sekitar tahun 2008. Kemudian ini diperkuat setelah saya menonton acara infotainment mengenai seorang aktor senior yang berhasil mendapatkan titel S2 nya, padahal aktor ini tidak bisa bebas beraktiftas selain hanya berbaring di atas tempat tidur. Mungkin Mbak Yuni pernah mendengarnya, yaitu saudara Pepenk. Selain dari dua hal di atas, ada hal lainnya yang juga mendorong saya menuliskan novel bertema HARAPAN ini.
Bisa diceritakan proses pembuatan novel OMC ini mulai riset, penulisan hingga self editing?
Seperti yang saya katakan, idenya sudah ada sejak tahun 2008. Namun dalam perjalanan menulisnya, lumayan mendapatkan banyak halangan ya. Diantaranya saat itu, saya menulis tanpa memperhatikan plot atau outline, alias langsung menulis bebas seperti yang ada di kepala saja. Akibatnya sampai dengan halaman 180 masih belum memasuki klimaks dan belum ada tanda-tanda kata TAMAT akan ditorehkan. Akhirnya naskah ini mendekam di dalam laptop. Sampai akhirnya tahun 2012 kemarin, saya memutuskan untuk melanjutkannya,tapi tentu saja banyaaak yang harus saya hapus. Kalau mengenai jurusan Arsitektur, kebetulan memang saya berkuliah mengambil jurusan ini, dan sempat selama dua tahun bekerja di kontraktor. Sedangkan kalau untuk riset tentang Leukimia, banyak cara yang saya tempuh. Sampai akhirnya semua data sudah kumpul, baru saya mulai menulis. Berhubung karena waktunya mepet, saya tidak terlalu memiliki waktu untuk self editing sih… tapi saya coba sebaik mungkin
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaian novel ini?
Tidak menghitung dari tahun 2008, waktu penulisan memakan waktu kurang lebih dua bulan, tapi ditambah sebulan lagi untuk revisi dan editing, jadi total sekitar tiga bulan… mungkin lebih 😀
Bisa dibagikan sejarah Mbak dalam dunia kepenulisan.
Sejarah kepenulisan saya belum lama ya. Saya mulai benar-benar terjun di dunia kepenulisan sejak tahun 2011, ketika bergabung dengan Women Script and co. Dan kami sempat menerbitkan satu novel berantai yang ditulis oleh 16 penulis wanita berjudul Love Asset. Sejak itu seperti semua pintu mulai terbuka, naskah saya diterima diBukune, kemudian di Gagas Media. Barokallah Alhamdulillah. Padahal tahun-tahun sebelumnya sangat sulit sekali menembus penerbit, sampai saya hampir putus asa dan malah belajar menjahit.
Tokoh-tokoh di novel OMC banyak banget. Mengapa Mbak tidak meringkas cerita saja supaya tidak terlalu banyak nama yang muncul. Apakah Mbak tidak bingung dengan banyak nama-nama tersebut?
Hahaha… iya, lumayan banyak. Itu sudah lumayan berkurang daripada ketika awal saya menulisnya.mungkin kalau pembaca akan sedikit kesulitan, tapi karena rata-rata nama tokoh di dalam sini saya ambil dari nama-nama teman kampus saya, jadi lumayan terbantu. Mungkin yang perlu saya sampaikan, kunci para tokohnya adalah Vio, Cello, Rida, Rully, Rizki dan Wisnu.Oh, dan Pak Sani. Itu untuk yang dunia kampus. Untuk yang dunia SMA, karena bagian dari Flashback, hapalkan saya tokoh yang kalian sukai *tidak membantu sama sekali :p
Tentang Cello. Mengapa Mbak menggambarkan sosok dia sebagai lelaki berambut panjang. Bukankan lelaki berambut panjang biasanya mengesankan dia tidak romantis?
Tentang Cello, kenapa dia saya gambarkan berambut panjang tidak lain karena bagian dari simbol anak-anak teknik di kampus saya atau kampus lainnya pada tahun tersebut, kebanyakan mereka memanjangkan rambut, tapi mungkin memang jarang sampai ada yang melebihi punggung, tapi ADA 😀
Kesulitan apa yang Mbak hadapi selama menulis novel ini?
Seperti cerita di atas, ide cerita ini sudah ada sejak 2008, jadi tadi kurang lebih sudah saya jabarkan ya kesulitannya. Ditambah dalam pengkarakteran, mungkin itu juga sebabnya membuat novel OMC ini ada begitu banyak karakter. Ketika saya membayangkan plot dalam novel ini juga terbagi dua, yaitu masa kecil Vio sampai SMA, dan masa kini yaitu masa kuliahnya. Dan hal itu lumayan rumit, sehingga sepertinya kalau ingin saya tuliskan semua, novel ini bisa menjadi dua seri :p
Sekuel mana yang Mbak suka dan tidak suka dalam novel ini. Mengapa?
