M

Saat mantengin rak tissu, mata saya tiba-tiba selingkuh ngelirik ke isi kereta dorong seorang Bapak yang berdiri tak jauh dari saya. Secara seksama saya perhatikan isi belanjaan itu. Lama. Lalu pandangan saya alihkan ke arah si Bapak.

Gak ada yang salah sih sebetulnya. Seorang Bapak pun punya hak untuk belanja sendiri di supermarket. Tapi saya merasa ada sesuatu yang mengganjal. Terutama barang-barang yang di beli si Bapak yang salah satunya adalah pembalut.

Saya perhatikan Bapak itu cuek aja milih pembalut. Kayaknya gak ada kesan malu atau risih. Malah justru saya nya yang sungkan sendiri hehe..

Mangapa harus si Bapak yang beli pembalut?

Kenapa bukan istrinya atau anak perempuannya yang membeli?

Teringat masa kecil saat di suruh Ibu beli pembalut di toko dekat rumah. Setiap kali menyuruh, selain menyerahkan duit, Ibu juga menitipkan pesan khusus sambil bisik-bisik: “Minta di bungkus koran ya. Bungkusnya yang rapat. Jangan sampai dilihat orang”.

Sesampai di toko, saya pun ngomongnya sambil bisik-bisik juga, supaya ucapan saya gak di dengar orang. Dan biasanya penjual langsung tanggap. Tanpa di minta, penjual akan membungkus dengan koran lebar lalu di masukkan ke dalam kantong kresek berwarna hitam.

Begitu juga saat giliran saya sudah mulai mendapatkan ‘tamu’. Selama di sekolah bawaanya selalu diam. Kalau pas pelajaran agama, diam-diam saya pindah bangku di belakang. Demi menjaga rahasia, kalau di tanya teman, saya jawab dengan  mengangkat jari telunjuk, jari tengah dan jari manis membentuk angka 3 dengan posisi terbalik. Dan mereka pun langsung paham kalau hari itu saya sedang M.

Tapi sekarang, begitu melihat ada seorang Bapak membeli pembalut, sepertinya rasa tabu itu sirna. Saya tidak tau mungkin saya nya yang terlalu katro’ dan sungkan sehingga merasa aneh sendiri. Atau mungkin karena efek lain sehingga ada suami yang rela membelikan pembalut buat istrinya.

 

Bu Risma dan kota seribu taman

Kalau di Jakarta ada Pak Jokowi, maka di Surabaya saya bangga punya Bu Risma (Tri Rismaharini)

Sosok Ibu Walikota yang memiliki gaya kepemimpinan unik ini dalam 3 tahun jabatannya sedikit banyak telah sukses mengubah wajah kota Surabaya.

Walau namanya mungkin tak setenar Jokowi tetapi bagi warga Surabaya, khususnya pasukan kebersihan, sosok Bu Risma sangat di hormati dan di segani. Pembawaannya sederhana, suka ceplas-ceplos, murah senyum tapi juga punya hobi marah-marah. Bagi yang pernah dan sering bekerja di bawah kepemimpinan Bu Risma, mendengar Bu Risma marah adalah hal biasa. Dan itu salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah.

Saya punya 2 orang dekat yang bekerja sebagai petugas kebersihan kota. Dan dari mereka lah saya bisa menulis ini disamping melakukan pengamatan sendiri juga melalui media cetak atau digital. Tinggal saya kait-kaitkan saja.

Meskipun suka ceplas-ceplos, namun Bu Risma tak main-main denga kata-katanya. Jika ada proyek atau saluran jalan yang tak kunjung selesai dan dirasa cukup mengganggu keindahan kota, Bu Risma akan secepat mungkin cari tau dan sesegera mungkin meminta mereka menyelesaikannya. Sejak sebelum menjadi Walikota hingga menjadi  walikota, Bu Risma memang menonjol dalam kebersihan jalan, saluran air/sungai juga kecantikan kota. Sepertinya sudah sesuai bidangnya, Bu Risma yang seorang lulusan S2 Manajemen Pembangunan Kota di ITS ini, selama karier di pemerintahan, beliau pernah menjabat: Kepala Seksi dan Tata Guna Bappeko Surabaya (1996), Kepala Dinas Pertamanan dan Kebersihan (2005-2008), Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (2008-2010) yang kemudian membawa beliau pada Partai Politik.

