Cerita Yuni

Gaul Masa Kini

Dalam keadaan tertentu saya bisa keras dan tidak suka melihat orang yang berlaku tidak sopan, apalagi terhadap orangtua. Bukan saya merasa sudah jadi orang paling sopan di dunia lantas gampang memprotes ketidaksopanan orang lain, namun setidaknya etika menghadapi orangtua wajib hukumnya dijaga. Saya sendiri juga belum bisa sopan-sopan banget sama orang yang lebih tua, tapi juga gak kurang ajar banget sampai mempermainkan orang sepuh.

Kejadian kemarin benar-benar membuat saya sebal dan marah. Saat mengingatnya pun, rasanya nelongso dan pengen nangis. Ingat sama orang tua sendiri. Bagaimana jika itu terjadi pada Bapak saya.

Ceritanya kemarin saya ke Pasar Wonokromo nemui mbak Avy. Biasalah kalau lagi pengen ketemu, kami suka janjian ketemu. Ketemu aja, sudah selesai pulang sendiri-sendiri :D. Selesai belanja keperluan, mbak Avy ngajak hunting sarapan rujak cingur. Jenengan aneh banget, mbak, sarapan kok rujak.. 😀

Habis keliling, mbak Avy ngajak belok ke sebuah tempat makan. Lokasinya di lantai 1 DTC (Mall atasnya Pasar Wonokromo) dekat sama lift dan mesin ATM bersama. Saya gak lihat nama standnya, pokoknya posisinya di pojok, modelnya kayak foodcourt, tapi hanya seukuran 2 ruangan stand. Disitu terdapat beberapa gerobak dengan menu masing-masing. Ada Siomay, bakso, Nasi Rawon, Nasi Campur, Nasi Goreng, dan lain-lain.

Sejak pertama masuk, saya sudah merasa gak nyaman. Disana terdapat 5 orang pegawai wanita yang duduk santai sambil ngobrol satu sama lain di meja tamu. Saya memaklumi karena suasana sepi, tak ada pembeli yang lain. Namanya karyawan, apalagi yang dikerjakan kalau nggak nyantai sambil ngobrol.

Setelah mendapat meja, mbak Avy berinisiatif minta list menu. Setelah bingung menentukan pilihan, Mbak Avy memesan Lontong Cap Gomeh. Begitu giliran saya, saya kebingungan. Meskipun belum sarapan sejak pagi, saya kok sepertinya awang-awangen pesan. Setelah mikir lama, saya jatuhkan pesen es teh saja.

“Pesen kentang aja. Siomay ada, kok, mbak Yun” tawar mbak Avy
Setengah-setengah, akhirnya saya putuskan pesan Siomay.

Ditengah menikmati makanan sambil ngobrol, tiba-tiba ada seorang Bapak sepuh, saya kisar usianya 60 tahun. Mengenakan kaos dan celana bahan lalu pakai topi. Tampilannya bersahaja lah, rapi, khas Bapak saya dan bapak-bapak yang lain.

Karena duduknya bersebrangan dengan saya, saya mendengar Bapak itu pesan nasi rawon yang kuahnya dipisah. Saya gak tau awalnya karena lagi asik ngobrol sama mbak Avy. Ditengah obrolan, telinga sebelah saya mendengar ucapan salah satu pegawai disana, “Sana! Duduk dulu di sana!” Spontan saya mengalihkan pandangan ke meraka.

Baru juga meletakkan bagian bawah tubuhnya di kursi, 3 orang wanita menyodorkan bungkusan camilan kepada si Bapak.

“Gak beli ini, Pak?” kata pegawai 1.

“Jangan, yang ini aja..” pegawai 2 nimbrung

“Ini aja, Pak, enak..” pegawai 3 ikut-ikutan

Satu persatu mbak- mbak itu memaksa si Bapak memilih. Dari rautnya, saya tau Bapak itu kebingungan. Wajahnya tetap sabar meladeni kemauan 3 wanita itu. Saya melihat terus ke arah mereka. Telinga mendengar mbak Avy bicara, mata fokus ke depan. Alhamdulillah saya masih nyambung mbak Avy ngomong apa :D. Malah saya yang menghentikan pembicaraan, dan minta mbak Avy lihat pemandangan di depan, hehe..