Saya tidak bisa mengatakan bagian mana yang saya tidak suka, karena saya menyukai kisah yang dialami oleh sang tokoh utama, dalam berjuang melawan takdirnya. Dia yang tadinya menjadi dingin dan tidak berperasaan, berubah ketika penyakit tersebut dialaminya. Bukannyamenjadiputus asa, Vio malah jadi lebih bersemangat menjalani hidup ini.
Bagaimana awal mulanya sehingga novel One More Chance ini berjodoh dengan Gagas Media?
Awal saya bisa menerbitkan di Gagas, saya kirim naskah saya berupa print out ke abang Christian Simamora. Sebulan kemudian dapat jawabannya. Tapi sebelum saya kirim, saya sempat salam sapa dulu selama beberapa lama dengan abang Chris, berkenalan. Sopan santun gitu deh. Kemudian saya bilang kalau saya mau kirim naskah, beliau bilang silahkan. Begitu sih 🙂 alhamdulillah jodoh
Tentang Jurusan Arsitektur. Dibanding pengetahuan penyakit Leukimia yang diderita Vio, sepertinya Mbak lebih bisa menceritakan secara detail tentag arsitektur. Apakah ini ada hubunganya dengan latar belakang pendidika Mbak atau orang terdekat?
Sudah saya jawab ya di atas. Saya kuliah Jurusan Arsitektur dansempat bekerja selama dua tahun di proyek bangunan.
Setelah hadir di msyarakat apakah Mbak puas dengan keseluruhan tampilannya seperti cover, isi cerita, susunan bahasa dan sebagainya. Andai ada yang tidak puas bagian mana itu? Mengapa?
Secara Cover saya sangat suka, isi cerita juga. Kalau susunan bahasa saya tidak bisa tidak suka, karena begitulah gaya saya dalam menulis, walaupun memang masih perlu bnyak diperbaiki dan banyak berlatih 🙂 Dan sayajuga tidak bisa bilang kalau saya tidak puas, karena novel ini sudah beredar di masyarakat. Kekurangan dari novel ini merupakan bagian dari saya, yang sebaiknya saya ambil pelajarannya dan berusaha menulis lebih baiklagi di karya saya yang berikutnya. InShaa Allah
Setelah OMC terbit dan dibaca oleh masyarakat, apa tanggapan mereka sejauh ini?
Sama aja ya, terbagi dua, ada yang suka dan tidak 😀
Di web Goodreads ada banyak komentar yang masuk tentang novel OMC ini, bagaimana cara Mbak menyikapi komentar pedas yang dilontarkan pembaca?
Mmmm… untuk yang berkomentar pedas sih, terserah mereka ya mba, itulah bagian dari dunia tulis menulis. Saya lebih suka diam dan terus berkarya 🙂
Lebih suka mana fiksi atau non fiksi? Seandainya harus menulis fiksi lagi Mbak ingin mengangkat tema apa? Dan kalau non fiksi mbak akan menulis apa?
Sejauh ini saya masih menyukai tema Harapan. Di dunia yang kejam ini, harapan itu sangat kita butuhkan. Oh, dan tema kesempatan kedua. Terus terang…. saya tidak bisa menulis non fiksi selain blog tentu saja
Sebetulnya pesan apa yang ingin Mbak sampaikan ketika menuliskan novel ini?
Sesulit apa pun, harapan itu pasti masih selalu ada. Jadi teruslah berjuang sampai akhir
Sebutkan 5 penulis Indonesia yang Mbak favoritkan! Mengapa?
Dyah Rinni – selain saya kenal dekat, mba Dyah tulisannya juga sangat segar dan menarik
AndreaHirata – Saya suka gaya bahasanya, bisa membuat saya tertawa tapi yang tidak berlebihan
Tere Liye – Dalam semua bukunya pasti banyak hikmah yang bisa kita petik
Ilana Tan – Gaya bahasanya seperti novel terjemahan, dan sangat romantis, tapi nggak vulgar
Achi TM – salut dengan mba Achi, sudah punya anak dua, masih kecil-kecil, tapi terus berkarya. Komitmennya dalam mengurus keluarga dan karir patut diacungi jempol
Sebutkan 3 buku fiksi dan non fiksi favorit Mbak!
Buku Fiksi – nggak cukup kalau hanya disebutkan tiga 🙂
Buku Non Fiksi – Kebanyakan buku traveling
Pertanyaan ini berhubungan dengan blog. Menurut Mbak blog yang bagus itu yang seperti apa?
Yang rajin posting alias update banget, ceritanya menarik, banyak foto-fotonya. Itu aja sih, standar sayanggak tinggi untuk blog
Mbak Ninna kan punya blog nih, bagaimana cara Mbak membagi waktu antara posting blog, BW dan menulis novel?
Sebelumnya BW itu apa ya? Kebetulan saya tidak termasuk rajin menulis blog. Jadi sejauh ini saya tidak mendapat kesulitan untuk membagi waktu antara mengisi blog atau menulis novel. Justru kesulitan saya antara membagi waktu dengan keluarga dan menulis novel.
Bagaimana cara Mbak menyiasati block writer?