Meskipun di awal-awal Bu Risma enggan untuk menjadi Walikota tetapi mau tak mau Bu Risma berangkat juga. Itu karena hasil survei yang sempat di syaratkan oleh Bu Risma. Syarat yang diajukan adalah Jika survei atas dirinya tidak mencapai angka 20% maka Bu Risma enggan jadi walikota. Kenyataannya survei menunjukkan angka 22%.

Di usung oleh PDIP, Bu Risma di sandingkan dengan Walikota sebelumnya, yakni Bambang DH. Karena sudah menjabat selama 2 periode yang seharusnya Bambang DH tidak boleh menjabat lagi, maka di jadikanlan Bu Risma sebagai posisi walikota.

Meski selama pemilukada berjalan lancar, kenyataanya Bu Risma mendapat batu sandungan. Antara lain, belum 1 bulan menjabat, Bu Risma akan di lengserkan oleh DPRD Surabaya. Dan bahkan dalam pelengseran itu, PDIP sebagai partai pengusungnya juga masuk menjadi salah satu partai yang ikut melengserkan Bu Risma. Meski akhirnya gagal di turunkan. Sebaliknya, kini PDIP memberi perhatian penuh kepada Bu Risma atas kesuksesannya memimpin kota Surabaya.

Tak berhenti sampai di situ, Kini Bu Risma masih di uji dengan menjadi pemimpin tunggal kota Surabaya. Sebab, sejak  mencalonkan diri menjadi Cagub Jatim, Bambang DH telah mengundurkan diri menjadi wakil walikota sejak April lalu. Dan hingga kini belum juga ada penggantinya.

Kini kota Surabaya telah berubah wajah. Kota yang dulunya terkenal panas dan debu, menjadi asri dan segar. Pepohonan hijau tumbuh di mana-mana memayungi jalanan Surabaya. Juga taman-taman nan indah yang mempercantik kota membuat siapa saja betah berada di luaran. Di tangan Bu Risma, Surabaya memiliki tempat wisata gratisan yang bisa di kunjungi oleh siapa saja juga kapan saja.

Dan harapan saya sebagai warga Surabaya, semoga masih ada sosok Bu Risma lain yang mampu mengimbangi kinerja beliau sehingga jika di akhir masa pemerintahannya nanti Surabaya tetap menjadi kota terbersih dengan seribu tamannya.

Bu Risma tangannya di bebat karena patah
Bu Risma tangannya di bebat karena patah

 

Referensi: Majalah Detik

Konvoi Persebaya dan Bonek

Saat melintas di depan Stasiun Gubeng minggu siang kemarin, ada pemandangan tak biasa. Puluhan aparat dan ratusan bonek berkumpul dengan kostum hijau lengkap berikut atributnya. Akan ada konvoi Persebaya dan Bonek.

Bonek menunggu dari Depan Sta. Gubeng hingga Hotel Sahid Surabaya
Bonek menunggu dari Depan Sta. Gubeng hingga Hotel Sahid Surabaya
Aksi Bonek yang bersahabat :)
Aksi Bonek yang bersahabat 🙂
Misi.. numpang narsis ye.. :D
Misi.. numpang narsis ye.. 😀

Awalnya saya mengira ada razia, ternyata bukan. Mereka berkumpul untuk menunggu pemain Persebaya tiba dari Solo. Menurut kabar yang saya dapat, kesebelasan Persebaya menjuarai Divisi Utama setelah bertanding melawan Perseru Serui dengan kemenangan 2 – 0.

Beruntung saat itu saya bawa kamera dan karena peristiwa seperti ini jarang terjadi saya banting setir menjadi reportase dadakan. Mulanya saya hanya ingin memotret jeep keren yang dipakai untuk arak-arakan tetapi begitu melihat antusisme para Bonek saya pun ikut-ikutan konvoi. Bukan ikut konvoi sih, tapi saya hanya motret konvoinya aja.

Konvoi Persebaya dan Bonek di mulai dari depan Stasiun Gubeng. Para pemain yang menaiki jeep sambil membawa piala di arak oleh para supporter yang dikawal oleh aparat kepolisian. Persis seperti pertandingan di stadion, para supporter itu bernyanyi sambil mengibarkan bendera hijau Bonek. Beberapa bonek juga sempat membuat asap kuning selama di perjalanan membuat arak-arakan itu terlihat meriah dan hidup.

