Mengunjungi CSR Aqua

Lanjutan posting kemarin..

Dalam sesi bincang-bincang kemarin, ada salah satu peserta yang bertanya, apakah CSR Aqua betul-betul di jalankan atau hanya sekedar pencitraan saja?

Pencitraan akhir-akhir ini memang sedang panas  di perbincangkan, tak hanya unsur politik saja. Dalam segala hal jika kegiatan baik hanya di suguhkan lewat kata-kata tanpa bukti nyata, akan di anggap sebagai pencitraan.

Dan supaya tidak dianggap hoax, pihak AQUA mengajak seluruh blogger mengunjungi SANGGAR BELAJAR AQUA di Desa Keboncandi Kecamatan Gondang Wetan.

Sanggar belajar ini merupakan salah satu komitmen AQUA Lestari dalam melaksanakan Praktik Perusahaan yang ramah lingkungan.

SANGGAR BELAJAR

Sanggar Belajar Aqua, MeWAH :D
Sanggar Belajar Aqua, MeWAH 😀

Saat Bis rombongan kami tiba di depan Sanggar Belajar tampak beberapa ibu duduk di teras sekolah. Mereka ini adalah Ibu dari anak-anak yang sedang belajar di dalam sanggar.

Dan begitu turun dari Bis mereka langsung menyambut kami dengan hangat sambil menyalami satu persatu.

Di dalam sanggar ruangannya terasa adem. Ini di karenakan di depan sanggar terdapat  pohon besar yang sangat rindang juga lokasinya yang teramat MeWAH alias mepet dengan sawah.

Sarana belajar ini memiliki 3 ruangan di lantai bawah termasuk ruang kepala sekolah, di tambah 1 ruangan di lantai atas.

Setelah bincang-bincang sejenak kami langsung di bawa ke lantai atas. Di lantai yang ruangannya lumayan luas itu sudah ada ibu-ibu PKK desa Mendalan yang sibuk membatik kain. Jadi selain sebagai sarana belajar, sanggar ini juga sebagai tempat Ibu-Ibu melakukan ketrampilan membatik. Menurut salah satu Ibu, selembar kain batik bisa di selesaikan dalam waktu satu minggu dan harga selembar kain batik tulis seharga Rp. 150.000.

Membatik
Membatik
Ibu-ibu melingkari malam yang masih di panaskan
Ibu-ibu melingkari malam yang masih di panaskan
Kain yang sudah di gambar dan kain yang sudah di batik
Kain yang sudah di gambar dan kain yang sudah di batik
Kain batik hasil ketrampilan PKK Ds. Mendalan Pasuruan
Kain batik hasil ketrampilan PKK Ds. Mendalan Pasuruan

Hanya saja yang menjadi kendala mereka adalah pemasarannya. Mereka kesulitan memasarkan batik-batiknya. Kalaupun ada yang membeli itu juga orang-orang di lingkungan desa setempat saja. Nah mumpung saya menuliskan ini sekalian saja saya bantu promosikan. Jika ingin membeli kain batik PKK desa Mendalan teman-teman bisa menghubungi Bu Ika di 087856714188 atau di Bu Fitri 081937185273

Usai bertemu Ibu-Ibu kami di bawa turun ke lantai 1. Di salah satu ruangannya terdapat anak-anak yang sedang belajar. Boleh di bilang perangkat belajar mereka cukup canggih, selain papan tulis, terdapat juga LCD Projector. Yang menurut saya unik di sini adalah pengajarnya, yaitu ada Bapak Guru. Setau saya anak-anak TK biasanya di ajari oleh Bu Guru hehe..

Adik-adik belajar di Sanggar
Adik-adik belajar di Sanggar
Pak Guru menggunaka leptop dan Projector
Pak Guru menggunaka leptop dan Projector

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Selain sanggar belajar, PT TIV juga memberdayakan masyarakat di sekitar pabrik untuk memproduksi hasil pertanian mereka. Salah satunya adalah Home Industri Bu Saidah yang memproduksi aneka camilan dengan bahan baku jagung, singkong, kacang dan kedelai. Hasilnya menjadi keripik, susu kedelai, serta kacang telor.

