[GagasDebut] Wawancara bersama Sandi Firly, penulis Novel Lampau

Setelah kemarin saya mengupas novel Lampau, karya Sandy Firli, kini saya berkesempatan mewawancarai sang penulis.

Buat saya kesempatan ini sangat berharga mengingat sebelumnya saya belum pernah mewawancarai seseorang untuk dijadikan sebagai postingan.

Supaya lebih akrab saya panggil Sandi Firly dengan sebutan Abang. Kenapa harus Abang, karena itu permintaan Bang Sandy sendiri. Dan sepertinya panggilan Bang lebih enak didengar ketimbang saya memanggilnya Om. Bang Sandy bilang panggilan Om tidak mengesankan seorang penulis tetapi lebih kepada ‘Om-om’ berkepala agak botak, perut buncit dan mungkin nakal. Tentu saja gambaran ini berlaku buat Om dengan tanda kutip yang ada dalam fiksi. Bukan Om beneran ya.. 😀

Oke, saya mulai saja wawancaranya:

  • Apa kabar, Bang Sandi? Kesibukannya apa sekarang selain menulis novel?

Kabar baik. Kesibukan rutinitas tetap sebagai redaktur di koran harian Media Kalimantan

  • Bisa diceritakan Bang bagaimana perjalanan Abang sehingga bisa menjadi penulis seperti sekarang ini?

Proses menjadi penulis cukup panjang ya.. Sudah pasti karena suka membaca sejak kecil. Awal yakin memiliki bakat menulis, waktu di SMA sering diminta teman-teman menuliskan surat untuk cewek yang mereka taksir, walau sebenarnya keseringan ditolak juga. Tapi kukira itu bukan karena isi suratnya yang jelek, tapi karena teman saya sendiri yang jelek, haha…

  • Sebagai seorang redaktur pelaksana Media Kalimantan, bagaimana cara Abang membagi waktu antara bekerja dan menulis?

Sebagai redaktur sebagian besar pekerjaan saya pada waktu malam. Dan saya menulis novel setelah pulang kerja, biasanya di atas pukul 12 malam. Kalau tidak ngantuk, bisa sampai subuh.

  • Selama ini Abang sudah menerbitkan sejumlah cerpen di Media. Kalau boleh tau berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam membuat cerpen?

Kalau untuk menulis cerpen, waktu yang diperlukan bisa beberapa jam (mungkin juga ada penulis yang tak lebih dari satu jam), bisa sehari, bisa beberapa hari, bisa seminggu, bisa sebulan, bahkan bisa saja setahun. Kukira, penulis lainnya juga begitu. Tergantung cerpennya itu sendiri, memang bisa diselesaikan cepat atau tidak.

  • Sedangkan untuk novel lampau, bisa diceritakan bagaimana tahap-tahap penulisannya dari mulai riset, menulis, hingga self editing? Dan berapa lama total waktunya?

Novel Lampau diselesaikan sekitar 3-4 bulan.
Lampau semula berawal dari cerita pendek yang saya tulis dengan judul Perempuan Balian (cerpen ini diterbitkan koran Kompas pada Juni 2012, dan kemudian juga terpilih dan termuat dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2012)

Namun, saya merasa cerita tentang Perempuan Balian ini masih bisa saya tuliskan lebih panjang lagi dalam bentuk sebuah novel. Terlebih lagi, saya juga memiliki pengalaman terhadap setting cerita, yakni Loksado, sebuah kecamatan di pedalaman Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, yang sebelumnya sudah berkali-kali saya kunjungi.

Saya pun kemudian menarik kembali kenangan-kenangan masa lalu ketika mengunjungi kampung Malaris, Loksado, serta saat mengarungi jeram Sungai Amandit yang cukup deras dan berbatu-batu besar. Juga gunung Kantawan yang begitu menawan.

Salah satu ritual yang menarik di Loksado adalah upacara Aruh yang biasanya dilaksanakan saat akan memulai masa tanam, panen, serta pengobatan. Ritual ini biasanya dipimpin oleh seorang Balian, yang merupakan tokoh masyarakat setempat. Dan tokoh ini mesti seorang laki-laki, tdalam struktur masyarakat setempat tidak dikenal seorang perempuan menjadi Balian. Paling tinggi jabatan seorang perempuan dalam ritual ini hanyalah sebagai pinjulang, atau pembantu Balian laki-laki.

Lalu, saya kemudian mengandaikan bagaimana bila ternyata ada seorang perempuan yang memiliki ilmu setinggi seorang Balian laki-laki? Dan dalam buku referensi yang saya baca, memang ada seorang perempuan yang memiliki ilmu setara dengan seorang Balian laki-laki.

Dalam proses penulisan, saya kemudian memasukkan tokoh Sandayuhan (Ayuh), seorang anak laki-laki dari Balian perempuan bernama Uli Idang. Ayuh sendiri adalah sebuah nama dari seorang pemuda yang diyakini sebagai nenek moyang dari suku Dayak di Pegunungan Meratus dulunya. Ayuh inilah yang kemudian justru menjadi tokoh utama dalam novel Lampau. Karena memang tokoh Ayuh yang kemudian paling berkembang, mulai dari masa kecil, perjuangannya dalam mendapatkan pendidikan, hingga kemudian merantau sampai Jakarta.

  • Ketika menulis novel lampau, kesulitan apa yang pernah Abang hadapi?

Sejujurnya saya tidak mengalami banyak kesulitan dalam penulisan Lampau.

  • Novel lampau mengambil setting di Kalimantan Selatan. Untuk mendalami karakter setting ini apakah Abang harus melakukan riset dulu dengan pergi ke Kalimantan Selatan atau bagaimana, sedangkan Abang sendiri berasal dari Kalimantan Tengah?

Saya sudah lama tinggal di Kalimantan Selatan, dan memang sudah cukup sering ke Loksado, yang menjadi setting Lampau.

  • Novel lampau ini kan sebagian besar bercerita tentang kehidupan Balian. Darimana Abang mendapatkan ide membuat nama Sandayudan, Uli Idang, dan Amang Dulalin?