Tertib dan aman :)
Tertib dan aman 🙂
Pemain Persebaya
Pemain Persebaya
Piala di arak keliling Surabaya
Piala di arak keliling Surabaya
Seru, tidak menakutkan :D
Seru, tidak menakutkan 😀
Motor dan Mobil Polisi mengawal perjalanan konvoi di Jalan Urip Sumoharjo
Motor dan Mobil Polisi mengawal perjalanan konvoi di Jalan Urip Sumoharjo

Dari Sta. Gubeng, konvoi itu melewati Jl. Pemuda, Jl. Panglima Sudirman (Pangsud), Jl. Urip Sumoharjo hingga Darmo dan berhenti sejenak di depan Taman Bungkul. Selanjutnya mereka berputar melewati Kebun Binatang dan berlanjut terus hingga Jl. Urip Sumoharjo lagi melewati Jl. Basuki Rahmad, Jl. Gubernur Suryo di depan Grahadi lalu berhenti di depan Gedung DPRD Surabaya dibelakang Balai Pemuda. Di sana para pemain Persebaya dan Bonek di sambut oleh ketua DPRD Bpk. M. Mahmud.

Dalam sambutannya M. Mahmud mengucapkan selamat kepada para pemain yang telah berjuang dan para Bonek yang selalu setia memberi semangat. Kata M. Mahmud lagi, di Surabaya hanya satu Persebaya dan satu Bonek.

Piala di gadang-gadang
Piala di gadang-gadang

YUNI5241YUNI5242Sebelum masuk ke dalam Gedung DPRD, satu persatu Bonek berebut mengabadikan diri bersama pemain atau berdua dengan pialanya saja. Mereka berebut untuk bisa mencium piala kebanggaan mereka itu.

Karena hari sudah beranjak siang, saya buru-buru pulang karena belum Sholat Dhuhur. Rupanya selama acara penyambutan para Bonek itu masih setia di depan Gedung.

Dan pagi tadi saya baca berita tentang konvoi kemarin. Ternyata konvoi masih berlanjut hingga ke Jl. JAgung Suprapto.

Selamat konvoi Persebaya dan Bonek.. Semoga kemenangan yang di raih bukan kemenangan yang terakhir.

Kasih jalan-kasih jalan... ada Bonita lewat :P
Kasih jalan-kasih jalan… ada Bonita lewat 😛

Halal bihalal blogger dan launcing buku

Jadi sedih dan kasian melihat blog ini gak diupdate-update. Berhubung saya masih sibuk ngejar tantangan #30HariNonStopNgeblog di Blogdetik maka agak terlantarlah blog ini. Maafkan yaa..

Seharusnya postingan ini sudah harus tayang seminggu yang lalu, berhubung karena gak sempat-sempat nulis jadilah molor sebegini lama. Nggak papa kan ya? Dari pada nggak sama sekali hehe..

Ini cerita tentang kopdar kemarin. Kopdar sekaligus merayakan miladnya Pakde sang Komandan Blogcamp, sekaligus halal bihalal, sekaligus juga launching buku *haiya banyak banget sekaligusnya*.

Bertempat di Rumah Makan Bu Cokro,  kawasan Jl. Dharmahusada, acara ini berlangsung cukup meriah. Tamu undangan yang datang dari penjuru Jawa Timur antusias menghadiri undangannya Pakde.  Mulai dari Yogja, Jombang, Pasuruan, Sidoarjo, dan Surabaya sendiri. Barangkali masih ada kota lain yang belum saya sebutkan?

Tepat jam 10, belum banyak undangan yang hadir. Hanya ada Pakde, Budhe, Kang Yayat, saya dan suami. Sambil menunggu tamu-tamu datang, Pakde, Kang Yayat dan suami sibuk mengatur kursi yang digunakan untuk launching buku. Sedangkan saya bersama Budhe sibuk mengisi souvenir.

Tak lama kemudian satu persatu tamu datang. Ada Mbak Rahmah chemist dan suami, Inge sekeluarga,  Mbak Nunu El Fasa, Mbak Titi Surya, Niar, Mas Rudi Belalang cerewet  dan keluarga yang datang jauh dari Bogor, Mbak Elsa tantenya Dija, ada Asmie juga, teman SMP saya dulu, kopdar sekaligus reuni deh hehe..  dan masih banyak yang lainnya..