Supaya menarik kemasannya di buat seperti kemasan keripik buah di Malang, yakni menggunakan plastik aluminium. Di jualnya pun tidak mahal, hanya Rp. 5.000 saja per kemasan.

Keripik yang sudah di kemas
Keripik yang sudah di kemas
Rumah Bu Saidah
Rumah Bu Saidah

Yang saya suka di rumah Bu Saidah adalah lokasi rumahnya yang sarat pedesaan. Ketika menginjakkan kaki saya langsung mencium aroma tanah bercampur hewan ternak.

Hmm.. ngangenin sekali.

Makasih Bu Saidah, susu kedelai hangatnya sungguh nikmat, juga kripik singkongnya 😀

Sekali lagi saya numpang promosi ya, untuk menghubungi Bu Saidah teman-teman bisa menghubungi di nomor 085746621284. Alamatnya: Dusun Mantingan Desa Tenggilisrejo Kec Gondang Wetan Pasuruan

Oh ya ada satu lagi, saat perjalanan kembali ke Bis, saya berjumpa dengan seorang Ibu. Ibu ini adalah salah satu peserta arisan jamban yang di dampingi oleh Aqua. Arisan jamban ini seharinya Rp. 1000,- dan diikuti oleh 45 orang, waktu pengocokannya di lakukan sebulan sekali.

Arisan ini di lakukan sebagai upaya mengurangi pencemaran lingkungan, supaya warga desa tidak BAB di kali / sungai.

Akhirnya, saya ucapkan terima kasih kepada PT TIV selaku penyelenggara yang telah mengajak blogger blusukan ke pabrik Aqua sekaligus melihat langsung proses produksinya. Selain itu sebagai penambah wawasan saya akan CSR PT TIV yang peduli lingkungan

Kereta ekonomi AC

Setelah menghabiskan beberapa hari di Surabaya dan telah kopdar bersama komandan Blogcamp beserta jajarannya, akhirnya Mas Mf Abdullah kembali ke kota Yogja.

Sebelumnya saat kopdar, Mas Mf Abdullah sempat bilang kalau tiket kereta Gaya Baru Malam Selatan mengalami penurunan harga namun dengan fasilitas tetap sama yaitu Full AC dan kamar mandi bersih serta wangi.

Mendengar kabar ini saya senang tapi juga ‘sedih’. Senang karena fasilitas perkereta apian kita sudah lebih baik, dan sedih karena saya harus meninggalkan cerita-cerita ‘indah’ seputar kereta api Gaya Baru Selatan ini.

Saya teringat bagaimana rasanya naik kereta kelas ekonomi yang sumpek dan berdesak-desakan. Ini di karenakan PT KAI masih memberlakukan aturan ‘siapa cepat siapa duduk’ dan tak membatasi jumlah penumpang dalam satu gerbong. Sehingga semua penumpang berebut agar bisa masuk ke dalam kereta.

Wajar jika kelas ekonomi ini jadi rebutan banyak orang, harga tiketnya saja seperti tak masuk di akal. Bayangkan, harga tiket untuk jurusan Surabaya – Jakarta hanya di kenai Rp. 33.500, sedangkan untuk Surabaya – Yogja kalau tidak salah Rp. 21.000, mohon koreksi kalau salah. Selisihnya bisa 10 kali lipat di banding kelas executive.

Saya sendiri salah satu penyuka kereta kelas ekonomi. Saya akui harga tiket murah menjadi alasan saya suka naik kereta ekonomi meskipun sebetulnya ada alasan lain. Terutama penasaran mengapa harganya bisa semurah itu. Di balik itu saya juga mendapat banyak cerita kehidupan dari orang-orang di sekitar saya.