Saya tipe yang nggak ngoyo,kalau lai mentok, saya bawa refreshing dulu. Hal itu otomatis kok, setelah segar biasanya pasti ingin kembali menulis.
Apa pesan Mbak buat teman-teman yang ingin menulis novel?
Banyak berlatih, kursus kalau perlu, banyak-banyak membaca, dan jangan pernah menyerah mengirimkan karya kalian ke penerbit.
Waaaahhh.. baru sadar kalau pertanyaan saya kepada Mbak Ninna buanyaak banget. Untung saja Mbak Ninna orangnya baik dan cepat responnya sehingga saya bisa bertanya-tanya lagi.
Buat teman-teman yang ingin ngobrol-ngobrol dan bertanya seputar kepenulisan kepada Mbak Ninna Rosmina bisa melalui:
Facebook: Ninna Rosmina
Twitter : @NinnaKrisna
Blog : http:nichi-781.blogspot.com
Tentang Ninna Rosmina
Foto: Dok pribadi Mbak Ninna
Seumur hidup, Ninna Rosmina habiskan di kota besar ini. Tapi berkat pekerjaan suami, dia jadi bisa merasakan yang namanya naik pesawat terbang untuk pertama kalinya dan juga bisa menginjakkan kaki diatas tanah selain kota Jakarta. Sangat hobi menonton acara Amazing Race dan juga membaca buku-buku travelling, dia jadi terinspirasi untuk bisa keliling dunia dengan budget murah, bahkan kalau bisa gratis
Naif, tapi itulah cinta yang kurasa. Tak sepadan dengan waktu yang selalu tepat waktu.
Tapi tahukah kamu dimana letak ironisnya situasi ini, ketika menyadari cintaku ternyata berbanding terbalik dengan perjalanan waktu.
Pintaku ini nyaris mustahil. Tapi, jika memang bisa, sudikah waktu berhenti sejenak untuk mengabulkan ingnku, agar bersamanya lebih lama lagi? Karena bersama dia selamanya pun sebenarnya tidaklah cukup…
Ada yang bilang kalau mereview blog tidak boleh mengatakan jelek atau bagus. Akan tetapi sah-sah saja kan jika saya memberikan kritikan sebagai ungkapan ketidakpuasan saya walau sebetulnya bukan ingin berkata nyinyir terhadap penulisnya.
Seperti kebiasaan saya setiap akan membeli buku, saya terlebih dulu melihat covernya dan membaca sinopsisnya. Kalau perlu mengintip juga isinya. Tentu saja saya mengintipnya menggunakan buku yang kemasannya sudah terbuka.
Sama halnya ketika memilih novel One More Chance (OMC) karya Ninna Rosmina. Saat membaca judulnya saya pikir novel ini menceritakan suatu hubungan yang sudah terjalin kemudian retak lalu salah satu pelakunya ingin kembali lagi. Ternyata dugaan saya salah, novel ini malah menceritakan seorang gadis yang menderita Leukimia. Hmm.. bisa juga sih, walaupun agak-agak gimanaa gitu, karena penyakit ini kan biasanya berhubungan dengan umur. Dan tebakan saya mungkin endingnya meninggal dunia. Ternyata benar.
Diawal-awal cerita penulis tidak menyebutkan nama penyakit yang diderita Dawai atau Vio, sang tokoh utama. Akan tetapi saya yakin pembaca bisa langsung menebak nama penyakit itu.
Yang membuat aneh menurut saya adalah nama sang tokoh. Violina Dawai Martadipura (dipangil Dawai dan Vio) dan Anugrah Putra Cello (dipanggilnya Cello). 2 Nama yang berhubungan dengan musik. Buat Cello mungkin pantas karena dia seorang gitaris band dikampusnya. Sedangkan Vio, dalam dirinya tidak ditemukan sesuatu sama sekali yang berhubungan dengan musik, melodi atau lagu. Nyanyi aja yang dihapal Cuma It’s my life Bon Jovi. Dan penulis juga tidak menyinggung latar belakang orang tuanya Dawai sebagai penyanyi atau pecinta seni.
Vio kuliah di jurusan Arsitektur, jurusan yang biasanya dihuni para cowok-cowok, namun dinovel Vio seolah tak memiliki teman cowok, kecuali kakak tingkat atasnya seperti Cello, Wisnu dan Rizky. Teman-teman Vio yang sering disebut Rully dan Rida.
Awal ketertarikan Vio mengambil jurusan ini karena terpesona dengan Cello saat menonton konsernya. Dia tertarik karena Cello memiliki rambut gondrong.
Dari awal membaca novel ini saya begitu sulit menemuka benang merah. Hingga bab ke 15, saya tak menemukan gregetnya. Adegan yang muncul masih Vio yang terus menerus ngejar-ngejar Cello. Bahkan beberapa bab saya diajak membaca kisah Vio ketika duduk dibangku SMA. Saya nggak ngerti maksud bab ini apa. Disana diceritakan Vio menjadi anak yang kaku, gak mau bergaul dengan teman-teman, bergabung menjadi anak geng, hingga ikut-ikutan balap motor liar. Kesannya cerita ini makin melebar kemana-mana.