Acara pertama adalah pembukaan yang dibawakan langsung oleh sohibul hajat, Pakde Cholik. Di sela sambutannya, Pakde menceritakan tentang trilogi buku yang dilaunching hari itu. Pakde juga mengompor-ngompori agar blogger semangat menulis supaya nantinya bisa menerbitkan buku. Wah, inspiratif sekali sambutan Pakde ini..

Setelah Pakde, Mas Rudi juga turut serta memberikan wejangan. Sebagai penerbit buku Pakde, Mas Rudi mengceritakan proses awal mula hingga akhir sehingga bukunya Pakde terbit pada waktunya.

Untuk memeriahkan acara, Pakde juga mengadakan acara lomba puisi. Puisi yang dibacakan adalah bukunya Pakde sendiri. Saat Mbak Titi Surya membacakan puisi saya senang mendengarnya. Sebab Mbak Titi begitu mendalami. Intonasinya juga dapat. Iramanya pun sesuai dengan tanda bacanya, kereeen Mbakk..

Kata Pakde, kopdar gak makan itu rasanya kecut. Setelah lomba puisi kemudia sesi tanda tangan buku, para tamu lain dipersilakan untuk menikmati hidangan. Hmm.. nikmat-nikmat hidangannya.. sembari menikmati hidangan saya pun ngobrol bersama emak-emak blogger.

Di akhir acara waktunya sesi foto-foto.. karena kopdar kali ini pesertaya sangat banyak, jadilah sesi fotonya gak bisa kena semua.. lihatlah saya, berada dipaling atas, hiks.. muka imut saya gak kelihatan.. 😀

Dan biarlah foto-foto ini yang bicara:

Seksi souvenir :D
Seksi souvenir 😀
Bersama Emak-emak blogger
Bersama Emak-emak blogger
Narsis bersama banner buku
Narsis bersama banner buku

 

Pakde memberi instruksi kepada Pak Muhaimin dan Mas Rudi belalang cerewet. Gimana, sudah paham Bapak-bapak? :D
Pakde memberi instruksi kepada Pak Muhaimin dan Mas Rudi belalang cerewet. Gimana, sudah paham Bapak-bapak? 😀
Bella dan kue ulang tahun
Bella dan kue ulang tahun
Sesi foto keluarga
Sesi foto keluarga
Menerima souvenir. Asiiik.. dapat buku trilogi dari Pakde :D
Menerima souvenir. Asiiik.. dapat buku trilogi dari Pakde 😀 Foto: Pak Muhaimin
Karena saat foto bersama, muka saya gak kelihatan, jadi saya pasang pose chibi-chibi aja ya.. :D
Karena saat foto bersama, muka saya gak kelihatan, jadi saya pasang pose chibi-chibi ini aja ya.. 😀  Foto: Tante Elsa                                                                     

Lebaranku, memanfaatkan moment dan silaturrahmi

Seperti tahun kemarin, Lebaran tahun ini saya dan Suami memutuskan tidak mudik lagi. Biasanya setiap lebaran saya mudik ke rumah orang tua Suami di Jakarta. Tapi tahun ini alasan tidak mudik saya masih sama seperti sebelum-sebelumnya yaitu mepetnya pengumuman libur. Dan lagi membeli tiket kereta mepet-mepet begini sulitnya minta ampun. Jadilah lebaran tahun ini kami habiskan di Surabaya sembari berkunjung di rumah Saudara dan nenek yang ada di Jombang.

Diakhir-akhir bulan Ramadhan adalah waktu sibuknya umat Islam untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berbau lebaran. Pada saat sibuk itulah biasanya banyak ditemukan momen unik demi menyambut datangnya Hari Fitri. Karena lebaran tahun ini sangat spesial yaitu bersamaannya umat Islam merayakan Idhul Fitri juga karena saya belum pernah melakukan sesuatu yang unik.

Hunting Foto

Memang agak aneh sih, lebaran-lebaran kok malah dipakai buat hunting foto. Ya, bagaimana lagi menjelang lebaran momen seperti ini kan sangat berharga banget buat mendapatkan jepretan yang unik-unik. Kapan lagi bisa melihat pemandangan orang mudik dengan bawaan full kalau tidak pas momen lebaran seperti ini 😀

Supaya saya juga bisa merayakan Idhul Fitri, kegiatan hunting foto itu saya lakukan sehari menjelang lebaran. Pada hari puasa terakhir, pagi-pagi sekali saya dan suami mendatangi terminal Purabaya.

Mau pergi kemana?