Bila malam hari banyak sekali penumpang yang tidur di bawah kursi atau di tengah-tengah gerbong yang seharusnya sebagai jalan tetapi di gunakan sebagai tempat merebahkan diri. Belum lagi lalu lalang penjual kopi dan makanan yang tak mau kalah demi sebuah kesuksesan menjual segelas minuman panas.

Dan seiring perbaikan dan peningkatan pelayanan, PT KAI mulai berbenah diri. Fasilitas kereta mulai ada peningkatan meskipun tarifnya harus di naikkan.

Terakhir saya ke naik kereta ekonomi non AC (biasa) bulan Februari lalu untuk jurusan Surabaya – Jakarta yang harga tiketnya masih di Rp. 33.500 dan tercengang saat melihat wajah kereta yang bersih, ada AC nya, kamar mandi ada sabunnya dengan air kran yang mengalir deras tanpa mampet juga petugas yang hilir mudik mengecek kebersihan gerbong dan toilet. Ini benar-benar peningkatan luar biasa.

Saat balik, sengaja saya membeli tiket kereta ekonomi yang AC dengan harga Rp. 110.000. Penasaran, apa beda antara ekonomi biasa dan yang AC. Dan ternyata keduanya sama. Sama-sama semua penumpang duduk di kursi, sama-sama tak ada penjual, sama-sama tak ada pengamen. Semuanya tenang dan bersih.

Saya tidak kenapa harganya bisa di buat beda. Mungkin saja kereta yang saya tumpangi ketika berangkat adalah kereta uji coba yang kemudian di jadikan AC sehingga kedepannya tak ada lagi kereta ekonomi tanpa AC.

Semoga gambaran ini membuat perkereta apian kita menjadi lebih baik. Juga pelayanan-pelayanan yang di berikan tak menyulitkan para pengguna yang akhirnya membuat jengah orang untuk meninggalkan transportasi murah meriah dan aman.

Berikut ini status Mas Mf Abdullah di Facebook:

Rute Gaya Baru Malam Ekonomi AC
St. Gubeng -> St. Mojekerto -> St. Jombang -> St. Madiun -> St. Seragen -> St. Solo Jebres -> St. Lempuyangan Yogyakarta
Tiket: Rp. 55.000,-
Fasilitas : Full AC, Colokan Listrik + Kamar Mandi Dalam (hehehe Emangnya penginapan… wkwkwkw)

Mumpung murah siapa yang mau ke Yogja.. 😀

 

Bu Risma dan kota seribu taman

Kalau di Jakarta ada Pak Jokowi, maka di Surabaya saya bangga punya Bu Risma (Tri Rismaharini)

Sosok Ibu Walikota yang memiliki gaya kepemimpinan unik ini dalam 3 tahun jabatannya sedikit banyak telah sukses mengubah wajah kota Surabaya.

Walau namanya mungkin tak setenar Jokowi tetapi bagi warga Surabaya, khususnya pasukan kebersihan, sosok Bu Risma sangat di hormati dan di segani. Pembawaannya sederhana, suka ceplas-ceplos, murah senyum tapi juga punya hobi marah-marah. Bagi yang pernah dan sering bekerja di bawah kepemimpinan Bu Risma, mendengar Bu Risma marah adalah hal biasa. Dan itu salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah.

Saya punya 2 orang dekat yang bekerja sebagai petugas kebersihan kota. Dan dari mereka lah saya bisa menulis ini disamping melakukan pengamatan sendiri juga melalui media cetak atau digital. Tinggal saya kait-kaitkan saja.

Meskipun suka ceplas-ceplos, namun Bu Risma tak main-main denga kata-katanya. Jika ada proyek atau saluran jalan yang tak kunjung selesai dan dirasa cukup mengganggu keindahan kota, Bu Risma akan secepat mungkin cari tau dan sesegera mungkin meminta mereka menyelesaikannya. Sejak sebelum menjadi Walikota hingga menjadi  walikota, Bu Risma memang menonjol dalam kebersihan jalan, saluran air/sungai juga kecantikan kota. Sepertinya sudah sesuai bidangnya, Bu Risma yang seorang lulusan S2 Manajemen Pembangunan Kota di ITS ini, selama karier di pemerintahan, beliau pernah menjabat: Kepala Seksi dan Tata Guna Bappeko Surabaya (1996), Kepala Dinas Pertamanan dan Kebersihan (2005-2008), Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (2008-2010) yang kemudian membawa beliau pada Partai Politik.