Rasa haru novel ini baru muncul di bab akhir, yaitu saat Vio berada di detik tutup usia. Vio dan Cello duduk di taman. Sambil menyandarkan kepala di bahu Cello Vio berpesan agar Cello mau menjaga Putri Dawai, puteri mereka.
Vio tak menyesal kalau harus meninggal saat itu karena dia merasa 100 wishesnya sudah terisi penuh: jatuh cinta, merasakan patah hati, menikah, memiliki anak, dan meninggal dalam pelukan lelaki yang mencintai da dicintai olehnya.
Aku tahu kalau Tuhan itu Maha Adil, aku diciptakan oleh-Nya dengan sangat sempurna tanpa kekurangan satu apa pun dan aku diberikan akal untuk berpikir. Bahkan sampai detik ini, aku tetap merasa sempurna
Membaca novel ini secara keseluruhan membuat saya tidak begitu nyaman. Karena selama saya berkutat dengan halaman tulisan bukan cerita yang saya dapatkan tetapi saya jadi seperti mendengarkan orang ngobrol. Kalau obrolan berbobot dan masih ada hubungan cerita sih gak masalah, tapi obrolan yang saya dapatkan kesannya bertele-tele. Anak gaul bilang menye-menye. Entahlah apa itu artinya. Obrolan yang mestinya gak perlu seharusnya gak usah dibuat panjang yang akhirnya malah menghabiskan halaman tanpa memberi cerita berbobot.
Untuk adegan. Ada catatan yang menurut saya janggal. Yaitu saat Cello mengajak Vio nikah. Biasanya dalam adegan romantis-romantisan seorang lelaki yang mengajak nikah cewek menggunakan kata-kata mesra atau sikap yang menunjukkan keseriusan. Menurut saya kalau Cello ngajak nikah trus bilang, “Vio, yuk kita nikah” kok kayaknya seperti ngajak makan bakso, ya.. dataaaar bangeet..
Apalagi saat mengutarakan itu dikatakan kalau Cello keluar dari ruang sidang lalu mendekati Vio yang berdiri di kaca jendela. Namun di bab selanjutnya diungkit kembali bahwa Cello mengucapkannya di koridor kelas, didepan seluruh mahasiswa dan dosen yang hadir sehingga mendapatkan banyak tepuk tangan. Mana nih yang bener?
Satu lagi, untuk panggilan. Kadang dipanggil Vio, kadang Vi. Kalau buat saya sih enaknya Vi. Sebagai catatan lebih baik tidak menggunakan banyak panggilan seperti Dawai, Vio, Vi. Cukup satu saja asal pas ditelinga.
Yang paling saya suka adalah tampilan covernya. Berwarna hijau dengan pita warna merah. Pita ini yang membuat novel ini enak dilihat karena berhubungan dengan penderita kanker.
Judul: One More Chance
Penulis: Ninna Rosmina
Penerbit: Gagas Media
Terbit: Cetakan pertama, April 2013
ISBN: 979-780-642-1
Halaman: 313
Ukuran: 13 x 19 cm
Harga: Rp. 48.000
Akan ada 1 eksemplar buku lampau dari Gagas Media yang diberikan kepada 1 teman beruntung. Syaratnya gak susah kok, simak berikut ini:
Follow twitter @Gagasmedia. Kalau mau memfollow twitter saya juga boleh di @yuninukti (ini gak wajib, difollow Alhamdulillah, gak difollow naudzubillah hehe)
Baca review novel lampau di sini dan wawancaranya di sini
Jawab pertanyaan ini:
Apa yang teman-teman pikirkan saat membaca kata lampau
Jawaban ditulis di kolom komentar ini dengan format:
Nama:
Akun twitter:
Jawaban:
Dari semua jawaban yang masuk akan dipilih yang paling unik dan menarik untuk mendapatkan 1 novel lampau dari Gagas Media.
Supaya agak lama, jawaban saya tunggu hingga tanggal 15 November 2013 ya..Jadi, jangan sampai ketinggalan ya, berikan jawabanmu seunik dan semenarik mungkin
Setelah kemarin saya mengupas novel Lampau, karya Sandy Firli, kini saya berkesempatan mewawancarai sang penulis.
Buat saya kesempatan ini sangat berharga mengingat sebelumnya saya belum pernah mewawancarai seseorang untuk dijadikan sebagai postingan.
Supaya lebih akrab saya panggil Sandi Firly dengan sebutan Abang. Kenapa harus Abang, karena itu permintaan Bang Sandy sendiri. Dan sepertinya panggilan Bang lebih enak didengar ketimbang saya memanggilnya Om. Bang Sandy bilang panggilan Om tidak mengesankan seorang penulis tetapi lebih kepada ‘Om-om’ berkepala agak botak, perut buncit dan mungkin nakal. Tentu saja gambaran ini berlaku buat Om dengan tanda kutip yang ada dalam fiksi. Bukan Om beneran ya.. 😀
Oke, saya mulai saja wawancaranya:
Apa kabar, Bang Sandi? Kesibukannya apa sekarang selain menulis novel?