Nggak kemana-mana. Cuma duduk-duduk sesekali hilir mudik ngeliatin orang mudik!

Iseng banget!

Memang. Kalau gak waktu lebaran kapan lagi bisa punya koleksi foto orang mudik 😛

Disana kami tak hanya melihat bis-bis yang berjajar tapi juga repotnya seorang porter yang membantu bawaan pemudik. Yang membuat kasian adalah kalau melihat porter yang sudah tua membopong bawaan pemudik yang jumlahnya melebihi kewajaran. Ada juga calo penumpang yang semangat menawarkan bis kepada pemudik. Saking semangatnya mereka sambil berteriak-teriak dan memaksa calon penumpag untuk segera naik ke bus.

Porter sedang mengemban tugas
Porter sedang mengemban tugas

Merayakan lebaran bersama Tetangga dan Saudara

Besoknya, pada hari H Idhul Fitri, seusai Sholat Ied di lapangan, saya dan Suami makan dengan menu khas lebaran Ibu saya, yaitu nasi kuning lengkap dengan lauk ayam, sambal goreng tempe, srundeng serta telur ceplok yang diiris-iris memanjang. Sebelumnya, malam-malam diiringi suara takbir di masjid Ibu saya getok-getok didapur untuk memotong ayam. Sambil memotong ayam Ibu saya bercerita bahwa Emak Ibu (nenek saya) kalau lebaran begini biasanya juga selalu memotong ayam yang jumlahnya cukup banyak, menurut Ibu, nenek sengaja membuat banyak masakan untuk dibagi-bagikan ke tetangga  seusai sholat Ied. Hmm.. momen berdua inilah yang saya suka dan pastinya akan menjadi kenangan tak terlupa. Mungkin suatu saat saya juga akan mengikuti tradisi yang dilakukan nenek serta Ibu saya.

Rupanya lebaran di Surabaya tak selalu sepi. Buktinya belum juga sejam usai bubaran Sholat Ied, rumah saya sudah kedatangan banyak tamu untuk bersilaturrahmi. Mereka ini adalah tetangga yang akan berangkat mudik. Selesai satu tamu berlanjut dengan tamu-tamu lainnya. Bak air mengalir, rumah saya tak pernah sepi tamu ditambah lagi dengan kedatangan kakak serta saudara yang mengajak istri dan anaknya kerumah membuat suasana ramainya luar biasa.

Saat tamu sudah agak sepi, bergantian saya yang mengunjungi rumah tetangga. Berkeliling dari satu rumah kerumah lainnya yang senantiasa terbuka menerima siapa saja yang datang.

Kumpul bersama saudara dan keponakan
Kumpul bersama saudara dan keponakan
Narsis bersama keponakan. Manda, Salsa, Bima dan Titha
Narsis bersama keponakan. Manda, Salsa, Bima dan Titha

Hingga menjelang malam, suasana rumah dan jalanan masih tampak ramai sehingga saya dan kakak-kakak lainnya yang menginap dirumah harus berdiri ditengah jalan untuk bersalaman dengan tetangga-tetangga yang lewat.

Mudik ke Jombang dan silaturrahmi dengan sahabat blog

Pada lebaran kedua barulah kami sekeluarga mudik ke Jombang, ke rumah nenek dari Ibu saya. Selama di perjalanan, memanfaatkan momen tetap kami lakukan yakni dengan memotret apapun yang kami anggap unik. Mulai macetnya jalanan, Pak Polisi yang sibuk mengatur lalu lintas, hingga memotret pemudik yang menggunakan segala cara demi bisa berkunjung ke rumah orangtua dikampung.

11-12 dengan situasi di Surabaya, suasana di Jombang juga sangat ramai. Walaupun badan terasa lelah karena 2 hari bangun pagi dan tidur menjelang malam pun tak sempat kami rasakan. Pencampuran rasa itu telah melebur dan berbaur manis membuahkan kebahagian dan keceriaan. Kerinduan terhadap sanak saudara terbayar sudah dengan berkumpulnya semua saudara. Ah, indahnya..

Disela-sela bertemu keluarga di Jombang itu saya juga sempatkan berkunjung ke rumah seorang teman blog. Siapa lagi kalau bukan senior saya yaitu Pakde Cholik. Yah, seorang blogger yang menetap di Surabaya tetapi lahir di kota Jombang. Saya yakin semua sudah pada tau itu. Pada saat itu Pakde memberitau saya kalau besoknya akan ada tamu blogger asli Jombang tapi tinggalnya di Jogya akan bertamu ke rumah Pakde juga adalah Pak Ahmad Muhamimin Azzet.