Nama Sandayuhan memang diambil dari nama yang konon katanya adalah nenek moyang orang Dayak pegunungan Meratus (seperti diceritakan juga di dalam novelnya). Sedangkan nama seperti Uli Idang atau Amang Dulalin, adalah nama yang begitu saja melintas di benak saya, yang saya kira memang cukup tepat dengan karakter masing-masing—karena nama orang-orang pegunungan di sana juga kebanyakan unik.

  • Novel lampau sendiri lebih banyak menceritakan tentang Balian, lalu mengapa Abang memberikan judul Lampau? Mengapa tidak Balian supaya lebih unik, begitu?

Awalnya novel ini memang saya beri judul Balian. Namun saat didiskusikan dengan editor dan redaksi GagasMedia, akhirnya dipilihlah judul Lampau— sudah pasti lewat banyak pertimbangan.

  • Bisa diceritakan bagaimana awal mulanya sehingga Abang memilih Gagas Media sebagai penerbit novel Abang yang pertama?

Lampau “berjodoh” dengan GagasMedia, karena saya sebelumnya sudah kenal dengan Gita Romadhona yang menjadi editor novel ini. Kami pertamakali bertemu saat Kongres Cerpen Indonesia (KCI) di Riau tahun 2005—waktu itu Gita masih mahasiswa di UI Depok. Nah, ketika bertemu lagi lewat chatting di Facebook tahun 2012, ternyata dia sudah kerja di GagasMedia, dan kebetulan naskah novel ini sudah hampir selesai. Lalu saya tawarkan, dan… akhirnya jadilah Lampau diterbitkan GagasMedia

  • Bagian / cerita mana yang Abang suka dan tidak suka di novel lampau?

Hahaa…sebenarnya saya suka semuanya. Tapi kalau disuruh memilih yang paling suka, saya terkadang terharu sendiri kalau membaca bagian ketika Amang Dulalin menuliskan surat kepada Anna, bule Amerika, saat perpisahan. Dan dia tidak mencuci wajahnya yang dicium Anna selama seminggu lantaran katanya, ”Bibirnya serasa masih menempel di pipiku.”

  • Seandainya memilih, Abang harus pilih siapa? gadis berkepang dua atau gadis berwajah teduh?

Nah.., justru itu, saya ingin bertanya kepada pembaca Lampau—karena sekarang saya sedang menggarap sekuel lanjutannya. Anda sendiri menyarankan memilih siapa?

  • Tuliskan pendapat Abang tentang novel lampau dalam 5 kata!

Mestinya bagian pertanyaan ini diajukan kepada pembaca. Kalau diharuskan saya menjawab, saya hanya ingin bilang, ”Ini tentang keberanian mencintai dan bermimpi”.

  • Ketika menulis novel lampau ini pesan apa yang sebetulnya ingin Abang sampaikan kepada pembaca?

Seperti terdapat di novel ini, banyak pesan (tanpa terkesan menggurui) yang bisa dipetik pembaca. Salah satunya adalah, “bahwa untuk bisa merasakan manisnya sebuah mimpi, seringkali memang diperlukan perjuangan dan pengorbanan”.

  • Bisa disebutkan 5 penulis di Indonesia yang paling Abang sukai. Dan mengapa?

Lima (5) penulis Indonesia yang saya suka; Ahmad Tohari, Seno Gumira Ajidarma, Goenawan Mohamad, dan Ayu Utami; karena merekalah yang menjadi inspirasi saya awal-awal menjalani dunia kepenulisan. Oh, baru empat ya? Satunya lagi, saya sendiri, hahaa…. Ya, sebenarnya masih banyak penulis Indonesia yang saya sukai.

  • Sebutkan 3 buku fiksi dan non fiksi yang Abang sukai!

Tiga (3) buku fiksi yang saya suka; Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Il Postino (Antonio Skarmeta), dan Of Mice and Men (John Steinbeck).  Tiga (3) buku nonfiksi yang suka: Catatan Pinggir (Goenawan Mohamad), On Writing (Stephen King), dan Pembebasan Manusia (tulisan buah pikiran terdiri dari banyak tokoh, di antara: Albert Einstein, Arnold Toynbee, Jean-Paul Sartre, John F. Kennedy, Karl R. Popper, Martin Luther King Jr, Mohammed Arkoun, dll)

  • Lebih suka mana menulis cerpen, novel atau berita?

Saya menyukai ketiganya. Namun menulis novel keasyikannya bisa dinikmati lebih lama.

  • Seandainya menulis buku non fiksi, apa yang ingin Abang tulis? Dan genre apa yang Abang pilih.

Menuliskan orang-orang pedalaman Kalimantan, dengan bentuk “jurnalisme sastrawi”

  • Apa rencana Abang selanjutnya dalam hal tulis menulis?

Saya sedang mengerjakan dua novel, salah satunya sekuel Lampau

  • Apa yang Abang lakukan ketika sedang menulis kemudian mengalami ide mandeg yang datang tiba-tiba?

Ini pertanyaan yang sering ditanyakan calon penulis yang sebenarnya juga pasti pernah dialami para penulis. Jawabannya pun bermacam-macam, dan kukira jawaban yang terbaik adalah dengan banyak membaca lagi, membaca lagi. Aku lebih suka mengistilahkan ide mandeg atau block writer ini seperti mobil mogok. Mobil yang mogok tidak akan pernah bisa bergerak apabila ditinggalkan, atau tidak ada upaya keras untuk mendorongnya. Jadi, jangan pernah tinggalkan tulisan yang sudah Anda tulis, dan terus dorong dia dengan berpikir lebih keras dan dengan segala bantuan atau inspirasi apapun agar tulisannya bisa terus bergerak, jalan, dan kembali bisa lancar.

  • Beri saran dong Bang bagaimana supaya sukses menulis buku, karena banyak teman mengeluh tidak bisa menyelesaikan novelnya

Perlu disiplin dalam menulis, dan upaya yang “keras kepala” untuk menyelesaikannya.