Meskipun di awal-awal Bu Risma enggan untuk menjadi Walikota tetapi mau tak mau Bu Risma berangkat juga. Itu karena hasil survei yang sempat di syaratkan oleh Bu Risma. Syarat yang diajukan adalah Jika survei atas dirinya tidak mencapai angka 20% maka Bu Risma enggan jadi walikota. Kenyataannya survei menunjukkan angka 22%.

Di usung oleh PDIP, Bu Risma di sandingkan dengan Walikota sebelumnya, yakni Bambang DH. Karena sudah menjabat selama 2 periode yang seharusnya Bambang DH tidak boleh menjabat lagi, maka di jadikanlan Bu Risma sebagai posisi walikota.

Meski selama pemilukada berjalan lancar, kenyataanya Bu Risma mendapat batu sandungan. Antara lain, belum 1 bulan menjabat, Bu Risma akan di lengserkan oleh DPRD Surabaya. Dan bahkan dalam pelengseran itu, PDIP sebagai partai pengusungnya juga masuk menjadi salah satu partai yang ikut melengserkan Bu Risma. Meski akhirnya gagal di turunkan. Sebaliknya, kini PDIP memberi perhatian penuh kepada Bu Risma atas kesuksesannya memimpin kota Surabaya.

Tak berhenti sampai di situ, Kini Bu Risma masih di uji dengan menjadi pemimpin tunggal kota Surabaya. Sebab, sejak  mencalonkan diri menjadi Cagub Jatim, Bambang DH telah mengundurkan diri menjadi wakil walikota sejak April lalu. Dan hingga kini belum juga ada penggantinya.

Kini kota Surabaya telah berubah wajah. Kota yang dulunya terkenal panas dan debu, menjadi asri dan segar. Pepohonan hijau tumbuh di mana-mana memayungi jalanan Surabaya. Juga taman-taman nan indah yang mempercantik kota membuat siapa saja betah berada di luaran. Di tangan Bu Risma, Surabaya memiliki tempat wisata gratisan yang bisa di kunjungi oleh siapa saja juga kapan saja.

Dan harapan saya sebagai warga Surabaya, semoga masih ada sosok Bu Risma lain yang mampu mengimbangi kinerja beliau sehingga jika di akhir masa pemerintahannya nanti Surabaya tetap menjadi kota terbersih dengan seribu tamannya.

Bu Risma tangannya di bebat karena patah
Bu Risma tangannya di bebat karena patah

 

Referensi: Majalah Detik

Ada cerita dibalik Soto Gobyos Ngarsopuran

Nama unik dan harga menarik masih dianggap senjata ampuh pengusaha kuliner untuk menjaring konsumennya. Nama makanan yang aneh dan harga yang cenderung murah meriah akan sukses membuat rasa penasaran pecinta kuliner untuk mampir dan segera mencicipinya.

Seperti pengalaman saya saat berkunjung ke Solo Mei lalu bersama peserta ABFI 2013, sepulangnya jalan-jalan malam dengan Bis Werkudara, kami berniat untuk mencari makan malam. Kebetulan Bis Werkudara yang telah membawa kami putar-putar ke seluruh penjuru kota Solo berakhir di depan Hotel Sahid Jaya, sehingga bagi peserta yang menginap di Hotel Sahid Kusuma mau tak mau harus merelakan diri pulang menuju hotel sendiri-sendiri, termasuk saya. Walaupun jaraknya agak jauh serta tidak mengerti jalan mana yang harus dilewati, saya merasa aman-aman aja. Toh kami jalan rame-rame, kalaupun nyasar juga nyasar rame-rame 😀

Bersama teman-teman seperjuangan yang gak ngerti jalan, tibalah kami di depan Pura Mangkunegaran. *Ealah ternyata jalannya cuma memutari tembok Pura, kalau ini sih anak kecil juga tau* hihi

Karena bertepatan malam minggu, jadilah kami mampir jalan-jalan dulu di Night Market Ngarsopuro yang berada tepat didepan Pura Mangkunegaran. Suasana malam itu sangat rame sekali dimana di Pura Mangukenagaran juga terdapat pertunjukan tari-tarian, membuat antusiasme penduduk  meningkat.