Kabar baik. Kesibukan rutinitas tetap sebagai redaktur di koran harian Media Kalimantan
Bisa diceritakan Bang bagaimana perjalanan Abang sehingga bisa menjadi penulis seperti sekarang ini?
Proses menjadi penulis cukup panjang ya.. Sudah pasti karena suka membaca sejak kecil. Awal yakin memiliki bakat menulis, waktu di SMA sering diminta teman-teman menuliskan surat untuk cewek yang mereka taksir, walau sebenarnya keseringan ditolak juga. Tapi kukira itu bukan karena isi suratnya yang jelek, tapi karena teman saya sendiri yang jelek, haha…
Sebagai seorang redaktur pelaksana Media Kalimantan, bagaimana cara Abang membagi waktu antara bekerja dan menulis?
Sebagai redaktur sebagian besar pekerjaan saya pada waktu malam. Dan saya menulis novel setelah pulang kerja, biasanya di atas pukul 12 malam. Kalau tidak ngantuk, bisa sampai subuh.
Selama ini Abang sudah menerbitkan sejumlah cerpen di Media. Kalau boleh tau berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam membuat cerpen?
Kalau untuk menulis cerpen, waktu yang diperlukan bisa beberapa jam (mungkin juga ada penulis yang tak lebih dari satu jam), bisa sehari, bisa beberapa hari, bisa seminggu, bisa sebulan, bahkan bisa saja setahun. Kukira, penulis lainnya juga begitu. Tergantung cerpennya itu sendiri, memang bisa diselesaikan cepat atau tidak.
Sedangkan untuk novel lampau, bisa diceritakan bagaimana tahap-tahap penulisannya dari mulai riset, menulis, hingga self editing? Dan berapa lama total waktunya?
Novel Lampau diselesaikan sekitar 3-4 bulan.
Lampau semula berawal dari cerita pendek yang saya tulis dengan judul Perempuan Balian (cerpen ini diterbitkan koran Kompas pada Juni 2012, dan kemudian juga terpilih dan termuat dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2012)
Namun, saya merasa cerita tentang Perempuan Balian ini masih bisa saya tuliskan lebih panjang lagi dalam bentuk sebuah novel. Terlebih lagi, saya juga memiliki pengalaman terhadap setting cerita, yakni Loksado, sebuah kecamatan di pedalaman Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, yang sebelumnya sudah berkali-kali saya kunjungi.
Saya pun kemudian menarik kembali kenangan-kenangan masa lalu ketika mengunjungi kampung Malaris, Loksado, serta saat mengarungi jeram Sungai Amandit yang cukup deras dan berbatu-batu besar. Juga gunung Kantawan yang begitu menawan.
Salah satu ritual yang menarik di Loksado adalah upacara Aruh yang biasanya dilaksanakan saat akan memulai masa tanam, panen, serta pengobatan. Ritual ini biasanya dipimpin oleh seorang Balian, yang merupakan tokoh masyarakat setempat. Dan tokoh ini mesti seorang laki-laki, tdalam struktur masyarakat setempat tidak dikenal seorang perempuan menjadi Balian. Paling tinggi jabatan seorang perempuan dalam ritual ini hanyalah sebagai pinjulang, atau pembantu Balian laki-laki.
Lalu, saya kemudian mengandaikan bagaimana bila ternyata ada seorang perempuan yang memiliki ilmu setinggi seorang Balian laki-laki? Dan dalam buku referensi yang saya baca, memang ada seorang perempuan yang memiliki ilmu setara dengan seorang Balian laki-laki.
Dalam proses penulisan, saya kemudian memasukkan tokoh Sandayuhan (Ayuh), seorang anak laki-laki dari Balian perempuan bernama Uli Idang. Ayuh sendiri adalah sebuah nama dari seorang pemuda yang diyakini sebagai nenek moyang dari suku Dayak di Pegunungan Meratus dulunya. Ayuh inilah yang kemudian justru menjadi tokoh utama dalam novel Lampau. Karena memang tokoh Ayuh yang kemudian paling berkembang, mulai dari masa kecil, perjuangannya dalam mendapatkan pendidikan, hingga kemudian merantau sampai Jakarta.
Ketika menulis novel lampau, kesulitan apa yang pernah Abang hadapi?
Sejujurnya saya tidak mengalami banyak kesulitan dalam penulisan Lampau.
Novel lampau mengambil setting di Kalimantan Selatan. Untuk mendalami karakter setting ini apakah Abang harus melakukan riset dulu dengan pergi ke Kalimantan Selatan atau bagaimana, sedangkan Abang sendiri berasal dari Kalimantan Tengah?
Saya sudah lama tinggal di Kalimantan Selatan, dan memang sudah cukup sering ke Loksado, yang menjadi setting Lampau.
Novel lampau ini kan sebagian besar bercerita tentang kehidupan Balian. Darimana Abang mendapatkan ide membuat nama Sandayudan, Uli Idang, dan Amang Dulalin?
