[Gagas Debut] Review Novel: Lampau
Aku mengingatmu, gadis berkepang dua. Di jalan menyusuri masa kecil. Senyum manis, cinta pertamaku. Mengingatmu adalah perjalanan panjang kembali ke buku-buku bergaris masa sekolah dasar, pensil warna, dan mimpi-mimpi beralur manis.
Gadis berkepang dua dengan senyum semenarik krayon warna, kau juga mengingatkaku pada takdir. Takdir yang lekat akan gemerincing denting gelang hiyang perunggu dalam iringan tetabuhan gendang, dan senandung mantra-mantra yang dengan sendirinya dapatkubaca.
Hingga bayangmu kutinggalkan dalam frame tua. Aku menemui gadis lain berwajah teduh. Gadis yang tak mengingatkanku pada takdir yang menunggu. Gadis yang membuatku tahu bahwa hidup bukan sekadar menjalani takdir yang kita tahu.
Namun gadis berkepang dua, jalanku memutar, entah mengapa seolah ujungnya ingin menemukanmu. Senandung mantra siapa yang akan aku jelmakan, kali ini?
Usai membaca ini harapan saya selanjutnya mendapat suguhan akan kisah seorang lelaki yang dilanda kebimbangan, bingung memilih antara dua cinta yang pernah dan tengah bersemi. Melabuhkan cintanya kepada gadis berkepang dua atau kepada gadis berwajah teduh.
Adalah Sandayudan, biasa di panggil Ayuh, dari desa Malaris, Kecamatan Loksado, nama daerah di pedalaman Kalimantan Selatan. Ayuh adalah anak Uli Idang, seorang Balian terkemuka yang memiliki Ilmu tinggi dalam menyembuhkan orang sakit bahkan yang akan meninggal sekalipun.
Sebagai Ibu yang membesarkan anaknya seorang diri, Uli Idang berharap agar kelak Ayuh dapat menjadi Balian seperti dirinya. Mewarisi Ilmunya lalu menggunakannya untuk membantu orang lain serta dirinya sendiri.
Namanya Amang Dulalin, sepupu Uli Idang. Sebagai pecinta buku Amang Dulalin berjasa membuka cakrawala Ayuh, bahwa kehidupan tidak hanya ada di kampung Loksado saja, tetapi masih ada kehidupan di luar sana yang lebih indah dan lebih megah.
βAyuh, bila kau ingin melihat dunia, mengintiplah lewat buku-buku ituβ
βUntuk bisa mengunjungi daerah, kota dan negeri lain, tidak mesti harus memiliki harta yang banyak. Cukup dengan ilmu. Ilmu bisa membawamu kemana sajaβ
Kata-kata penyemangat yang diucapkan Amang Dulalin kepada Ayuh.
Kebiasaan membaca buku-buku milik Amang Dulalin, Ayuh menjadi lupa akan ilmu Balian yang akan segera diwariskan Ibunya. Selepas SD Ayuh ingin melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Keterbatasan biaya dan pertentangan sebagai pemilik garis keturunan seorang Balian membuat Ayuh harus memaksa masuk ke Pondok Pesantren di Banjar Baru tanpa biaya dengan syarat bekerja merawat Pondok.
Rupanya ketegasan dan sifat kepemimpinan Ayuh telah menerpanya menjadi lelaki yang tangguh. Perjalanan hidup Ayuh tanpa disangka-sangka membawanya ke Jakarta, dan menjadikannya seorang penulis sukses.
Ditengah keberhasilannya itu Ayuh menemukan kembali gadis berkepang dua yang dulu sempat ditambatkan hatinya. Sayangnya pertemuan itu bertepatan dengan Ayuh yang menemukan lebih dulu gadis bermata teduh.
Berlainan itu harapan Uli Idang agar Ayuh menjadi seorang Balian terus menerus merasukinya. Di malam-malamnya mimpi-mimpi itu terus hadir yang dianggap petanda bahwa dia adalah seorang Balian. Pertarungan batin Ayuh menjadi berliku karena Ayuh tidak ingin menjadi seorang Balian. Alasanya Ayuh tidak pernah melaksanakan upacara adat, Ayuh tidak pernah menghafal mantra, walaupun sebenarnya Ayuh juga merasa bahwa dia memiliki kekuatan yang tak disangka-sangka.
**
Secara keseluruhan, isi buku ini lebih banyak mengisahkan tentang liku-liku hidup seorang Balian. Tak seperti kalimat blurp di belakang covernya, kisah cintanya justru hanya sepenggal saja.
Sebagai bacaan, novel lampau tak jenuh untuk dibaca. Bahasa cerpen yang digunakan sangat indah, mengalir apa adanya tanpa kesan menggurui.
Sandi Firly cukup pintar dalam mengolah alur. Alur maju dan mundur yang dipakai dalam pengemasan novel ini sangat memukau. Ia juga piawai menyusun sub bab sehingga pembaca seperti tak sadar telah berada di bagian selanjutnya.