Asli, saya ingin marah saat itu. Rasanya ingin maju dan menyelamatkan si Bapak dari serbuan para wanita. Dalam hati saya teriak, “wes, Paaak.. Ndang ngalio!” (Udah buruan pergi, Pak!)

5 orang pegawai: 3 merayu si Bapak, 1 menyiapkan pesenan si Bapak, 1 lagi duduk menjadi pengamat. Sesekali menertawakan teman-temannya.

Bapak diantara mereka yang terjebak oleh rayuan

Mungkin karena bingung atau entah karena apa, camilan yang disodorkan sama mbak-mbak itu diambil salah satu oleh si Bapak lalu dikasihkan lagi kepada mbaknya (disuruh bawa tapi Bapaknya yang bayar. Lha iya, orangtua masak disodori ‘makanan keras’).

Awalnya satu, dikasih ke pegawai 1. Lalu teman lainnya juga minta ke Bapak, sehingga jadi 2 snack yang masuk tagihan Bapak.

Begitu pesanan selesai, si mbak menyerahkan mangkok rawon dan piring nasi di hadapan Bapak.

“Ini, Pak..” sambil menyodorkan dengan kasar. Kalau gaya orang Jawa kayak bilang, “Nyoh!”, kayak gitu.

Mbak pelayan lantas mengambil mangkuk sambel di meja saya lalu diserahkan ke Bapak, “ini sambelnya!” Gayanya sama seperti yang pertama. Berkali-kali saya dibuat melongo dan nelongso. Sampai-sampai saya berani memandang mereka tanpa kedip dengan harapan mereka berhenti dan tidak melanjutkan perbuatannya kepada si Bapak. Namun tatapan saya dibalas dengan senyum seakan-akan gini, lho, gaul masa kini.

Selama Bapak itu makan, saya tak berhenti memandanginya. Memandang punggungnya (posisi duduk Bapak membelakangi saya, tapi agak serong sehingga saya bisa melihat separuh badannya ke depan), Mata dan kacamatanya, semuanya. Semakin saya perhatikan, semakin nelongso saya. Dalam hati saya bertanya, dimana anaknya, bagaimana mereka, dan berharap anak-anak itu melihat Bapaknya sekarang.

Ditengah menikmati hidangan, salah satu dari mereka mendekati dan bertanya, “Bapak pangsiunan (pensiunan)?”

Entahlah bagaimana Bapak kemudian menyodorkan KTP nya. Bagai anak kecil punya mainan baru, mbak-mbak itu nggruduk temannya yang pegang KTP si Bapak. Kepo melihat data pribadi Bapak.

“Ya Allah.. kalian jahat sekali!” lagi-lagi saya hanya bisa membatin. Andai si Bapak marah atas perlakuan mereka, saya berani maju membela Bapak. Sayangnya si Bapak gak merasa diperlakukan aneh oleh mereka. Atau sudah terbiasa dibegitukan. Kalau seandainya saya tiba-tiba maju dan marah ke para wanita, kemudian si Bapak komen, “siapa kamu kok ujug-ujug marah” Lak isin aku? Anak bukan, cucu apalagi.. malah sikap saya dianggap lebay baper karepe dewe 😀 (baper sendiri)

Saya ingat Bapak melontarkan pertanyaan, “Bosnya mana? Kok pada santai..” salah satu dari mereka jawab, “Bosnya nggak ada, belum datang”

Yang membuat saya makin gemas, dan pengen melempar kursi ke mereka, saat si Bapak ingin membayar makanannya. Saat mau berdiri, salah satu dari mereka berkata, “kasirnya masih ke toilet, tunggu sebentar!” nadanya mengejek dan keras.