Nama Sandayuhan memang diambil dari nama yang konon katanya adalah nenek moyang orang Dayak pegunungan Meratus (seperti diceritakan juga di dalam novelnya). Sedangkan nama seperti Uli Idang atau Amang Dulalin, adalah nama yang begitu saja melintas di benak saya, yang saya kira memang cukup tepat dengan karakter masing-masing—karena nama orang-orang pegunungan di sana juga kebanyakan unik.
Novel lampau sendiri lebih banyak menceritakan tentang Balian, lalu mengapa Abang memberikan judul Lampau? Mengapa tidak Balian supaya lebih unik, begitu?
Awalnya novel ini memang saya beri judul Balian. Namun saat didiskusikan dengan editor dan redaksi GagasMedia, akhirnya dipilihlah judul Lampau— sudah pasti lewat banyak pertimbangan.
Bisa diceritakan bagaimana awal mulanya sehingga Abang memilih Gagas Media sebagai penerbit novel Abang yang pertama?
Lampau “berjodoh” dengan GagasMedia, karena saya sebelumnya sudah kenal dengan Gita Romadhona yang menjadi editor novel ini. Kami pertamakali bertemu saat Kongres Cerpen Indonesia (KCI) di Riau tahun 2005—waktu itu Gita masih mahasiswa di UI Depok. Nah, ketika bertemu lagi lewat chatting di Facebook tahun 2012, ternyata dia sudah kerja di GagasMedia, dan kebetulan naskah novel ini sudah hampir selesai. Lalu saya tawarkan, dan… akhirnya jadilah Lampau diterbitkan GagasMedia
Bagian / cerita mana yang Abang suka dan tidak suka di novel lampau?
Hahaa…sebenarnya saya suka semuanya. Tapi kalau disuruh memilih yang paling suka, saya terkadang terharu sendiri kalau membaca bagian ketika Amang Dulalin menuliskan surat kepada Anna, bule Amerika, saat perpisahan. Dan dia tidak mencuci wajahnya yang dicium Anna selama seminggu lantaran katanya, ”Bibirnya serasa masih menempel di pipiku.”
Seandainya memilih, Abang harus pilih siapa? gadis berkepang dua atau gadis berwajah teduh?
Nah.., justru itu, saya ingin bertanya kepada pembaca Lampau—karena sekarang saya sedang menggarap sekuel lanjutannya. Anda sendiri menyarankan memilih siapa?
Tuliskan pendapat Abang tentang novel lampau dalam 5 kata!
Mestinya bagian pertanyaan ini diajukan kepada pembaca. Kalau diharuskan saya menjawab, saya hanya ingin bilang, ”Ini tentang keberanian mencintai dan bermimpi”.
Ketika menulis novel lampau ini pesan apa yang sebetulnya ingin Abang sampaikan kepada pembaca?
Seperti terdapat di novel ini, banyak pesan (tanpa terkesan menggurui) yang bisa dipetik pembaca. Salah satunya adalah, “bahwa untuk bisa merasakan manisnya sebuah mimpi, seringkali memang diperlukan perjuangan dan pengorbanan”.
Bisa disebutkan 5 penulis di Indonesia yang paling Abang sukai. Dan mengapa?
Lima (5) penulis Indonesia yang saya suka; Ahmad Tohari, Seno Gumira Ajidarma, Goenawan Mohamad, dan Ayu Utami; karena merekalah yang menjadi inspirasi saya awal-awal menjalani dunia kepenulisan. Oh, baru empat ya? Satunya lagi, saya sendiri, hahaa…. Ya, sebenarnya masih banyak penulis Indonesia yang saya sukai.
Sebutkan 3 buku fiksi dan non fiksi yang Abang sukai!
Tiga (3) buku fiksi yang saya suka; Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Il Postino (Antonio Skarmeta), dan Of Mice and Men (John Steinbeck). Tiga (3) buku nonfiksi yang suka: Catatan Pinggir (Goenawan Mohamad), On Writing (Stephen King), dan Pembebasan Manusia (tulisan buah pikiran terdiri dari banyak tokoh, di antara: Albert Einstein, Arnold Toynbee, Jean-Paul Sartre, John F. Kennedy, Karl R. Popper, Martin Luther King Jr, Mohammed Arkoun, dll)
Lebih suka mana menulis cerpen, novel atau berita?
Saya menyukai ketiganya. Namun menulis novel keasyikannya bisa dinikmati lebih lama.
Seandainya menulis buku non fiksi, apa yang ingin Abang tulis? Dan genre apa yang Abang pilih.
Menuliskan orang-orang pedalaman Kalimantan, dengan bentuk “jurnalisme sastrawi”
Apa rencana Abang selanjutnya dalam hal tulis menulis?
Saya sedang mengerjakan dua novel, salah satunya sekuel Lampau
Apa yang Abang lakukan ketika sedang menulis kemudian mengalami ide mandeg yang datang tiba-tiba?