Yang tadi sempat protes minta makan jadi lupa kesihir baju batik. Giliran ingat lapar, seperti orang bingung tarik ulur sama teman-teman ini, ada yang ngajak beli makanan A, pas ditawari si ini mau, si ono gak mau. Padahal si ini udah terlanjur duduk, jadi berdiri lagi deh haha.. sampe begitu beberapa kali. Kami terus lanjut jalan melewati semua jenis kuliner, dan semuanya gak ada yang klop!

Akhirnya setelah jalan runtut sampai ke ujung, barulah ada sesuatu yang menarik minat kami. Dan semuanya kompak bilang iya. Memang sih namanya cukup unik, Soto Gobyos. Harga yang tertera juga langsung membelalakkan mata, Rp. 2.000 saja!

Soto Gobyos Ngarsopuro

Penasaran kayak apa rasa soto gobyos harga duaribuan ini. Apakah puedes banget? Ato puanas banget? Yang pasti kayak judul sinetron, diantara 2 pilihan itu lah..

Begitu dapat duduk, serombongan ber 20 orang-an mungkin, kami memesan soto gobyos ini. Yah namanya rombongan, mas yang daftarin sampe bingung. Padahal sudah ada yang komando biar gampang nyatetnya “yang mau ngacung!”. Pas makanan datang eh, ada teriak ‘aku belum’. Ada lagi yang lainnya juga teriak ‘kurang 2 lagi’. Begitu sudah dikasih 2, teriak lagi ‘kurang lagi, 3’.  Mbak Inul bilang, maafkanlah..

Heran ini sama teman-teman, kenapa pesennya diencrit-encrit dan gak sekalian. Kasian si Masnya kayak setrikaan, kesana kemari riwa-riwi. Padahal setelah pesan, nunggunya juga lama lho, butuh waktu 15 menitan. Coba tau kenapa?

Mau ngasih tau jadi pengin tertawa saya. Maaf saya tinggal tertawa dulu ya 😀

Oke.. cukup!

Sebab, ukuran mangkok sotonya ini Cuma segedhe mangkok dawet! Itupun juga banyakan kuahnya. Ibarat normalnya orang makan, nasinya paling Cuma 5 sendok gak nyampe. Karena bawaan soto ini puanas pol, jadi saya bisa makan sampe 10 sendok. Itupun sudah saya tambahi aneka pelengkap seperti gorengan bakso dan telur yang harganya terpisah.

Tapi kalau segi rasa, wuih jangan ditanya, aseli! Wenak tenan! Rasa kuahnya mantap banget. Walaupun nasinya sedikit, tapi kuahnya sudah mewakili lidah. Sst.. karena itulah saya bisa habis 2 mangkok!

Pantes aja namanya soto gobyos! Rupanya harus habis 2 mangkok dulu supaya bikin gobyos! Jempol 4 deh buat trik marketingnya, Bu! Salut dengan idenya.

Soto Gobyos Ngarsopuran

Menurut insting bisnis saya ya *cieh*, Yang membuat soto gobyos dikenal orang mungkin karena segi harga. Hari gini gitu lho, disaat semua bahan pada naik, masih ada yang berani jual makanan dengan harga yang tak lebih mahal dari harga parkir motor!

Dan lagi harga yang tercantum itu betul-betul harga yang sebenarnya. Gak pake tanda bintang kecil atau embel-embel syarat dan ketentuan berlaku. Oleh karenanya walaupun porsinya cukup ngagetin tapi ikhlas aja makannya. Disitulah mungkin seninya makan soto gobyos duaribuan ini, ada tawa, ada canda, ada celotehan dan pastinya ada joke-joke lucu yang membuat kita semua tertawa grrr..

Barangkali untuk mengimbangi pengeluaran, ibu penjual soto ini jualannya di belakang pasar Ngarsopuro yang sepi itu. Betul betul dibelakang, bukan didepan bersama stand-stand Night Market lainnya. Tapi, pengunjungnya tak kalah rame sama yang didepan!

Kok orang-orang bisa sampai ke belakang? Nah itu karena ada banner kecil yang dipasang di tembok bagian depan pasar lalu dikasih arah petunjuk sehingga memancing orang untuk datang. Secara kalau ibu itu jualan didepan, sudah pasti harus bayar ongkos stand.

Selepas menikmati 2 mangkok soto gobyos kami pulang masing-masing menuju hotel. Ada yang ke hotel Sahid Jaya dan ada yang ke Sahid Kusuma. Walau berbeda arah, kami telah membawa banyak kenangan manis dan cerita menarik yang nantinya dapat dipamerkan ke teman-teman dan sanak saudara bahwa di Solo ada makanan unik dan murah meriah, namanya Soto Gobyos

Belajar fotografi itu seru di Kakek Bodo

Meladeni ajakan teman belajar fotografi itu seru! Salah satunya adalah harus merelakan mata melek sebelum waktunya 😀

Menurut beberapa pakar fotografi, waktu yang bagus untuk mengambil gambar itu adalah pagi-pagi buta alias subuh dan sore menjelang petang alias maghrib. Saya gak tau siapa orang yang pertama kali mendeklarasikan teori tersebut , namun yang jelas foto dengan 2 waktu diatas betul-betul menghasilkan gambar yang oke punya.. terutama dari segi pencayahaannya.. *sok teori*

Bagi pecinta fotografi, barangkali teori saya adalah lagu lama, tapi disini saya bukan ingin menjelaskan mengenai teori tersebut, tetapi saya cuma ingin menceritakan bagaimana ‘kurang kerjaannya’ mereka bangun petang, dan harus segera berangkat cuma supaya gak keduluan matahari.

Belajar fotografi itu seru juga harus mau berbaik-baik sama pemilik warung. Warung apa aja, entah itu warung kopi atau warung sabun mandi. Karena disanalah tempat kita numpang nongkrong sambil nungguin loket buka atau dapatin info akan keamanan jalan yang akan dilewati. Itung-itung sambil menyelam nyebur sekalian 😀

Minggu kemarin teman saya yang seorang mastah fotografi ngajak jalan ke Air Terjun Kakek Bodo. Konon teman saya itu kepengen belajar efek slow speed dan long exposure pada air terjun supaya hasilnya seperti kapas.  *Padahal sudah seneng aja, kirain mau difoto efek slow motion* 😀

Seperti biasa, sang teman ngajak berangkat pagi-pagi buta, dan lagi-lagi supaya sampai di Kakek Bodo yang makan waktu perjalanan sekitar 1,5 jam masih belum keduluan matahari, berangkatlah saya dan suami sebelum subuh! Asyiik.. serasa menjadi raja jalanan, bow.. 😀

Tiba di lokasi Kakek Bodo, jam masih menunjukkan pukul setengah 7. Celingak-celinguk, loket masih tutup. Petugas pun juga belum ada yang datang, sedangkan pagarnya masih ‘grendelan’. Jadilah tempat penampungan kami sementara adalah.. warung kopi. Lagi-lagi kami mendapat arahan jalan masuk gratisan dari bapak pemilik warung. Sayang pas dilihat, medannya curam, bo.. dari pada resiko membunuh kamera lebih baik membunuh lapar dulu.. makan indomie spesial pke telor hihi..

Selesai rumpi-rumpi sambil nunggu telornya dibeli dulu sama anaknya si bapak :D, kami melenggang ke pintu masuk yang sudah dibuka, walaupun loketnya sendiri belum buka.