  • Yang terakhir, Bang. Apa pesan khusus buat teman-teman yang sedang belajar menulis fiksi

Banyak orang yang bercita-cita jadi penulis fiksi, namun sebagian cita-cita itu hanya ada dalam kepalanya tanpa upaya keras untuk mewujudkannya, dan akhirnya cita-citanya hanya menjadi fiksi. Tak ada cara lain untuk menjadi penulis (fiksi), selain menulis, menulis, dan menulis.

Itulah beberapa pertanyaan yang saya ajukan kepada penulis Lampau, Bang Sandi Firly. Orangnya ramah dan asyik diajak ngobrol. Sengaja, selain bertanya tentang debut novelnya saya juga menyelipkan pertanyaan-pertanyaan seputar dunia kepenulisan. Hal ini supaya menjadi penyemangat buat diri saya sendiri dan mungkin buat teman-teman yang membaca postingan ini agar selalu semangat menulis, terlebih lagi semangat melanjutkan draft buku yang (seperti saya) mandeg dan belum ada kabar kapan diselesaikan 😀

Supaya lengkap, dibawah ini ada penampilan Bang Sandi dengan latar cerpen karyanya

Doc. pribadi milik Sandi Firly
Doc. pribadi milik Sandi Firly

[Gagas Debut] Review Novel: Lampau

Aku mengingatmu, gadis berkepang dua. Di jalan menyusuri masa kecil. Senyum manis, cinta pertamaku. Mengingatmu adalah perjalanan panjang kembali ke buku-buku bergaris masa sekolah dasar, pensil warna, dan mimpi-mimpi beralur manis.

Gadis berkepang dua dengan senyum semenarik krayon warna, kau juga mengingatkaku pada takdir. Takdir yang lekat akan gemerincing denting gelang hiyang perunggu dalam iringan tetabuhan gendang, dan senandung mantra-mantra yang dengan sendirinya dapatkubaca.

Hingga bayangmu kutinggalkan dalam frame tua. Aku menemui gadis lain berwajah teduh. Gadis yang tak mengingatkanku pada takdir yang menunggu. Gadis yang membuatku tahu bahwa hidup bukan sekadar menjalani takdir yang kita tahu.

Namun gadis berkepang dua, jalanku memutar, entah mengapa seolah ujungnya ingin menemukanmu. Senandung mantra siapa yang akan aku jelmakan, kali ini?

Lampau_515a477ae6c1d

Usai membaca ini harapan saya selanjutnya mendapat suguhan akan kisah seorang lelaki yang dilanda kebimbangan, bingung memilih antara dua cinta yang pernah dan tengah bersemi. Melabuhkan cintanya kepada gadis berkepang dua atau kepada gadis berwajah teduh.

Adalah Sandayudan, biasa di panggil Ayuh, dari desa Malaris, Kecamatan Loksado, nama daerah di pedalaman Kalimantan Selatan. Ayuh adalah anak Uli Idang, seorang Balian terkemuka yang memiliki Ilmu tinggi dalam menyembuhkan orang sakit bahkan yang akan meninggal sekalipun.

Sebagai Ibu yang membesarkan anaknya seorang diri, Uli Idang berharap agar kelak Ayuh dapat menjadi Balian seperti dirinya. Mewarisi Ilmunya lalu menggunakannya untuk membantu orang lain serta dirinya sendiri.

Namanya Amang Dulalin, sepupu Uli Idang. Sebagai pecinta buku Amang Dulalin berjasa membuka cakrawala Ayuh, bahwa kehidupan tidak hanya ada di kampung Loksado saja, tetapi masih ada kehidupan di luar sana yang lebih indah dan lebih megah.

“Ayuh, bila kau ingin melihat dunia, mengintiplah lewat buku-buku itu”

“Untuk bisa mengunjungi daerah, kota dan negeri lain, tidak mesti harus memiliki harta yang banyak. Cukup dengan ilmu. Ilmu bisa membawamu kemana saja”

Kata-kata penyemangat yang diucapkan Amang Dulalin kepada Ayuh.

Kebiasaan membaca buku-buku milik Amang Dulalin, Ayuh menjadi lupa akan ilmu Balian yang akan segera diwariskan Ibunya. Selepas SD Ayuh ingin melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Keterbatasan biaya dan pertentangan sebagai pemilik garis keturunan seorang Balian membuat Ayuh harus memaksa masuk ke Pondok Pesantren di Banjar Baru tanpa biaya dengan syarat bekerja merawat Pondok.

Rupanya ketegasan dan sifat kepemimpinan Ayuh telah menerpanya menjadi lelaki yang tangguh. Perjalanan hidup Ayuh tanpa disangka-sangka membawanya ke Jakarta, dan menjadikannya seorang penulis sukses.

Ditengah keberhasilannya itu Ayuh menemukan kembali gadis berkepang dua yang dulu sempat ditambatkan hatinya. Sayangnya pertemuan itu bertepatan dengan Ayuh yang menemukan lebih dulu gadis bermata teduh.

Berlainan itu harapan Uli Idang agar Ayuh menjadi seorang Balian terus menerus merasukinya. Di malam-malamnya mimpi-mimpi itu terus hadir yang dianggap petanda bahwa dia adalah seorang Balian. Pertarungan batin Ayuh menjadi berliku karena Ayuh tidak ingin menjadi seorang Balian. Alasanya Ayuh tidak pernah melaksanakan upacara adat, Ayuh tidak pernah menghafal mantra, walaupun sebenarnya Ayuh juga merasa bahwa dia memiliki kekuatan yang tak disangka-sangka.

**

Secara keseluruhan, isi buku ini lebih banyak mengisahkan tentang liku-liku hidup seorang Balian. Tak seperti kalimat blurp di belakang covernya, kisah cintanya justru hanya sepenggal saja.

Sebagai bacaan, novel lampau tak jenuh untuk dibaca. Bahasa cerpen yang digunakan sangat indah, mengalir apa adanya tanpa kesan menggurui.

Sandi Firly cukup pintar dalam mengolah alur. Alur maju dan mundur yang dipakai dalam pengemasan novel ini sangat memukau. Ia juga piawai menyusun sub bab sehingga pembaca seperti tak sadar telah berada di bagian selanjutnya.

Kalimat-kalimatnya disusun baku namun santai yang mengupas kehidupan suku Dayak, suku yang selama ini sangat dikenal tetapi jarang diangkat kedalam cerita. Hal ini sangat bagus agar kehidupan dan kebudayaan suku Dayak semakin dikenal.

Ketika saya menginjak pada bab: Lelaki, Ayahku, halaman 45-61, saya terkaget karena font yang di gunakan tiba-tiba berbeda dengan sebelumnya. Lebih kecil dan tidak nyaman. Saya pikir ada kesalahan pada editornya. Namun setelah saya ikuti terus, pada bagian akhir fontnya kembali lagi seperti awal. Ternyata penulisan font yang berbeda itu sebagai pembeda antara cerita sebenarnya dengan kisah yang diceritakan oleh Amang Dulalin. Tidak seperti novel lainnya, biasanya perbedaan font tidak berlaku untuk bagian yang menceritakan kembali. Entahlah mungkin penulis berniat baik supaya pembaca tidak bingung mengikuti alur.

Judulnya sendiri, Lampau, menurut saya kurang sesuai dengan isi cerita. Memang isi dalam buku ini banyak memuat cerita masa lalu, apalagi diikuti kata-kata: yang menjelma kini, yang mewujud lalu. Tetapi menurut saya lebih pas jika judulnya diubah menjadi Balian. Sebab sebagian besar buku ini menceritakan kehidupan seorang Balian. Akan tetapi kembali lagi kepada sang penulis, mungkin Sandi Firly memiliki pertimbangan tersendiri mengapa buku itu diberi judul lampau.

Untuk buku ini saya kasih jempol 4 deh buat editornya. Karena dari awal hingga akhir membaca buku ini saya hanya menemukan sedikit sekali kesalahan tulis. Setidaknya saya telah menemukan 2 kata yang salah. Tetapi itu tak jadi masalah karena kesalahan tulisnya hanya 1 huruf dan tak begitu mengganggu.

Dan untuk joke-jokenya lumayan segar dan lucu. Saya suka cara menyuguhkannya sehingga tak terasa garing ketika dibaca.

Terakhir, selamat buat Bang Sandy yang telah sukses menerbitkan buku. Meskipun lampau ini adalah novel pertama yang di terbitkan tapi buat saya layak bersanding dengan penulis novel sekelas A. Fuadi atau Tere Liye

Judul Buku: Lampau
Penulis: Sandi Firly
Penerbit: Gagas Media
Terbit: Cetakan pertama, 2013
Tebal Buku: 345 halaman
ISBN: 979-780-620-0
Ukuran: 13 x 19 cm
Harga: Rp. 48.000
Editor: Gita Romadhona & eNHa
Desain sampul: Levina Lesmana

Tentang Sandi Firly:

Lahir pada 16 Oktober 1975 di Kuala Pembuang, Kalimantan Tengah. Seusai menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Islam Kalimantan, Banjarmasin pada 1999, ia bekerja sebagai wartawan; 2000-2009 menjadi wartawan dan redaktur pelaksana di Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group), 2009-2010 menjabat sebagai pemimpin redaksi Radar Bandung (Jawa Pos Group), dan sejak 2010-sekarang bertindak sebagai redaktur pelaksana Media Kalimantan.

Sejumlah cerita pendeknya dipublikasikan di media cetak nasional, antara lain KOMPAS, Jurnal Cerpen Indonesia, dll. Novel perdananya, Rumah Debu (November 2010), membawanya pada perhelatan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2011 di Ubud, Bali

3c110c9d5a6f3f8ec1fbaa5f16c66090

Konvoi Persebaya dan Bonek

Saat melintas di depan Stasiun Gubeng minggu siang kemarin, ada pemandangan tak biasa. Puluhan aparat dan ratusan bonek berkumpul dengan kostum hijau lengkap berikut atributnya. Akan ada konvoi Persebaya dan Bonek.

Bonek menunggu dari Depan Sta. Gubeng hingga Hotel Sahid Surabaya
Bonek menunggu dari Depan Sta. Gubeng hingga Hotel Sahid Surabaya
Aksi Bonek yang bersahabat :)
Aksi Bonek yang bersahabat 🙂
Misi.. numpang narsis ye.. :D
Misi.. numpang narsis ye.. 😀

Awalnya saya mengira ada razia, ternyata bukan. Mereka berkumpul untuk menunggu pemain Persebaya tiba dari Solo. Menurut kabar yang saya dapat, kesebelasan Persebaya menjuarai Divisi Utama setelah bertanding melawan Perseru Serui dengan kemenangan 2 – 0.

Beruntung saat itu saya bawa kamera dan karena peristiwa seperti ini jarang terjadi saya banting setir menjadi reportase dadakan. Mulanya saya hanya ingin memotret jeep keren yang dipakai untuk arak-arakan tetapi begitu melihat antusisme para Bonek saya pun ikut-ikutan konvoi. Bukan ikut konvoi sih, tapi saya hanya motret konvoinya aja.

Konvoi Persebaya dan Bonek di mulai dari depan Stasiun Gubeng. Para pemain yang menaiki jeep sambil membawa piala di arak oleh para supporter yang dikawal oleh aparat kepolisian. Persis seperti pertandingan di stadion, para supporter itu bernyanyi sambil mengibarkan bendera hijau Bonek. Beberapa bonek juga sempat membuat asap kuning selama di perjalanan membuat arak-arakan itu terlihat meriah dan hidup.

Tertib dan aman :)
Tertib dan aman 🙂
Pemain Persebaya
Pemain Persebaya
Piala di arak keliling Surabaya
Piala di arak keliling Surabaya
Seru, tidak menakutkan :D
Seru, tidak menakutkan 😀
Motor dan Mobil Polisi mengawal perjalanan konvoi di Jalan Urip Sumoharjo
Motor dan Mobil Polisi mengawal perjalanan konvoi di Jalan Urip Sumoharjo

Dari Sta. Gubeng, konvoi itu melewati Jl. Pemuda, Jl. Panglima Sudirman (Pangsud), Jl. Urip Sumoharjo hingga Darmo dan berhenti sejenak di depan Taman Bungkul. Selanjutnya mereka berputar melewati Kebun Binatang dan berlanjut terus hingga Jl. Urip Sumoharjo lagi melewati Jl. Basuki Rahmad, Jl. Gubernur Suryo di depan Grahadi lalu berhenti di depan Gedung DPRD Surabaya dibelakang Balai Pemuda. Di sana para pemain Persebaya dan Bonek di sambut oleh ketua DPRD Bpk. M. Mahmud.

Dalam sambutannya M. Mahmud mengucapkan selamat kepada para pemain yang telah berjuang dan para Bonek yang selalu setia memberi semangat. Kata M. Mahmud lagi, di Surabaya hanya satu Persebaya dan satu Bonek.

Piala di gadang-gadang
Piala di gadang-gadang

YUNI5241YUNI5242Sebelum masuk ke dalam Gedung DPRD, satu persatu Bonek berebut mengabadikan diri bersama pemain atau berdua dengan pialanya saja. Mereka berebut untuk bisa mencium piala kebanggaan mereka itu.

Karena hari sudah beranjak siang, saya buru-buru pulang karena belum Sholat Dhuhur. Rupanya selama acara penyambutan para Bonek itu masih setia di depan Gedung.

Dan pagi tadi saya baca berita tentang konvoi kemarin. Ternyata konvoi masih berlanjut hingga ke Jl. JAgung Suprapto.

Selamat konvoi Persebaya dan Bonek.. Semoga kemenangan yang di raih bukan kemenangan yang terakhir.

Kasih jalan-kasih jalan... ada Bonita lewat :P
Kasih jalan-kasih jalan… ada Bonita lewat 😛

Halal bihalal blogger dan launcing buku

Jadi sedih dan kasian melihat blog ini gak diupdate-update. Berhubung saya masih sibuk ngejar tantangan #30HariNonStopNgeblog di Blogdetik maka agak terlantarlah blog ini. Maafkan yaa..

Seharusnya postingan ini sudah harus tayang seminggu yang lalu, berhubung karena gak sempat-sempat nulis jadilah molor sebegini lama. Nggak papa kan ya? Dari pada nggak sama sekali hehe..

Ini cerita tentang kopdar kemarin. Kopdar sekaligus merayakan miladnya Pakde sang Komandan Blogcamp, sekaligus halal bihalal, sekaligus juga launching buku *haiya banyak banget sekaligusnya*.

Bertempat di Rumah Makan Bu Cokro,  kawasan Jl. Dharmahusada, acara ini berlangsung cukup meriah. Tamu undangan yang datang dari penjuru Jawa Timur antusias menghadiri undangannya Pakde.  Mulai dari Yogja, Jombang, Pasuruan, Sidoarjo, dan Surabaya sendiri. Barangkali masih ada kota lain yang belum saya sebutkan?

Tepat jam 10, belum banyak undangan yang hadir. Hanya ada Pakde, Budhe, Kang Yayat, saya dan suami. Sambil menunggu tamu-tamu datang, Pakde, Kang Yayat dan suami sibuk mengatur kursi yang digunakan untuk launching buku. Sedangkan saya bersama Budhe sibuk mengisi souvenir.

Tak lama kemudian satu persatu tamu datang. Ada Mbak Rahmah chemist dan suami, Inge sekeluarga,  Mbak Nunu El Fasa, Mbak Titi Surya, Niar, Mas Rudi Belalang cerewet  dan keluarga yang datang jauh dari Bogor, Mbak Elsa tantenya Dija, ada Asmie juga, teman SMP saya dulu, kopdar sekaligus reuni deh hehe..  dan masih banyak yang lainnya..

Acara pertama adalah pembukaan yang dibawakan langsung oleh sohibul hajat, Pakde Cholik. Di sela sambutannya, Pakde menceritakan tentang trilogi buku yang dilaunching hari itu. Pakde juga mengompor-ngompori agar blogger semangat menulis supaya nantinya bisa menerbitkan buku. Wah, inspiratif sekali sambutan Pakde ini..

Setelah Pakde, Mas Rudi juga turut serta memberikan wejangan. Sebagai penerbit buku Pakde, Mas Rudi mengceritakan proses awal mula hingga akhir sehingga bukunya Pakde terbit pada waktunya.

Untuk memeriahkan acara, Pakde juga mengadakan acara lomba puisi. Puisi yang dibacakan adalah bukunya Pakde sendiri. Saat Mbak Titi Surya membacakan puisi saya senang mendengarnya. Sebab Mbak Titi begitu mendalami. Intonasinya juga dapat. Iramanya pun sesuai dengan tanda bacanya, kereeen Mbakk..

Kata Pakde, kopdar gak makan itu rasanya kecut. Setelah lomba puisi kemudia sesi tanda tangan buku, para tamu lain dipersilakan untuk menikmati hidangan. Hmm.. nikmat-nikmat hidangannya.. sembari menikmati hidangan saya pun ngobrol bersama emak-emak blogger.

Di akhir acara waktunya sesi foto-foto.. karena kopdar kali ini pesertaya sangat banyak, jadilah sesi fotonya gak bisa kena semua.. lihatlah saya, berada dipaling atas, hiks.. muka imut saya gak kelihatan.. 😀

Dan biarlah foto-foto ini yang bicara:

Seksi souvenir :D
Seksi souvenir 😀
Bersama Emak-emak blogger
Bersama Emak-emak blogger
Narsis bersama banner buku
Narsis bersama banner buku

 

Pakde memberi instruksi kepada Pak Muhaimin dan Mas Rudi belalang cerewet. Gimana, sudah paham Bapak-bapak? :D
Pakde memberi instruksi kepada Pak Muhaimin dan Mas Rudi belalang cerewet. Gimana, sudah paham Bapak-bapak? 😀
Bella dan kue ulang tahun
Bella dan kue ulang tahun
Sesi foto keluarga
Sesi foto keluarga
Menerima souvenir. Asiiik.. dapat buku trilogi dari Pakde :D
Menerima souvenir. Asiiik.. dapat buku trilogi dari Pakde 😀 Foto: Pak Muhaimin
Karena saat foto bersama, muka saya gak kelihatan, jadi saya pasang pose chibi-chibi aja ya.. :D
Karena saat foto bersama, muka saya gak kelihatan, jadi saya pasang pose chibi-chibi ini aja ya.. 😀  Foto: Tante Elsa                                                                     

Koleksi Sophie Kinsella

Sejak menemukan di sebuah rak obral Gramedia saya ketagihan mengoleksi buku karya Sophie Kinsella.

Awalnya saya tak begitu suka dengan buku-buku terjemahan. Entah mungkin nerjemahinnya kurang pas atau apa kadang saya bingung sendiri membacanya. Siapa tokoh utamanya, konfliknya apa, apa yang sedang diobrolin, gak sampai di kepala saya. Sudah beberapa kali saya membaca buku-buku terjemahan, juga mencoba dengan beberapa penulis. Tapi tetap aja, saya nggak ngerti maksudnya.

Suatu ketika saat ngobrak-abrik buku obralan di sebuah rak yang ditata mirip bak buku dengan aneka judul dan jenis buku bercampur aduk disana. Tangan saya memegang buku berwarna putih yang sampulnya sudah hilang entah kemana, dan tiba-tiba saya merasa ingin membelinya. Agak ragu-ragu, sebab judulnya berbahasa Inggris ‘Confessions of a Shopaholic’ yang langsung saya simpulkan bahwa ini adalah buku terjemahan.

Judulnya menarik banget untuk dibeli. Tapi bayangin buku itu adalah buku terjemahan, keraguan saya melonjak. Di beli, nggak, dibeli, nggak. Harganya sih murah aja, Cuma 20 ribu. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya saya putuskan untuk membeli. Yah, kalaupun nantinya gak terbaca, gak masalah, toh Cuma 20 ribu ini..

Sesampai dirumah, langsung aja buku itu saya ambil untuk dibaca. Maksudnya, saya ingin menakhlukkan buku terjemahan. Masak sih saya gak bisa baca buku terjemahan sama sekali. Apakah semenyerah itu saya dengan buku-buku terjemahan sehingga tak satupun buku terjemahan ada dikoleksi saya.

Baru baca sehalaman aja, langsung ketagihan. Saya merasa tulisan Sophie Kinsella beda banget dengan buku-buku terjemahan lainnya. Gaya-gaya tulisan ‘aku’ nya humanis banget. Ia harus rela berbohong demi mengungkapkan kejujuran. Juga sikapnya yang konyol begitu menyentuh perasaan membuat sayang untuk tak meneruskan membacanya sampai habis.

Dan begitu saya habiskan satu buku, tiba-tiba saya merasa sayang. Kenapa tadi saya terlalu cepat bacanya.

Besoknya saya mencoba ke toko buku. Tak seperti biasanya, kali ini saya mengobok-obok deretan rak bagian novel terjemahan. Tak ada alasan lain, yaitu mencari novelnya Sophie Kinsella. Hingga sekarang, kebiasaan pertama masuk ke toko buku adalah mencari novelnya Sophie Kinsella.

Lambat laun, tanpa terasa, saya sudah mengoleksi novelnya Sophie Kinsella mulai dari serial si gila belanja: Confessions of a Shopaholic (Pengakuan si gila belanja), Shopaholic Abroad (Si gila belanja merambah Manhattan), Shopaholic ties the knot (Si gila belanja akhirnya kawin juga), Shopaholic and Sister (Si gila belanja punya kakak), Shopaholic and Baby (Si gila belanja punya bayi). Sebetulnya masih ada 1 lagi kelanjutannya, Minishopaholic yang menceritakan bayinya si Becky  (si gila belanja) yang juga punya hobby seperti Mamanya, gila belanja. Sayangnya beberapa kali saya nyari sudah gak ada lagi.

Selain serialnya saya juga memiliki ChikLitnya, The Undomestic Goddess (Bukan cewek Rumahan).

Hanya ini yang saya punya, maunya sih nambah lagi :P
Hanya ini yang saya punya, maunya sih nambah lagi 😛

Dari kesemua buku itu saya memiliki kesimpulan tersendiri, bahwa si penulis ini rajin belanja dan selera belanjanya tinggi banget. Dia sering menyebut merk dan butik ternama seperti  Tas Louis Vitton, Rok Miu-miu, Jas Armani, DKNY, M&S, French Connection, Knickerbox, Denny and George dalam setiap penulisannya. Mungkin saja untuk menuliskan itu semua, Sophie harus mengoleksi semua merk itu lebih dulu sehingga dia mengerti harga, kualitas dan ciri-cirinya.

Demi melengkapi koleksi buku Sophie Kinsella, menemukan buku secondnya di Jl. Semarang yang halamannya sudah hilang itu sesuatu banget. Padahal buku second itu barunya masih terpajang di Rumah Buku Ngagel. Dan saya mendapatkan secondnya itu dengan harga sepersupuluh dari harga aslinya, Novel itu berjudul Can You Keep a Secret (Jangan bilang-bilang, ya…)

Kondisi kayak gini, tetap dibeli . Yang penting isinya, gak penting sampulnya :D
Kondisi kayak gini, tetap dibeli . Yang penting isinya, gak penting sampulnya 😀

Dan kemarin itu, saya mencoba ke tempat persewaan novel. Niatnya sih mau nyari majalah fotografi. Karena nggak ada, saya nanya ke si Mbaknya, apakah punya koleksi novelnya Sophie Kinsella. Sayangnya nama Sophie Kinsella gak begitu dikenal. Dia lebih mengenal Harlequinn.  Nyatanya saat saya melototi satu persatu koleksinya saya menemukan beberapa, hanya beberapa, masih lengkapan punya saya, buku Sophie Kinsella. Karena buku terbarunya  yang ChickLit: Pesta Tenis belum ada di persewaan, pun saya mau beli juga masih pikir-pikir (galau milih antara beli buku atau beli baju lebaran) saya nemu buku Remember Me? (Ingat aku?), Ah lumayan..

Tinggal kenangan. Sudah dikembalikan ke pemiliknya
Tinggal kenangan. Sudah dikembalikan ke pemiliknya

Dan kayaknya saya terlambat mengenal buku-buku Sophie Kinsella. Setelah browsing ternyata ada banyak sekali buku-buku Sophie Kinsella yang belum saya punya dan di toko buku pun sudah nggak dipajang lagi. Seperti, ChickLit: I’ve Got Your Number, Klub Koktail da Berbagi Rajang. Padahal sebelumnya sempat lihat dipajangan, tapi saat-saat terakhir saya lihat di Gramedia Rosa, Rumah Buku, dan Toga Mas sudah gak ada. Cek di daftar komputer dan tanya ke Mbaknya juga bilangnya nggak ada. Gak tau lagi deh, nggak adanya itu emang stock kosong atau sudah ditarik ke penerbit. Saya Cuma berharap kalaupun sudah gak dipajang lagi, dan stock di gudang masih banyak, semoga kalau ada pameran, novelnya di obral murah..

Ada yang ngoleksi bukunya Sophie Kinsella juga? Mbak Erry dan Mbak Irma saya yakin punya) 😀

Sepak bola Celebrity Charity Match dalam rangka menjamu Arsenal FC

Minggu sore waktunya acara Master Chef Indonesia. Begitu saya nyalakan RCTI, yang muncul bukan para kontestan sedang sibuk menyelesaikan challenge dari para Chef. Tapi acara sepak bola Celebrity Charity Match dalam rangka menjamu Arsenal FC. Agak kecewa, sih. Masak acara Master Chef gak ada. Tumben-tumbenan Master Chef gak tayang..

Saya coba ikuti acara sepak bola akhirnya. Tapi tiba-tiba saya merasa, ada yang di pertandingan ini. Dari gaya lari pemainnya kok gak seperti pertandingan biasanya. Dan yang membuat saya makin penasaran saat komentator menyebut nama Judika.

Hah? Kok Judika, sih? Emang Judika sudah ganti profesi ya?

Lalu secara sekilas pandang muncul mukanya Al. Lalu kedengar juga nama Jamil disebut-sebut. Hah, masak sih ada Saipul Jamil segala. Ya, bukannya apa-apa sih cuma takut aja kalau tiba-tiba sedang bertanding  dia  joget-joget ditengah lapangan sambil bawa bola dan nyayi-nyanyi dangdut.  Eh, untungnya bukan Jamil dia, tapi Ibnu Jamil. Leganya, padahal sudah hampir sewot aja.. 😀

Begitu melihat pemainnya itu para selebritis , saya makin tertarik mengikutinya. Acara Master Chef yang tadi saya tunggu-tunggu udah gak menarik lagi untuk ditunggu 😛

Nama Timnya juga unik. RCTI Red VS RCTI Blue.

Saya sebutin ya pemain-pemainnya yang tertangkap mata saya. Selain Judika, Al dan Ibnu Jamil. Ada Pebulu tangkis Nova Widianto dan Ricki Subagja, Augie,  Desta, Vincent, Kaka, Andra, Bima Sakti, Iko Uwais, dll.

Al yang cool. Gambar dari Google
Al yang cool. Gambar dari Google

Karena pemain-pemainnya bukan pemain sepak bola asli, jadi ya jalannya pertandingan agak konyol. Apalagi komentatornya si Ari Untung, yang pinter membawa suasana dengan kalimat-kalimat yang bikin orang mendengar tertawa gak henti-henti.

Selain komentator, pemain-pemainnya juga gokil-gokil. Seperti ketika si Desta yang buru-buru mengejar bola. Setelah bola kepegang, dia siap-siap menendang. Padahal posisinya sdh didepan gawang lawan. Tapi begitu ditendang dengan harapan besar bola masuk, eh ndilalah sepatunya copot. Sehingga membuat pemain lainnya tertawa gak selesai-selesai. Apalagi dia celingak-celinguk nyariin sepatunya yang gak jelas juntrungannya.

Ada lagi ketika si Ikmal dari tim merah, yang tatanan rambutnya berdiri njegrak seperti kipas gak berhasil menggolkan bola, kemudian Ikmal sibuk mengelus-ngelus rambutnya. Kayaknya dia lebih sayang tatanan rambutnya ketimbang bolanya..

Ada Augie juga yang bikin suasana heboh. Ketika dia berhasil menggolkan bola, seperti gaya bak pemain kondang dia berlari keliling lapangan sambil narik kaosnya keatas. Rupanya dia sengaja memakai kaos dalaman yang bertuliskan “Wenger need me”. Dan tertawalah semua penonton se stadion.

Hingga akhir babak pertama skor sementara 3-2 untuk kemenangan Tim RCTI Red. Setelah istirahat 15 menit, pertandingan dilanjutkan lagi.

Di babak kedua ini hawanya lumayan segar karena ada Ariel turun laga. Sayangnya kehadiran Ariel tak begitu disorot, mungkin karena Ariel jarang mendapat bola, kali. Cuma sedikit aja dia disorot, salah satunya  ketika dia tertawa-tawa. Pasalnya dia dianggap telah menendang pantat pemain lain, spontan saja hal itu membuat dia harus diteriaki penonton (Heran, kenapa gara-gara salah nendang aja dia diteriakin hehe..)

Ariel sedang mengejar bola. Gambar dari Google
Ariel sedang mengejar bola. Gambar dari Google

Yang sering kena sorot kamera ya Judika karena dia berkali-kali menjebol gawang. Juga si Al, pemain termuda yang juga menggolkan bola 2 kali.

Skor akhir di babak kedua dengan skor 5-4 dengan kemenangan Tim RCTI Red. Ketika acara bubaran berlangsung, Ari Untung ngomong begini: “Berakhirlah sudah pertandingan hari ini dengan kemenangan pada di Tim RCTI Blue. Saat ini mereka sedang menukarkan kostum (padahal nggak Cuma pura-pura aja, lagian kalau tukar beneran mereka gak mungkin mau deh, mana kaosnya basah keringat begitu). Saat Ariel di sorot, Arie Untung spontan bilang: “Untuk Ariel gak usah buka kaos, udah pernah lihat soalnya” hihi..

Menurut saya, acara sepak bola Celebrity Charity Match dalam rangka menjamu Arsenal FC  seperti ini wajib diadakan lagi. Bukan untuk mencari menang kalah, tapi upaya untuk menghibur masyarakat, menghibur pemain asli, dan menghibur pengurus yang menangani persebakbolaan di Indonesia supaya mendapatkan angin segar yang jauh dari gontok-gontokan, jauh dari kebencian, tapi semuanya terbalut dalam kesetiakawanan.

Ada satu kesempatan lucu ketika Desta (kalau gak salah) habis menggolkan gawang lawan, dia bukannya lari ke timnya untuk merayakan euforia, tetapi dia berlari dan menunggangi punggung penjaga gawang lawan sambil tertawa-tawa. Dan bukannya marah, tapi si kiper malah senyum-senyum. Kalau bermain SERSAN begini kan penontonnya senang, SERius tapi SANtai

Dari permainan ini juga menampakkan kebesaran hati pemain manakala Augie mendapatkan kartu kuning dari wasit. Bukan kemarahan yang ditampakkan, walau dalam hati kecewa tapi dengan gokilnya dia sujud-sujud didepannya wasit supaya dimaafkan. Wasit pun gak bisa menahan tertawanya. Kejadian itu malah dimanfaatkan pemain lain untuk beradegan antagonis layaknya bapak tiri.

Teman-teman ada yang nonton pertandingan sepak bola bertajuk Celebrity Charity Match dalam rangka menjamu Arsenal FC juga?

Menjadi Kondektur

Tadi pagi iseng-iseng saya buka-buka lemari buku. Disana saya menemukan sebuah buku kenangan saat SMK dulu. Sebetulnya sih bukan buku beneran hanya berupa lembaran fotokopian yang saya kumpulkan jadi lembaran buku.

Ceritanya dulu itu saat kelas 3 SMK saya ingin membuat sebuah buku kenangan untuk teman-teman sekelas. Karena sekolah tidak mencetak buku kenangan akhirnya saya berinisiatif menyusun sendiri dengan meminta teman-teman sekelas membuat semacam biodata pribadi masing-masing pada selembar kertas HVS. Dengan selembar HVS itu mereka boleh menulis apa saja seperti puisi, pantun, gambar atau apapun asal unik dan kreatif serta foto mereka.

Kumpulan-kumpulan HVS itu saya fotokopi lalu saya bagikan kepada mereka.

Tidak mudah saat itu menyuruh mereka membuat biografi. Ada saja alasannya. Katanya: “Gae opo nggawe buku kenangan?”

Begh. Rasanya pengen aja jitak kepala mereka satu-satu, mereka baru menyadari setelah saya jelaskan fungsinya.

Oke. Mungkin saat itu buku seperti  itu gak ada apa-apanya dan sama sekali gak penting, tapi sekarang? Setelah 13 tahun berlalu?

Kalau saya bilang buku itu sangat-sangat sederhana sekali. Dan yang saya suka adalah kekreatifannya mereka dalam membuat goresan-goresan gambar dan puisi sederhana dengan bahasa yang sederhana pula hingga membuat saya tiba-tiba kangen ketemu mereka.

Saya buka satu persatu halaman bergambar yang saya susun sesuai buku absen sambil tertawa baca tulisan-tulisan mereka. Foto dan nama-nama yang mereka ragkai dengan font cara mereka sendiri membuat saya kagum bahwa ternyata temanku-temanku dulu itu romantis-romantis dan pintar merangkai kata walau terkesan lebai. Namun justru kelebaian itu yang membuat saya kangen dengan masa-masa remaja.

Hingga tibalah saatnya saya membuka halaman yang paling belakang. Sesuai abjad, nama sayalah yang selalu paling bawah sejak SD dulu. Disitu saya menulis Nama, alamat rumah (waktu itu belum punya telpon), dan beberapa coretan-coretan aneh.

Ada satu tulisan yang tiba-tiba membuat saya kaget dan tertawa. Saya menulis begini: Sebenarnya saya bercita-cita ingin menjadi Kondektur!

Hah?

Kenapa saya dulu menulis begitu ya?

Gak ada kerennya sama sekali, cita-cita kok jadi kondektur bis! 😀

Oke, mungkin itu ungkapan polos saya waktu itu. Tapi jujur sejak dulu saya ingin sekali menjadi seorang kondektur bis.

Iya, kondektur. Yang kerjaannya berdiri didekat pintu bis sambil naik turun jika ada penumpang akan naik atau turun. Sepertinya saya akan tampak keren dengan balutan seragam warna orange memakai tas pinggang berisi duit recehan sambil ditangan menggenggam segepok duit kertas dan segepok karcis, berjalan dari belakang ke depan minta ongkos kepada penumpang. Keren, kan?

Saya juga akan tampak gagah mengetok-ngetok duit recehan di kaca pintu bis sambil teriak kencang, “Kiriii!!!” sebagai aba-aba supaya sopirnya berhenti.

Sampai sekarang pun kalau melihat kondektur wanita atau kenek perempuan saya suka iri. Kenapa saya dulu gak bisa ngejar cita-cita jadi kondektur. Padahal saya pernah lho berdiri dipinggir pintu dengan kaki sebelah. Saya juga bisa nurunin penumpang terus lari ngejar bis. Narikin ongkos penumpang kemudian meluruskan uang-uang kertas saya juga bisa.

Tapi apa kondektur itu juga termasuk cita-cita? 😀