Ini pertanyaan yang sering ditanyakan calon penulis yang sebenarnya juga pasti pernah dialami para penulis. Jawabannya pun bermacam-macam, dan kukira jawaban yang terbaik adalah dengan banyak membaca lagi, membaca lagi. Aku lebih suka mengistilahkan ide mandeg atau block writer ini seperti mobil mogok. Mobil yang mogok tidak akan pernah bisa bergerak apabila ditinggalkan, atau tidak ada upaya keras untuk mendorongnya. Jadi, jangan pernah tinggalkan tulisan yang sudah Anda tulis, dan terus dorong dia dengan berpikir lebih keras dan dengan segala bantuan atau inspirasi apapun agar tulisannya bisa terus bergerak, jalan, dan kembali bisa lancar.
Beri saran dong Bang bagaimana supaya sukses menulis buku, karena banyak teman mengeluh tidak bisa menyelesaikan novelnya
Perlu disiplin dalam menulis, dan upaya yang “keras kepala” untuk menyelesaikannya.
Yang terakhir, Bang. Apa pesan khusus buat teman-teman yang sedang belajar menulis fiksi
Banyak orang yang bercita-cita jadi penulis fiksi, namun sebagian cita-cita itu hanya ada dalam kepalanya tanpa upaya keras untuk mewujudkannya, dan akhirnya cita-citanya hanya menjadi fiksi. Tak ada cara lain untuk menjadi penulis (fiksi), selain menulis, menulis, dan menulis.
Itulah beberapa pertanyaan yang saya ajukan kepada penulis Lampau, Bang Sandi Firly. Orangnya ramah dan asyik diajak ngobrol. Sengaja, selain bertanya tentang debut novelnya saya juga menyelipkan pertanyaan-pertanyaan seputar dunia kepenulisan. Hal ini supaya menjadi penyemangat buat diri saya sendiri dan mungkin buat teman-teman yang membaca postingan ini agar selalu semangat menulis, terlebih lagi semangat melanjutkan draft buku yang (seperti saya) mandeg dan belum ada kabar kapan diselesaikan 😀
Supaya lengkap, dibawah ini ada penampilan Bang Sandi dengan latar cerpen karyanya
Aku mengingatmu, gadis berkepang dua. Di jalan menyusuri masa kecil. Senyum manis, cinta pertamaku. Mengingatmu adalah perjalanan panjang kembali ke buku-buku bergaris masa sekolah dasar, pensil warna, dan mimpi-mimpi beralur manis.
Gadis berkepang dua dengan senyum semenarik krayon warna, kau juga mengingatkaku pada takdir. Takdir yang lekat akan gemerincing denting gelang hiyang perunggu dalam iringan tetabuhan gendang, dan senandung mantra-mantra yang dengan sendirinya dapatkubaca.
Hingga bayangmu kutinggalkan dalam frame tua. Aku menemui gadis lain berwajah teduh. Gadis yang tak mengingatkanku pada takdir yang menunggu. Gadis yang membuatku tahu bahwa hidup bukan sekadar menjalani takdir yang kita tahu.
Namun gadis berkepang dua, jalanku memutar, entah mengapa seolah ujungnya ingin menemukanmu. Senandung mantra siapa yang akan aku jelmakan, kali ini?
Usai membaca ini harapan saya selanjutnya mendapat suguhan akan kisah seorang lelaki yang dilanda kebimbangan, bingung memilih antara dua cinta yang pernah dan tengah bersemi. Melabuhkan cintanya kepada gadis berkepang dua atau kepada gadis berwajah teduh.
Adalah Sandayudan, biasa di panggil Ayuh, dari desa Malaris, Kecamatan Loksado, nama daerah di pedalaman Kalimantan Selatan. Ayuh adalah anak Uli Idang, seorang Balian terkemuka yang memiliki Ilmu tinggi dalam menyembuhkan orang sakit bahkan yang akan meninggal sekalipun.
Sebagai Ibu yang membesarkan anaknya seorang diri, Uli Idang berharap agar kelak Ayuh dapat menjadi Balian seperti dirinya. Mewarisi Ilmunya lalu menggunakannya untuk membantu orang lain serta dirinya sendiri.
Namanya Amang Dulalin, sepupu Uli Idang. Sebagai pecinta buku Amang Dulalin berjasa membuka cakrawala Ayuh, bahwa kehidupan tidak hanya ada di kampung Loksado saja, tetapi masih ada kehidupan di luar sana yang lebih indah dan lebih megah.
“Ayuh, bila kau ingin melihat dunia, mengintiplah lewat buku-buku itu”
“Untuk bisa mengunjungi daerah, kota dan negeri lain, tidak mesti harus memiliki harta yang banyak. Cukup dengan ilmu. Ilmu bisa membawamu kemana saja”
Kata-kata penyemangat yang diucapkan Amang Dulalin kepada Ayuh.
Kebiasaan membaca buku-buku milik Amang Dulalin, Ayuh menjadi lupa akan ilmu Balian yang akan segera diwariskan Ibunya. Selepas SD Ayuh ingin melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Keterbatasan biaya dan pertentangan sebagai pemilik garis keturunan seorang Balian membuat Ayuh harus memaksa masuk ke Pondok Pesantren di Banjar Baru tanpa biaya dengan syarat bekerja merawat Pondok.
