Jangan rusak hubungan ini
Menjadi karyawan yang sudah bekerja sekian tahun serta setiap hari bertemu teman-teman yang sama membuat hubungan saya dengan karyawan lainnya ibarat dulur ketemu gedhe alias akrab dengan sendirinya. Kesamaan nasib dan pengalaman membuat dinding tinggi yang awalnya terpisah secara pelan-pelan menyatu menjadikan hubungan erat bak kakak dan adik.
Sebut saja namanya Bulan. Usia yang terpaut 2 tahun, membuat saya memanggilnya Mbak Bulan, walaupun kalau secara hitungan kertas saya yang lebih lama bekerja dibanding dia. Kepintarannya berbicara dan mengerti keinginan satu sama lain membuat saya suka bila berdekatan dengannya. Tak hanya saat bekerja, diluar jam kantor pun kami sering bertemu dan berlama-lama ngobrol melalui telepon. Seringnya sih Mbak Bulan dulu yang menelpon saya untuk curhat masalah cowok, menurutnya saya bisa membaca kemauan cowok karena dianggapnya saya sudah menikah, sedangkan dia belum.
Hingga suatu hari, tepatnya sebelum libur lebaran, saya ijin tidak masuk karena membuat kue lebaran untuk dibawa mudik ke rumah mertua. Supaya tidak jadi masalah, saya ijinnya tidak terus terang beralasan bikin kue, namun alasan lain yang lebih masuk akal. Yang tau saya bolos bikin kue hanya Mbak Bulan saja, teman-teman lain tidak tau.
Esoknya ketika saya masuk, suasana kantor berubah drastis. Entah kenapa teman-teman semua pada gak ngajak ngomong saya termasuk Mbak Bulan. Gak mau berprasangka buruk saya pun menganggap biasa aja, seperti tak terjadi apa-apa. Tapi makin saya buat biasa makin lama mereka ini makin menjengkelkan. Ditanya baik-baik jawabannya singkat, kayak saya ini musuh dalam selimut. Akhirnya saya memilih diam dan aktifitas seperti biasanya.
Saat Bos datang kekakuan kami bukannya mencair, tapi makin menjadi. Saya jadi bingung, ada apa sebenarnya..
Lalu saya dipanggil Bos keruangannya. Saat ini pun saya tak menganggap hal itu aneh karena bos sering memanggil saya mengajak ngobrol dan diskusi panjang lebar. Begitu saya duduk dihadapannya, Bos langsung berkata: “Bulan ini kamu terakhir kerja disini”
Seperti badai besar menghantam karang saya kaget. Saya jawab: “Masalahnya apa, Pak?”
Setelah diam beberapa saat, bos berkata: “Kemarin kamu nggak masuk bikin kue, ya?” sambil tatapan menyelidik. Jelas saya kaget, padahal kemarin saya ijin gak masuk dengan alasan ada urusan keluarga, kenapa sekarang dia tau saya gak masuk karena bikin kue.
“Kalau iya, kenapa Pak?” tantang saya balik. “Bikin kue kan termasuk urusan keluarga”. Si Bos diam. Lalu dia bilang akibat saya gak masuk sehari tokonya merugi. Saya jawab begini: “Pak ditoko ini yang bagian jualan bukan hanya saya, lagian besok sudah lebaran, lihat aja toko-toko sebelah sudah pada tutup. Tapi Bapak aja yang bertahan buka. Kalau memang kemarin saya dilarang bolos, kenapa Bapak gak balas SMS ijin saya? Karena bapak gak balas saya anggap ijin saya disetujui, seperti ijin yang kemarin-kemarin mana ada Bapak balas SMS ijin saya, toh Bapak gak semarah ini..”
Debat kusir kami berlanjut. Bahkan si Bos menuduh yang nggak-nggak. Katanya saya suka ngasih harga modal ke kompetiter, dia juga menyalahkan saya karena sering berhubungan dengan teman-teman mantan karyawannya, dan tuduhan-tuduhan lain yang justru makin terdengar gak masuk akal.
Kali ini saya gak mau balas, saya pikir buat apa berdebat dengan orang macam ini. Saya dengarkan apa aja dia ngomong. Yang kemudian saya tutup dengan pertanyaan: “Itu semua kata siapa?” Dia diam gak bisa ngomong. “Kalau benar tuduhan itu saya lakukan, saya do’akan semoga toko ini sukses”
Akhirnya saya terima kekalahan itu walaupun dalam hati saya merasa menang. Saya pulang tanpa pamit ke teman-teman, setelah sebelumnya mendengarkan istrinya bos nangis-nangis minta maaf dan meminta saya membuktikan bahwa saya tidak salah. Dari lubuk hati saya sebenarnya ingin mengorek pelakunya, tapi buat apa, toh kalau saya sudah menyerahkan pelakunya, tak akan membuat saya bisa kembali lagi bekerja disini.
Esok dan esoknya lagi tak ada teman-teman yang menghubungi saya, termasuk Mbak Bulan. Begitupun dengan saya, karena sudah sakit hati saya juga nggak mau menghubungi Mbak Bulan. Walaupun sebenarnya ingin sekali konfirmasi, namun bagi saya hubungan kami cukup sekian.
Suatu hari saya mendapat kabar kalau Ibunya Mbak Bulan meninggal dunia. Entah kenapa tiba-tiba saya ingin menemuinya meskipun dalam hati masih ada perasaan marah dan tak terima. Setelah diskusi dengan suami dan berusaha membuang jauh-jauh ego dan emosi, berdua kami kerumahnya yang ternyata sudah pindah alamat.
Pertama kali bertemu dengan rasa canggung kami berpelukan. Rupanya setelah sekian lama tak bertemu membuat kami masing-masing kangen. Ada perasaan menyesal walau tak terungkap. Dan rasa itu.. rasa kasih sayang kakak terhadap adik yang tetap dia simpan, mengacak-ngacak kepala, memaki-maki, menghina penampilan (yang memang saya akui dia lebih matching). Sambil pelukan kami sama-sama meminta maaf kesalahan lalu.
Hingga kini hubungan kami masih baik. Kami masih sering chatting, berkirim kabar, atau salah satu datang kerumah. Yang lebih membahagiakan beberapa bulan lalu Mbak Bulan telah melangsungkan pernikahannya. Selamat ya Mbak semoga hubungan kalian bahagia dan langgeng, Amiin.. 🙂