Kopdar blogger Hari Raya bersama Pakde dan Pak Muhaimin Azzet
Kopdar blogger Hari Raya bersama Pakde dan Pak Muhaimin Azzet

Benar saja, ketika keesokan harinya saya kerumah Pakde lagi, Pak Muhaimin beserta istri sudah hadir duluan. Seperti kopdar-kopdar yang lalu kami bercengkerama panjang lebar mengenai dunia perbloggingan, dunia tulis menulis dan sedikit menyinggung soal agama, sebab tamu kita satu ini adalah seorang ustad. 

Setelah kopdar itu kami langsung cap cus ke Surabaya. Ah, lebaran yang indah, dan kopdar yang menyenangkan. Jarang-jarang bisa unjung-unjung sekaligus kopdar dengan teman blogger pada saat lebaran seperti ini, yang ada mereka pada sibuk mudik ke kampung halamannya masing-masing, berkumpul keluarga sembari makan kue lebaran.

Ini cerita lebaranku, mana cerita lebaranmu? 🙂

Ketupat, tradisi Islam yang membudaya

Beberapa hari lalu saya bersama tetangga membuat ketupat. Kebiasaan kami, membuat ketupat dilakukan berbarengan, biasanya sepasaran atau lima hari setelah lebaran Idhul Fitri. Jadi tak heran bila setelah ketupat matang kami saling mengirimkan secara bergantian.

Pagi-pagi tetangga saya sudah memulai membuat ketupat didepan rumah. Iseng-iseng membantu, saya pun diminta Ibu membuat untuk dipakai sendiri juga. Pemandangan ini membuat siapa saja yang lewat didepan kami mau tak mau berhenti.  Ada yang sekedar melihat tapi ada juga yang ingin diajari membuat ketupat. Saat itulah tiba-tiba ada salah satu tetangga, sebut saja Bu A, berkata begini:

“Ketupat itu bukan ajaran Islam. Di Arab gak ada orang bikin ketupat. Cuma di Jawa aja yang bikin ketupat. Lihat saja di Papua gak ada yang bikin ketupat” dengan nada agak-agak sinis begitu.

Tak mau ketinggalan, tetangga lainpun menjawab “Siapa bilang, di Sumatera ada yang bikin ketupat”

Saya yang secara langsung mendengar perdebatan ini tak mau menambah ucapan. Cukup saja mendengarnya walau dalam hati sebetulnya ingin meluruskan. Tapi buat apalah, wong saya sendiri bukan orang lurus. Dan lagi usia saya jauh dibawah mereka.

Sebenarnya sah-sah aja bila Bu A mengatakan demikian. Kenyataannya memang Islam tak menganjurkan untuk membuat ketupat saat lebaran. Begitu juga Nabi SAW tak pernah menyuruh umatnya membuat ketupat. Pun di Arab tak ada tradisi membuat ketupat. Tradisi Ketupat (setau saya) hanya ada di Pulau Jawa. Kalau penduduk luar Jawa ada yang membuat ketupat mungkin mereka orang Jawa yang pindah ke luar Jawa Atau mereka memiliki darah Jawa. Kalaupun kedua alasan itu tak masuk hitungan, tak ada salahnya juga mereka membuat ketupat.

Bila ditelisik lebih jauh Masyarakat Jawa memiliki banyak sekali tradisi/upacara yang berseberangan dengan ajaran Islam. Salah satunya tradisi membuat ketupat. Bila kita melihat sejarah masuknya agama Islam di Pulau Jawa kekayaan tradisi tersebut dibawa oleh para ulama waktu itu sebagai alat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, salah satunya satu dari 9 Wali yakni, Sunan Kalijogo.

Menurut sejarah, Sunan Kalijogo memiliki cara berbeda dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Mengingat pada waktu itu banyak masyarakat Jawa yang masih percaya akan hal-hal mistis. Lihat saja berapa banyak ‘alat’ yang digunakanSunan Kalijogo dalam mempengaruhi masyarakat Jawa ketika itu dan masih digunakan hingga sekarang. Sebut saja Wayang kulit, Gamelan, Lagu Lir-ilir, gundul-gundul pacul yang liriknya memiliki makna sangat dalam terhadap nilai-nilai kehidupan.

Begitu pula dengan penggunaan istilah, sejak dulu hingga sekarang banyak istilah-istilah Jawa yang diambil dari potongan-potongan bahasa Jawa yang kemudian dipakai hingga sekarang. Misalnya: Kupat Santen yang dipanjangkan menjadi Kulo lepat nyuwun ngapunten. Yang artinya kurang lebih begini, Saya salah minta maaf. Umumnya kupat atau ketupat dihidangkan dengan sayur berkuah menggunakan santen, seperti di Surabaya sayur ketupat menggunakan manisa (labu siam) yang dimasak sambal goreng dengan kuah santan.

Tradisi di Jawa ketupat disandingkan bersama lepet/lepat, sejenis makanan dari ketan yang dibungkus dengan janur dengan 3 tali dibadannya. Dengan lepat ini diharapkan dosa-dosa kita terampuni. Seperti arti kata lepet/lepat sendiri yang berarti salah.

Barangkali tradisi-tradisi seperti itu tak hanya ada di Pulau Jawa. Di pulau-pulau lain diluar Jawa saya yakin juga memiliki tradisi khas di masing-masing daerah yang memiliki cara tersendiri dalam mengaplikasikannya. Kekayaan tradisi-tradisi tersebut seyogyanya tak digunakan sebagai ajang perdebatan. Lebih indah bila kita menghormati kepercayaan masing-masing sehingga suasana kehidupan dalam berbangsa menjadi selaras dan harmonis. Karena tradisi-tradisi yang masih dijalani tersebut pada intinya mengajarkan kita semua akan arti kebersamaan dan silaturrahmi.

Error!

Kesalahan terbesar seorang blogger adalah kurang konsisten memposting tulisan. Itu memang benar. Dan saat inilah yang sedang saya alami. Terlalu lama tidak menulis membuat isi kepala saya buntu. Susah sekali mendapatkan ide tulisan. Rasanya mengawali kata itu terasa amat rumit.  Tiap memulai menulis selalu saja error. Arah tulisan pun makin lama juga makin gak jelas.

Karena masih error maka postingan inipun mengesankan keterpaksaan. Yah, apa boleh buat daripada saya gak menulis sama sekali dan blog ini melompong berlama-lama maka lebih baik saya isi saja dengan sesuatu yang juga terpaksa yang sekaligus memaksa otak saya untuk mau mendobrak pintu kebuntuan ini. Satu pelajaran yang saya petik adalah kesalahan terbesar menggampangkan menulis merupakan karma yang sulit dihentikan, kecuali dipaksa.

Menulis dan buku adalah satu kesatuan. Meskipun seorang penulis belum tentu memiliki buku. Tetapi buku adalah inspirasi terbesar saya tiap akan menuangkan sesuatu. Saya ingin menjadikan tulisan itu sebagai passion saya walaupun itu sangat tidak gampang. Jujur saja setiap masuk ke toko buku selalu timbul rasa iri. Tak usah membandingkan diri dengan penulis sekaliber Pramoedya, Dee Lestari atau Ayu Utami, ada banyak penulis-penulis yang tak saya kenal dan isi tulisannya hampir-hampir seperti membaca tulisan-tulisan diblog tetapi mereka sukses menciptakan buku bahkan sampai berbuku-buku. Tapi kenapa saya tidak bisa? Dimana letak kesalahan itu? atau mungkin saya yang harus lebih giat lagi belajar menulis serta merangkai kata.

Apalagi beberapa hari lalu saya mendapat kiriman buku dari Mbak Orin yang berjudul Obituari Oma. Bukunya tidak tebal, isinya pun tak sampai 70 halaman. Seharusnya aku juga bisa membuatnya, terlepas buku itu ditulis rame-rame. Seharusnya aku bisa!

Mungkin saya terlalu mudah terlena dengan semua itu. Atau juga karena saya belum memiliki teknik yang tepat untuk mewujudkannya.

Nyatanya saya hanya bisa menulis pendek-pendek saja. Niat pendek kadang juga jadi panjang. Sebaliknya inginnya nulis panjang, supaya jadi panjang lalu dipanjang-panjangin yang akhirnya tetep saja pendek hanya karena ide yang cekak! Catat! 😀

Oya, mumpung momennya masih lebaran saya ingin mengucapkan:

Minal Aidzin Wal Faidzin

Selamat Hari Idhul Fitri 1434H 

Mohon Maaf Lahir dan Batin