Rupanya ketegasan dan sifat kepemimpinan Ayuh telah menerpanya menjadi lelaki yang tangguh. Perjalanan hidup Ayuh tanpa disangka-sangka membawanya ke Jakarta, dan menjadikannya seorang penulis sukses.
Ditengah keberhasilannya itu Ayuh menemukan kembali gadis berkepang dua yang dulu sempat ditambatkan hatinya. Sayangnya pertemuan itu bertepatan dengan Ayuh yang menemukan lebih dulu gadis bermata teduh.
Berlainan itu harapan Uli Idang agar Ayuh menjadi seorang Balian terus menerus merasukinya. Di malam-malamnya mimpi-mimpi itu terus hadir yang dianggap petanda bahwa dia adalah seorang Balian. Pertarungan batin Ayuh menjadi berliku karena Ayuh tidak ingin menjadi seorang Balian. Alasanya Ayuh tidak pernah melaksanakan upacara adat, Ayuh tidak pernah menghafal mantra, walaupun sebenarnya Ayuh juga merasa bahwa dia memiliki kekuatan yang tak disangka-sangka.
**
Secara keseluruhan, isi buku ini lebih banyak mengisahkan tentang liku-liku hidup seorang Balian. Tak seperti kalimat blurp di belakang covernya, kisah cintanya justru hanya sepenggal saja.
Sebagai bacaan, novel lampau tak jenuh untuk dibaca. Bahasa cerpen yang digunakan sangat indah, mengalir apa adanya tanpa kesan menggurui.
Sandi Firly cukup pintar dalam mengolah alur. Alur maju dan mundur yang dipakai dalam pengemasan novel ini sangat memukau. Ia juga piawai menyusun sub bab sehingga pembaca seperti tak sadar telah berada di bagian selanjutnya.
Kalimat-kalimatnya disusun baku namun santai yang mengupas kehidupan suku Dayak, suku yang selama ini sangat dikenal tetapi jarang diangkat kedalam cerita. Hal ini sangat bagus agar kehidupan dan kebudayaan suku Dayak semakin dikenal.
Ketika saya menginjak pada bab: Lelaki, Ayahku, halaman 45-61, saya terkaget karena font yang di gunakan tiba-tiba berbeda dengan sebelumnya. Lebih kecil dan tidak nyaman. Saya pikir ada kesalahan pada editornya. Namun setelah saya ikuti terus, pada bagian akhir fontnya kembali lagi seperti awal. Ternyata penulisan font yang berbeda itu sebagai pembeda antara cerita sebenarnya dengan kisah yang diceritakan oleh Amang Dulalin. Tidak seperti novel lainnya, biasanya perbedaan font tidak berlaku untuk bagian yang menceritakan kembali. Entahlah mungkin penulis berniat baik supaya pembaca tidak bingung mengikuti alur.
Judulnya sendiri, Lampau, menurut saya kurang sesuai dengan isi cerita. Memang isi dalam buku ini banyak memuat cerita masa lalu, apalagi diikuti kata-kata: yang menjelma kini, yang mewujud lalu. Tetapi menurut saya lebih pas jika judulnya diubah menjadi Balian. Sebab sebagian besar buku ini menceritakan kehidupan seorang Balian. Akan tetapi kembali lagi kepada sang penulis, mungkin Sandi Firly memiliki pertimbangan tersendiri mengapa buku itu diberi judul lampau.
Untuk buku ini saya kasih jempol 4 deh buat editornya. Karena dari awal hingga akhir membaca buku ini saya hanya menemukan sedikit sekali kesalahan tulis. Setidaknya saya telah menemukan 2 kata yang salah. Tetapi itu tak jadi masalah karena kesalahan tulisnya hanya 1 huruf dan tak begitu mengganggu.
Dan untuk joke-jokenya lumayan segar dan lucu. Saya suka cara menyuguhkannya sehingga tak terasa garing ketika dibaca.
Terakhir, selamat buat Bang Sandy yang telah sukses menerbitkan buku. Meskipun lampau ini adalah novel pertama yang di terbitkan tapi buat saya layak bersanding dengan penulis novel sekelas A. Fuadi atau Tere Liye
Lahir pada 16 Oktober 1975 di Kuala Pembuang, Kalimantan Tengah. Seusai menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin pada 1999, ia bekerja sebagai wartawan; 2000-2009 menjadi wartawan dan redaktur pelaksana di Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group), 2009-2010 menjabat sebagai pemimpin redaksi Radar Bandung (Jawa Pos Group), dan sejak 2010-sekarang bertindak sebagai redaktur pelaksana Media Kalimantan.
Sejumlah cerita pendeknya dipublikasikan di media cetak nasional, antara lain KOMPAS, Jurnal Cerpen Indonesia, dll. Novel perdananya, Rumah Debu (November 2010), membawanya pada perhelatan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2011 di Ubud, Bali