Sambil masuk kami bergunjing ria, asyiik.. masuk dulu, bayarnya nanti belakangan.

Ee.. salah satu kami sda yang nyeletuk “Iya kalau inget, biasanya sengaja dilupain”.

Sambil ketawa-ketiwi nakal, Lha kok tiba-tiba dari atas ada petugas yang melongok sambil teriak “Mas, jangan lupa nanti baliknya bayar, ya..”. Ah si Bapak dengar aja.. 😀

Di lokasi wana wisata, suasana masih sepi. Herannya sudah ada beberapa orang yang sudah balik lho. Gak tau mereka masuk jam berapa, jam segitu kok sudah balik. Sambil melewati anak tangga, nafasnya pada ngos-ngosan semua. Lumayan sih, jaraknya sekitar setengah kiloan sampai ke air terjun. Kalau sudah begitu, dopingnya buat saya Cuma satu, yaitu di foto! Hihi..

Yeah.. akhirnya sampai juga di dekat air terjun.

Airnya kelihatan lembut
Airnya kelihatan lembut nggak sih? 😀

Dari kejauhan lokasi air terjunnya agak beda, gak seperti sebelumnya. Yang saya lihat kemarin itu air terjunnya ada 2, satunya gak seberapa deras. Trus disungainya juga banyak batu-batu yang bikin tempatnya makin asyik buat lokasi foto bergalau ria. Jalanan setapak menuju air terjun rasanya juga kelihatan makin sempit aja. Pas lihat keatas, monyet-monyetnya juga pada menghilang.

Mirip Wallpaper nya WIndows :D
Mirip Wallpaper nya WIndows 😀
Kakek Bodo, asyik juga dipke tempat pacaran #ups
Kakek Bodo, asyik juga dipke tempat pacaran #ups

Usut-punya usut, lagi-lagi dapat info dari salah satu ibu-ibu yang jualan disana, ternyata air terjunnya bisa berubah begitu karena kena banjir. 

Disana saya biarkan para fotografer mengambil gambar dengan sangat seriusnya didepan tripod, sambil jongkok-jongkok pula. Mungkin teman saya sengaja beradegan begitu untuk mempraktekkan anjuran iklan yang menyesatkan, berani kotor itu baik.

Scott Kelby juga berkata: “Kalau Anda ingin mendapatkan gambar yang keren, jangan takut untuk berkotor-kotor”

Rela basah-basahan
Rela basah-basahan

Tuh, bener kan yang saya bilang, belajar fotografi itu seru! 

Surabaya Urban Culture Festival, event penawar dahaga warga Surabaya

Petang beranjak malam, kemacetan jalan raya Basuki Rahmad telah mencair. Didepan sebuah pertokoan tua yang hingga sekarang masih eksis, Tunjungan Plasa Surabaya, pengendara juga tak seberapa rame seperti biasanya. Dari kejauhan, suasana didalam Mall juga tak se-sesak biasanya. Oh ada apakah gerangan? Mungkinkah efek Surabaya Urban Culture Festival?

 Surabaya Urban Culture Festival 2013
Pintu masuk Surabaya Urban Culture Festival

Tak jauh dari pertokoan besar itu, perjalanan saya tiba di depan Monumen Pers Nasional yang berada dipojok antara jalan Embong Malang dan Jalan Tunjungan. Lagi-lagi suasana yang tak wajar saya dapati. Aneka motor berjajar dipinggir-pinggir jalan bahkan sampai memenuhi halaman Pasar Tunjungan yang bertahun-tahun ‘mangkrak’. Karena parkir dadakan itu dinyatakan sudah penuh, saya memilih menjauh dan melanjutkan perjalanan melewati Jalan Embong Malang.

Benar saja, rupanya event Surabaya Urban Culture Festival yang diadakan oleh Pemerintah Kota Surabaya 19 Mei 2013 itu diselenggarakan di sepanjang Jalan Tunjungan sejak siang, dan dibuka langsung oleh Ibu Walikota Surabaya, Bu Tri Risma Harini, memicu warga untuk berbondong-bondong mendatangi lokasi.