Begitu kasir datang, temannya ngasih tau kalau Bapak mau bayar tagihan. Jawaban kasir begini, “Mau bayar, ya sini!” Lalu kasir memanggil Bapak dari tempatnya berdiri, “Pak sini, Pak..!” Dengan tangan melambai-lambai memanggil Bapak dengan senyum mengejek.

Bapak menuju kasir untuk membayar tagihan

Duh, orang-orang ini, ya.. apakah mereka juga memperlakukan orangtuanya begitu?

Begitu sampai di meja kasir, Bapak membayar tagihan, camilan 2 + nasi + minum. Lagi-lagi mbak-mbak itu mengejar, “Pak, gak sekalian kacangnya?”… “Pak, saya ambil makanan ini, ya, bayarin!”

Selama beberapa saat mereka terlibat obrolan. Saya kembali intens ngobrol sama Mbak Avy, yang tak lama kemudian memutuskan pergi dari situ. Baguslah, daripada lama-lama emosi sendiri. Sepintas masih terlihat Bapak ngobrol sama mereka sambil sesekali becanda. Dalam pengamatan saya, wajar bila orang tua ngobrol sambil becanda. Yang dibahas juga gak penting-penting amat, kayak, “udah nikah, belum?” menurut saya wajar orang tua tanya begitu ke anak muda, meskipun gak saling kenal dekat.

Kenapa saya bilang wajar, karena mereka lebih dulu memulai obrolan dan memicu godaan ke Bapak, meski sebenarnya si Bapak menurut saya salah terimo. Si Bapak digoda gak merasa digoda, dan menganggap godaan mereka sebagai simbol pertemanan. Sebaliknya, para wanita merasa Bapak telah menggoda mereka, maka dengan semaunya mereka minta-minta (maksa) sesuatu ke Bapak.

Saya maklumi karakter orang tua seperti itu karena orang sepuh butuh perhatian dan ingin selalu diajak ngomomg. Sekali ngomong, pasti panjang lebar kesana kemari. Sependek pemikiran saya, orang tua yang mendapat perlakuan ‘ramah’ akan membalas dengan ‘keramahan’. Sama seperti Bapak itu.

Saat saya sama mbak Avy menuju kasir, sebelum pergi mbak Avy ngguyoni gini, “Dosa, lho ya, nggoda orang tua”. Setelah mbak Avy, saya juga berkata, “Mbak, gak ilok. Orang tua” (mbak, gak pantes itu orang tua) dengan nada mengingatkan, yang kemudian selenting dijawab mbaknya. Kalau tidak salah begini, “Nang ndukur, Bapak iki sering nggowo panganan akeh, mbak” (di lantai atas, Bapak ini senang bagi-bagi makanan, mbak)

Terlepas si Bapak senang bagi-bagi makanan, bukan berarti Ia bisa digoda. Seperti yang saya bilang diatas, orang tua senang kalau diperhatikan. Salah satu wujudnya, ya dengan bagi-bagi makanan. Akrab sama orang tua bukan berarti boleh bersikap kurang ajar

Saya pernah perbuat kurang ajar, tapi tidak berani kalau dengan orang tua. Kurang ajar saya sama teman hanya kepada yang akrab saja (yang sudah paham karakter satu sama lain) dan yang seumuran. Akrab meskipun lebih tua, saya gak berani melanggar kesopanan, kecuali benar-benar diluar batas.

Kesopanan bukan dilihat dari akrab tidaknya pertemanan, tetapi kesopanan di Indonesia dianggap sebagai bagian dari budaya. Postingan ini tidak ada niat menggurui. Saya hanya menulis apa yang saya lihat dan saya rasakan kemudian saya beri tanggapan. Semua sikap yang terjadi di lingkungan sekitar boleh saja ditanggapi berbeda oleh orang lain. Semoga Tuhan mengampuni kekeliruan kita, Amiin.

19 Comments

Leave a Reply to ennylaw Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *