Fenomena novel difilmkan

Kalau diperhatikan fenomena novel di filmkan sedang in. banyak film Indonesa diadaptasi dari novel dalam negeri. Entah karena cerita novel lebih menjual atau sekedar ingin mendompleng judul novel yang sudah best seller sehingga nantinya promosi film itu lebih gampang diterima oleh masyarakat. Dan itu sebuah ide yang bagus supaya keberadaan penulis di Indonesia lebih di kenal dan dihargai oleh masyarakat, disamping untuk menggugah kembali semangat mereka akan kebiasaan membaca, lebih-lebih menulis.

Walau sebenarnya saya lebih suka kalau novel yang difilmkan itu memang benar-benar sastra yang apik sehingga sebagai apresiasianya novel-novel itu layak didokumentasikan.

Terus terang, seandainya tidak ada penggagas memfilmkan cerita di novel, niscaya film-film kita akan terus berputar disekitaran genre horor dan sensualitas saja. Sangat disayangkan mengapa film-film horor yang selama ini beredar di layar lebar Indonesia lebih banyak menjual sensualitasnya saja ketimbang isi ceritanya sendiri. Tak perlu saya sebutkan judul filmnya yang pasti film-film horor keluaran negeri ini masih berada di level ‘murahan’. Antara judul dan isi cerita sangat tidak relevan, malah terkesan ‘asal jadi’ dan mudah ditebak endingnya sambil merem sekalipun.

Tak perlu juga saya bandingkan antara film horor produksi kita dengan film horor produksi barat yang sudah mendunia itu sangat jauh berbeda. Barangkali faktor permodalan dan kreativitasnya yang sulit diraih sehingga film-film kita memberi kesan monoton.

Kembali lagi ke novel..

Ada cukup banyak karya sastra kita yang dibioskopkan walau terkadang masih ada efek didramatisir supaya lebih memacu jantung penonton. Bagi saya sih boleh-boleh saja, terserah sang sutradara, tapi alangkah baiknya bila efek dramatisir itu dibuat lebih natural dan tidak mengada-ada.

Sebagai penikmat novel saya lebih suka kalau novel yang difilmkan itu sama persis ceritanya dengan yang ada dinovel. Sehingga antara membaca di novel dan menonton filmnya, sensasinya bisa berbeda meski ceritanya sama.

Ada beberapa film yang keluar setelah saya membaca novelnya. Tapi ada juga film yang ditayangkan sebelum saya baca novelnya.

Jeleknya saya, kalau sudah membaca novelnya kemudian nonton filmnya yang ternyata ada kemelencengan cerita, secara spontan saya langsung protes. Apalagi ceritanya didramatisir dan dibuat-buat. Rasanya kecewa sekali.

Sebaliknya, kalau saya sudah nonton filmnya, tapi belum baca novelnya, lalu ceritanya terus membekas dikepala saya, besoknya saya langsung membeli novel itu. dan lagi-lagi jeleknya saya, suka membandingkan antara cerita di novel dan di film. Kalau tidak sesuai ya protes lagi. *Mohon maklumi penonton cerewet satu ini* 😀

Sebagai contoh fenomena novel difilmkan yang pernah saya lihat, tapi saya protes 😀

Novel Ayat-ayat Cinta. Setelah menyelesaikan novel ini saya begitu terkesima. Jalan ceritanya bagus, penulisannya bagus, endingnya juga luar biasa. Habis baca novel ini imaginasi saya seolah sedang di Mesir, membayangkan indahnya suasana kota Mesir dengan penduduknya yang humanis dan rasa kekeluargaan yang dimiliki para Mahasiswa Indonesia di Mesir. Begitupun kisah cinta segitiga antara Maria, Aisha dan Fahri yang begitu romantis dan islami.

Tapi begitu melihat filmnya, dimana sedari awal saya berharap lebih, minimal sama, seperti yang ada dinovel, tiba-tiba  lenyap begitu saja. Film AAC jauh dari bayangan saya. Setting Mesirnya kurang, pemeran Aisha nya kurang sesuai dan lagi ceritanya banyak dibuat-buat. Seperti saat Maria sakit. Dinovel Maria sakit karena memikirkan Fahri, sedangkan di film dia sakit karena ditabrak mobil. Gak sinkron sama sekali.

5 cm. Jujur saja saya belum pernah nonton 5 cm. Padahal pada awal-awal tayang saya ingin sekali nonton film itu. Bahkan kalau disuruh milih antara 5 cm dan Habibie Ainun yang rilisnya hampir barengan, dengan semangat saya milih 5 cm!. Apalagi kesan teman-teman yang sudah nonton film ini menyatakan bagus, saya jadi makin penasaran.

Namun keinginan nonton saya terpatahkan dengan penasaran saya membaca novelnya. Waktu itu saya pikir belum afdol rasanya kalau nonton film 5 cm tapi belum baca novelnya. Dengan kesan yang saya dapat dari teman-teman, cerita novelnya pasti akan lebih bagus dan lebih detail.

Sayangnya, begitu membaca novel, baru juga mulai di halaman pertama, kok saya tidak mendapatkan ‘roh’nya sama sekali. Rasanya tulisan Donny Dhirgantoro ini kurang mengena sama sekali. Ditambah lagi, di buku itu Donny banyak mengutip lirik-lirik lagu inggris yang sama sekali saya tidak tau dan tidak kenal. Jadi aneh sendiri bacanya.

Akhirnya, buku itu tetap saya baca sampai habis, tapi tidak bisa saya nikmati. Ibarat makan nasi, nasi itu masuk keperut tapi tidak nikmat dilidah. Kecewalah saya, dan memudarlah niat saya untuk menonton filmnya (gak nolak juga sih kalau dikasih gratisannya)

Namun kekecewaan saya terbayar sudah dengan hadirnya film RECTOVERSO. Film yang sebelumnya sudah saya baca ceritanya sebagian ketika di toko buku itu sangat memukau. Antara novel dan filmnya sangat pas. Saya pikir sutradara sangat pintar mencari pemain yang sesuai dengan karakter yang di buku. Ekspresi pemainnya bisa mewakili gaya penulisan Dee.

Saya sendiri berharap semoga kedepannya nanti semakin banyak film-film Indonesia yang berkisah tentang kehidupan apa adanya. Boleh-boleh saja fantasi, tapi mbok ya yang masuk akal. Bukan sekedar menjual peran dan mengobral daya khayal tinggi saja, tapi diimbangi kisah realistis. Kasihan penontonnya, sudah mahal-mahal bayar tiket tapi yang didapat jauh dari harapan ^_^

Nasib HP Second

Kali ini saya menceritakan kembali tentang kebiasaan saya memperhatikan penampilan dan mendengarkan orang lain bicara. Entahlah mengapa saya begitu tertarik dengan hal-hal seperti itu apalagi kalau pembicaraan mereka berkaitan dengan informasi yang sedang hangat atau cerita kehidupan yang mengandung hikmah.

Kejadian itu terjadi saat saya berniat mengisi pulsa di sebuah counter penjualan hp dan pulsa didekat kantor. Saat saya datang dicounter itu sudah ada pembeli laki-laki yang sepertinya membeli kartu perdana dan dilayani oleh pegawai counter. Di counter itu selain pegawai yang melayani itu ada pula seorang bapak yang duduk dibelakang meja yang sepertinya seorang pemilik counter tersebut.

Tak begitu lama menunggu sang pemilik counter menyuruh pegawainya untuk mendahulukan saya. Saat si pegawai menunggui saya menulis no HP yang akan diisi pulsa, sang pemilik counter berdiri lalu membantu melayani pembeli laki-laki yang membeli kartu perdana tadi.

Sambil menunggu si pegawai mencet-mencet HP tanda sedang mengetik sms mengisi pulsa, saya mendengar pembicaraan antara pembeli laki-laki disebelah saya dan bapak pemilik counter. Awalnya saya tidak begitu tertarik dengan obrolan mereka, tetapi saat sang pemilik berkata dengan suara keras barulah saya  ke mulai tertarik untuk mendengar dan memperhatikan topik yang sedang mereka bicarakan.

“Sampean beli HP ini, Mas?” seru pemilik counter. Seruannya itu terus terang membuat saya kaget, begitu juga dengan pembeli laki-laki itu. Kekagetan kami sepertinya beralasan sebab kami datang ke counter ini hanya ingin membeli pulsa dan bukan untuk pamer hp.

“Sampean beli HP ini berapa?” tanya pemilik counter sambil membolak-balik HP No*** seri 62** second yang sudah tidak mulus lagi.

“Seratus lima puluh ribu, Pak” jawab laki-laki itu datar.

“Waduh, Mas, sampean kemahalan belinya! HP ini tadi di jual ke saya seharga 80 ribu aja saya tolak”.

Batin saya, siapa juga yang mau jual hp itu ke bapak.

“Kenapa nggak mau, Pak?” tanya si pembeli itu.

“Sini saya kasih tau alasannya..” sambil si bapak membuka casing belakang HP lalu menyisipkan sim card yang baru dibeli didalamnya. “Ini pecah, Mas” si bapak menunjukkan bodi bagian bawah HP yang cuil sedikit. “Yang pecah ini bukan casingnya loh tapi bodinya” sambil si Bapak menunjukkan tempat yang rusak.

Saya yang awalnya berdiri agak jauh pelan-pelan mulai tertarik untuk mendekati pembeli laki-laki itu sambil melihat dan mendengarkan penjelasan dari pemilik counter. Begitu juga dengan pegawai yang melayani saya tadi juga ikut mendekat ke bosnya. Rupanya hal-hal aneh seperti ini mampu menarik orang untuk mencari sebab musababnya, ya..

Biar bagaimana dia adalah penjual HP, tentunya sedikit banyak mengerti seluk beluk ponsel.

“Trus Flash kameranya rusak” lanjut si pak Bos seraya menunjuk kamera. “Okelah barangkali tak seberapa masalah kalau flashnya rusak asal masih bisa dipakai memotret” lanjutnya.” Tapi kalau volume suaranya kecil meski sudah di maksimalkan, gimana? Ini nih dengarkan..” si Bapak menyalakan nada dering.

Seketika saya, pemilik hp, dan si pegawai bebarengan mendekatkan telinga ke hp tersebut. Persis anak kecil yang baru saja menemukan mainan unik, semua dibuat penasaran.

“Nggak kedengaran, Pak” akhirnya saya turut andil dalam obrolan.

“Dengar, mbak, tapi kuuecil” kata si pemilik hp.

Saya manggut-manggut, setuju.

“Lho, Bapak kok tau kalau Mas nya ini baru beli hp?” tanya saya kepada sang Bos. Investigasi dimulai hihi..

“Ya tau dong, Mbak, lha wong tadi yang punya HP ini mau jual ke sini. Tapi saya tolak”

“Kenapa ditolak, Pak?”

“ya nggak berani aja Mbak, lha kondisinya seperti itu..”. “Awalnya dia mau jual hp itu 150ribu. Lalu saya tawar 100ribu dengan syarat saya cek dulu kondisinya. Sama yang punya dikasih. Nah setelah saya cek dan ternyata hasilnya seperti itu saya tawar lagi 80ribu. Dan di kasih sama dia. Setelah nawar 80ribu saya pikir-pikir lagi kondisinya, akhirnya saya memutuskan tidak berani membeli”

“Wah saya kena tipu dong, Pak” kata pemiliknya

“Sampean gak kena tipu, Mas. Salahnya sampean sewaktu beli HP tadi kenapa tidak dicek”

“Soalnya saya sedang nggoreng, Pak. Jadi saya nggak memperhatikan betul-betul”

“Sampean tinggal dimana sih Mas?”

“Di sana, Pak. Saya jual gorengan Bandung” jawab si pemilik HP sambil tangannya menunjuk ke satu arah.

“Sebetulnya dengan harga 150ribu sampean nggak rugi, Mas. Karena memang pasarannya HP itu secondnya segitu, tapi kalau dengan kondisi normal”

Laki-laki itu diam dan termenung. Dan saya kok ikut-ikutan iba melihatnya.

“Lain kali kalau beli HP second hati-hati, Mas. Dicek dulu kondisinya” kata sang Bos.

Sebelum meninggalkan counter, saya kok merasa bahwa seharusnya si pemilik counter itu nggak perlu menceritakan secara detail kepada si pemilik. Ya memang sih memberi informasi yang baik boleh-boleh saja tapi kembali lagi ke status HP itu. HP itu kan sudah dibeli dan gak mungkin dikembalikan lagi sama yang punya. Dan lagi antara pemilik HP dan si Mas yang jual gorengan kan gak saling kenal, trus harus mencari kemana dong?

Kasihan si Masnya, jadi ‘gelo’ dan merasa ditipu. Padahal kalau dipikir-pikir yang salah bukan si penjual HP tapi karena keterbatasan informasi dan budget yang dimiliki si pembeli.

 

 

In Memoriam Procie AMD Barton

Saat mencintai sesuatu terkadang orang tak pernah berpikir sebab akibatnya. Yang penting suka, yang lain mah lewaat..

Kejadian ini pernah terjadi beberapa tahun lalu di sebuah Toko Komputer. Dimana toko itu adalah customer saya yang ketika itu saya bekerja di sebuah Distributor pemegang merk sparepart Komputer yang juga menjual Processor, Motherboard, Memory, dan lain-lainnya.

Pada waktu itu penjualan Komputer masih menggunakan Procesor kelas Pentium (paling tinggi Pentium 4) dan AMD socket A / 462.

Mengenai Komputer sendiri, CPU Pentium yang Procesornya merk Intel sudah biasa dibeli orang. Namun yang tidak biasa dibeli adalah Komputer dengan Procesor menggunakan merk AMD. Konon  CPU AMD gencar dibeli oleh para penggemar gamer sejati. Dan biasanya mereka juga menambahkan CPU itu dengan Video Card (VGA) supaya kinerja CPU semakin Oke.

Customer saya itu rata-rata pemilik toko dan ngakunya gamer sejati. Mereka paling suka ngomongin Procesor AMD dan kehebatan VGA pada type-type tertentu.

Untuk diketahui Procesor AMD untuk socket A / socket 462 ada beberapa macam yaitu:

Generasi kedua AMD Athlon Thunderbird, Generasi ketiga AMD Athlon XP Palomino, Generasi keempat Athlon XP Thoroughbred, dan Generasi kelima Athlon XP Barton yang memiliki kapasitas mulai dari 2500 +, 2600 +, 2800 +, 3000 +,  hingga 3200 +

Bila ada barang masuk terutama Processor AMD kecepatan 2.500+ selalu jadi ajang rebutan. Konon Processor AMD Barton kapasitas 2.500+Ghz bisa di over clock sampai maksimal 3.000+ Ghz! bahkan lebih.

Seperti inilah penampakan Procesor AMD Athlon XP Barton 2500+ (foto diambil dari ebay)
Seperti inilah penampakan Procesor AMD Athlon XP Barton 2500+ (foto diambil dari ebay)

Barang aneh lain yang jadi incaran adalah VGA AGP seri 9800GT 512 MB. Saking gilanya dengan barang-barang itu mereka gak segan-segan nyetock barang.  Berapapun barang yang masuk diambilnya semua. Mereka gak mikir barang sebanyak itu akan dijual kemana dan berapa tagihan yang harus dibayarnya!

Penampakan VGA AGP 9800 Pro 128. gambar dari google
Penampakan VGA AGP 9800 Pro 128. gambar dari google

VGA AGP 9800GT 128MB bisa diover clock menjadi 512MB. Meskipun resiko over clock adalah garans hilang tetapi justru CPU yang memiliki spesifikasi seperti ini yang banyak dibeli para gamer! #Aneh# 😀

Padahal tindakan meng over clock akan beresiko besar, mulai terbakar sampai Processor / VGA itu mati! Tapi herannya mereka biasa aja malah menganggap kalau hal itu biasa terjadi. Asal tau aja ya harga Processor Barton saat itu perbijinya 2 juta lebih! Dan harga VGA sendiri diatas 1,5 juta! (Padahal sekarang ini Processor dan VGA dengan kapasitas 1GB harganya berkisar dibawah sejutaan, tergantung typenya)

Ada beberapa toko yang mengincar barang ‘aneh’ ini. Siapa cepat dia yang dapat. Memang kedua barang ini masuknya tidak banyak, sekali masuk paling banyak 20 unit saja, meskipun begitu semua barang itu tidak serta merta diambil, menurut mereka ada beberapa Processor dan VGA yang memiliki kode-kode tertentu pada fisiknya dan konon bisa di over clock hingga kecepatan maksimal.

Yang membuat saya heran adalah ada toko yang tidak mau melayani pembelian CPU dengan Processor Intel di tokonya! Kalau ada pembeli yang masuk ke tokonya ‘dilarang’ menyebut kata Intel. Pokoknya harus AMD! Kalau perlu dia harus rela berbusa-busa menerangkan kehebatan Processor AMD! Kalau usernya gak mau beli CPU AMD sama dia juga gak akan dilayani..

Anggapan mereka bahwa barang siapa yang membeli CPU dengan procesor Intel dianggap tidak gentle alias Processornya b*nci! Nah Lo.. 😀

Sampai heran saya melihatnya. Kalau dipikir-pikir kenapa orang beli harus ditolak. Seandainya dia gak mikir ego, tetap aja dilayani kan, toh dia sendiri yang nanti dapat untung , ya nggak?  Ngapain juga orang beli CPU ditolak? Bukankah hal itu akan menguragi omzet penjualan, atau malah namanya menolak rejeki?

Tapi yah mau gimana lagi, yang penting barang saya laku hihi..

Barangkali postingan ini adalah postingan penuh memorial bagi saya dan mungkin bagi para pembaca yang dulu pernah memiliki CPU AMD socket A / 462. Processor ini ramai di pasaran kisaran tahun 2003 yang kemudian sering diuji cobakan oleh para gamer.

Atau bila ada yang pernah jalan-jalan di Pameran Komputer lalu melihat sebuah CPU dengan casing transparan dengan lampu menyala lalu ditengah-tengahnya terdapat fan besar atau bahkan air mengalir dari selang, itu merupakan CPU yang sudah diover clock. Mereka sengaja menggunakan air sebagai suhu di CPU tidak panas. (memang kekurangan Processor merk AMD  socket A ini adalah mudah panas). Biasanya CPU model aneh begini sengaja dipamerkan oleh brand-brand motherboard saat pameran berlangsung.

Memang sih kejadian ini sudah sangat lama terjadi, tetapi kalau saya ingat akan hal itu rasanya jadi tertawa sendiri. Dan saya sendiri yang malah menganggap orang-orang itu dengan orang aneh 😀

Nah zaman sekarang perkembangan Processor AMD sudah berbeda dengan zaman dulu. Walaupun harganya masih lebih murah dengan harga Processor keluaran Intel yang jelas Processor AMD sudah gak sepanas dulu. Begitu pula dengan kinerjanya, gak kalah deh sama merk Intel.

Jadi bagi para penganut extreem merk Intel sekarang lah saatnya mencoba CPU AMD. Processor AMD sekarang perkembangannya semakin pesat. Apalagi jika disandingkan dengan VGA keluaran Nvidia maupun ATI Radeon hasilnya dijamin maksimal. Buat Game oke, buat kerja design juga maknyus 😀

Gak percaya? Coba perhatikan brosur laptop bila sedang jalan-jalan di toko komputer. Pada semua merk Laptop baik ASUS, ACER, Lenovo, HP, Compac, Vaio, hingga Axioo sekalipun yang konon penganut berat faham Intel sekarang juga turut serta merilis Laptop dengan Procesor AMD.

Malahan untuk Laptop yang menggunakan Procesor AMD sudah terpasang Video Graphic  NVIdia / Ati Radeon juga. Bandingkan dengan laptop yang menggunakan Processor Intel, Video Graphicnya pasti menggunakan Intel juga, hanya beberapa saja yang menyandingkannya dengan VGA Nvidia / Ati Radeon. Namun yang pasti jatuh-jatuhnya harga menjadi lebih mahal 😀

Untuk diketahui saja, Bila ada yang membeli laptop menggunakan Processor dengan tulisan: AMD C60, AMD C70, AMD E300, AMD E450, AMD E1800 dan dibelakangnya ada embel-embel ‘Dual Core’ maka jangan salah terka bahwa itu merk Intel. Embel-embel Dual Core digunakan untuk Processor yang kecepatannya diatas 1 GHz baik merk Intel ataupun AMD.