Kalimat-kalimatnya disusun baku namun santai yang mengupas kehidupan suku Dayak, suku yang selama ini sangat dikenal tetapi jarang diangkat kedalam cerita. Hal ini sangat bagus agar kehidupan dan kebudayaan suku Dayak semakin dikenal.
Ketika saya menginjak pada bab: Lelaki, Ayahku, halaman 45-61, saya terkaget karena font yang di gunakan tiba-tiba berbeda dengan sebelumnya. Lebih kecil dan tidak nyaman. Saya pikir ada kesalahan pada editornya. Namun setelah saya ikuti terus, pada bagian akhir fontnya kembali lagi seperti awal. Ternyata penulisan font yang berbeda itu sebagai pembeda antara cerita sebenarnya dengan kisah yang diceritakan oleh Amang Dulalin. Tidak seperti novel lainnya, biasanya perbedaan font tidak berlaku untuk bagian yang menceritakan kembali. Entahlah mungkin penulis berniat baik supaya pembaca tidak bingung mengikuti alur.
Judulnya sendiri, Lampau, menurut saya kurang sesuai dengan isi cerita. Memang isi dalam buku ini banyak memuat cerita masa lalu, apalagi diikuti kata-kata: yang menjelma kini, yang mewujud lalu. Tetapi menurut saya lebih pas jika judulnya diubah menjadi Balian. Sebab sebagian besar buku ini menceritakan kehidupan seorang Balian. Akan tetapi kembali lagi kepada sang penulis, mungkin Sandi Firly memiliki pertimbangan tersendiri mengapa buku itu diberi judul lampau.
Untuk buku ini saya kasih jempol 4 deh buat editornya. Karena dari awal hingga akhir membaca buku ini saya hanya menemukan sedikit sekali kesalahan tulis. Setidaknya saya telah menemukan 2 kata yang salah. Tetapi itu tak jadi masalah karena kesalahan tulisnya hanya 1 huruf dan tak begitu mengganggu.
Dan untuk joke-jokenya lumayan segar dan lucu. Saya suka cara menyuguhkannya sehingga tak terasa garing ketika dibaca.
Terakhir, selamat buat Bang Sandy yang telah sukses menerbitkan buku. Meskipun lampau ini adalah novel pertama yang di terbitkan tapi buat saya layak bersanding dengan penulis novel sekelas A. Fuadi atau Tere Liye
Judul Buku: Lampau
Penulis: Sandi Firly
Penerbit: Gagas Media
Terbit: Cetakan pertama, 2013
Tebal Buku: 345 halaman
ISBN: 979-780-620-0
Ukuran: 13 x 19 cm
Harga: Rp. 48.000
Editor: Gita Romadhona & eNHa
Desain sampul: Levina Lesmana
Tentang Sandi Firly:
Lahir pada 16 Oktober 1975 di Kuala Pembuang, Kalimantan Tengah. Seusai menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin pada 1999, ia bekerja sebagai wartawan; 2000-2009 menjadi wartawan dan redaktur pelaksana di Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group), 2009-2010 menjabat sebagai pemimpin redaksi Radar Bandung (Jawa Pos Group), dan sejak 2010-sekarang bertindak sebagai redaktur pelaksana Media Kalimantan.
Sejumlah cerita pendeknya dipublikasikan di media cetak nasional, antara lain KOMPAS, Jurnal Cerpen Indonesia, dll. Novel perdananya, Rumah Debu (November 2010), membawanya pada perhelatan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2011 di Ubud, Bali
Rahmah
Dayak, mengingatkan saya pada moment 2011 kemarin dimana saya menjajaki kehidupan suku tersebut di masa lampau. Penasaran nih baca novelnya π
yuniarinukti
Oya, Wah keren dong..
Kapan-kapan cerita dong bagaimana kehidupan suku Dayak disana..
Penasaran ya, silakan hubungi toko buku terdekat π
Lidya
alurnya maju mundur asal enak dibaca pembaca mengerti jalan ceritanya ya mbak
Betul Mbak Lidya, membuat alur maju mundur itu susah sekali, apalagi dibuat cerita novel. Penulis harus pinter-pinter lah supaya pembacanya gak bingung π
Hanna HM Zwan
ini nih baru komplit reviewnya hehe..penasaran deh mbk π
Masak sih, tapi ini bukan kontes Mbak π
Imam Sujaswanto
Saya kembali ingin belajar review buku lagi. Keren Mbk, ngiler juga lihat alur ceritanya. Juga ngiler dengan bukunya. Hehee..
yuniarinukti
Buku ini beneran apik Mas Imam. Alurnya yang maju mundur justru makin menguatkan cerita
Ayo review Mas, saya tunggu reviewnya π
nh18
Wah latar belakangnya menarik juga ya …
Salam saya Yuni
yuniarinukti
Iya Om, jarang-jarang lho ada novel bersetting pulau Kalimantan π
@damae53
wah, harus bisa punya buku ini! baca reviewnya bikin melayang ke masa lampau saya, mbak.
sandi firly
terima kasih review-nya, mbak Yuni…
tabik
yuniarinukti
Hah? Ini beneran Bang Sandi Firly? *kucek-kucek mata*
Makasih komentarnya Baaaang.. π