Mengapa harus di Jalan Tunjungan?

Karena Jalan Tunjungan memiliki sejarah tersendiri bagi kota Surabaya. Selain kaya akan bangunan sejarah, di Jalan Tunjungan juga terdapat Hotel Majapahit (sebelumnya dikenal dengan nama Hotel Yamato atau Hotel Orange) yaitu Hotel kebanggaan arek-arek Suroboyo dalam merebut kemerdekaan yang juga disemangati oleh Bung Tomo melalui siaran radio di Surabaya pada tahun 1945.

 Surabaya Urban Culture Festival 2013
Hotel Majapahit malam hari, saksi sejarah perjuangan Arek-arek Surabaya

Surabaya Urban Culture Festival ini diadakan sebagai rangkaian untuk memperingati Hari Jadi kota Surabaya ke 720, 31 Mei mendatang. Disini ditemukan tenda-tenda beraneka merk produk dan resto-resto terkenal di Surabaya. Kalau boleh saya sebut sih, Resto turun ke jalan dan membuat paket menu murah.

Disepanjang jalan itu selain penuh dengan tenda-tenda, juga ada panggung besar ditengah jalan dimana didepan panggung itu ada tangga besi untuk penonton. Persis pertunjukan terbuka.

Meskipun dibuka mulai pukul 2 siang yang sorenya disertai guyuran hujan, namun tak mengurangi minat warga untuk datang, termasuk saya. Dan malam itu kedatangan saya begitu menguntungkan karena ternyata dipanggung besar itu masih tersisa pertunjukan ludruk dan jula-juli Suroboyo yang dibawakan langsung oleh Cak Kartolo CS.

Siapa Cak Kartolo CS?

Kartolo CS adalah tokoh legendaris Surabaya yang terkenal dengan ludruk dan Jula-Juli Suroboyonya. Yaitu semacam pantun jawa / parikan dengan bahasa khas Suroboyoan yang dibawakan secara kocak dan menggelitik.

 Surabaya Urban Culture Festival 2013
Dari kiri: Cak Sapari, Ning Tini da Cak Kartolo

Walaupun sudah tidak lagi muda, dan dulunya menjadi primadona orang tua kita, tetapi kemarin itu Cak Kartolo masih tampil semangat. Bersama Cak Sapari, Ning Tini (Istri Cak Kartolo) dan Dewi (yang baru saya ketahui ternyata putri Cak Kartolo) benar-benar menghidupkan kota Surabaya dengan guyonannya yang terdengar segar dan sempurna membuat orang terpingkal-pingkal. Tak hanya orang tua, yang muda dan anak-anak pun tertarik untuk memenuhi jalan Tunjungan dan mengikuti hingga akhir pentas. Panggung yang hanya sak uplik tak membuat warga berkecil hati karena mereka bisa melihat langsung dari layar lebar yang disediakan panitia. Ternyata animo arek Surabaya  cukup besar demi melihat langsung pertunjukan serta menjawab kerinduan mereka akan ludruk Suroboyo.

Tepat jam 10 malam pertunjukan itu berakhir. Selama kurang lebih satu jam tampil, sepertinya kehadiran Cak Kartolo masih ngangeni. Meski sudah ditutup dan panggung dianggap sudah buyar karena jalan Tunjungan harus dibuka kembali jam 00, mereka masih sulit untuk beranjak.

Makin tampak bahwa warga Surabaya begitu mendambakan acara semacam event Surabaya Urban Culture Festival ini. Event ini tidak saja menjadi penawar dahaga akan keunikan kota Surabaya tetapi juga untuk mengenalkan budaya yang dimiliki kota Surabaya. Semoga event ini selalu menyuguhkan suasana berbeda setiap tahunnya dan selalu menjadi agenda rutin kota Surabaya seperti Festival Rujak Uleg yang seminggu sebelumnya telah diselenggarakan di sepanjang Jalan Kya-kya.