Hidup dan Kematian saat Corona
10 Desember 2020 jam 10.54, sebuah pesan singkat tanpa nama masuk ke ponselku. Kalimatnya singkat saja, “Mbak Yuni, Bude Dipah meninggal”.
Untuk memastikan siapa gerangan yang menghubungi saya mendung-mendung pagi itu, saya hubungi balik nomer tersebut. Panggilan pertama, kedua, gagal. Kami baru berhasil saling terhubung pada panggilan ketujuh.
Bik Dipah adalah adik Ibuk. Tinggalnya di Jombang. Setelah mendapat kepastian berita, saya buru-buru menyampaikan kabar duka tersebut kepada Ibuk. Usai menghabiskan kagetnya, Ibuk langsung mengajak pergi ke Jombang.
Tapi tunggu dulu, saya harus mencari persewaan mobil dulu yang paling cepat bisa kami dapat. Tidak mungkin naik kendaraan umum. Selain menghabiskan waktu, saya juga kasihan dengan kondisi orangtua.
Setelah berpikir sejenak, Alhamdulillah Mas Rinaldy berhasil mendapatkan mobil dari temannya. Mobil pinjaman juga, tapi belum sempat dikembalikan. Betapa usaha kami sangat dimudahkan.
Tak Sengaja Bertemu Ambulans Jenazah Bik Dipah
Jam 14 lebih sekian menit, perjalanan kami telah memasuki jalanan desa menuju tempat tinggal Bik Dipah. Jalanan beraspal yang lebarnya hanya muat 1,5 mobil dengan pemandangan areal persawahan.
Alih-alih sibuk menikmati hamparan jagung yang menghijau sepanjang mata memandang, sekonyong-konyong di belakang kami ada sebuah ambulans yang melaju kencang seolah minta perhatian.
Karena jalannya lumayan sempit, Mas Rinaldy menambah kecepatannya sambil mencari lokasi lebar untuk meminggirkan kendaraan supaya ambulans bisa mendahului kami.
Dan entah kenapa, kami semua yakin, mobil ambulans itu memuat jenazah Bik Dipah. Di belakang ambulans, ada mobil lain warna orange yang ternyata kendaraan BPBD yang turut memberikan pengawalan.
Setelah ambulans lewat, giliran kendaraan kami yang jalan di belakangnya, diikuti mobil BPBD. Berjalanlah kami beriringan. Dan, sesuai dugaan, ambulans tersebut memang membawa jenazah Bik Dipah. Tampak beberapa putranya turun dari mobil BPBD. Mereka lalu meminta kami untuk langsung pulang ke rumah, karena sayangnya, ambulans hanya berhenti di masjid, dan jenazah tidak diperkenankan dibawa pulang. Upaya paling maksimal hanya disholatkan di luar masjid.
Usai disholati oleh jamaah dan tetangga sekitar, ambulans berjalan pelan melewati depan rumah Bik Dipah untuk pamitan.
Meski bukan karena sakit Covid-19, pasien yang meninggal di Rumah Sakit harus melalui perawatan jenazah sesuai protokol kesehatan. Padahal dipan persemayaman, tempat pemandian jenazah, serta kain kafan sudah dipersiapkan semua di rumah.
Tapi kami bersyukur masih bisa melihat Bik Dipah disholati dan dibawa ke pemakaman. Andai terlambat sedikit saja, kami tidak bisa ‘bertemu Bik Dipah’ selama-lamanya. Walau kenyataannya tidak bisa melihat dan memeluk jenazahnya untuk terakhir kali.
Malaikat Izrail, plis jangan cabut dulu nyawa kami saat Corona
Permohonan yang sungguh embuh, namun doa Abunawas mengingatkan saya saat menulis harapan tersebut. Qodar memang tak bisa diubah, tapi manusia masih bisa berharap walau batas usia sudah tercatat di buku besar langit.
Sungguh, kami takut mati karena Corona. Tapi kami juga takut mati ditengah Corona!
Melihat fenomena yang terhadi sekarang, betapa sedih meninggalkan dunia tanpa didampingi orang terdekat.
Sudah 2 kali kejadian saya alami, melihat langsung prosesi pemakaman tanpa banyak orang melayat. Dan yang paling tidak mengenakkan, ada mindset masyarakat yang ‘berbicara’ bahwa pulang diantarkan manusia berhazmat itu rasanya seperti aib. Tidak ada yang berani mendekat seolah kami adalah biangnya virus.
Alhamdulillah, saat meninggalnya Bik Dipah, banyak pelayat yang datang ke rumah. Bahkan tanpa diminta, warga berinisiatif keliling desa mengumpulkan uang duka. Uniknya, mereka menggunakan kentongan bambu sambil teriak, “wayahe.. wayahe..”
Saya bersyukur sampai hari ini masih diberi nafas kehidupan. Semoga Gusti Allah memberikan kesehatan dan panjang umur bagi kita semua. Amiin..
Nining
aamiin aamiin allahuma aamiin, semoga kita diparingi sehat dan berkahNya ya mbak.
Nggak tau harus komen apa, akupun semacam takut … waktu di ujung maut kemarin pun, aku minta padaNya jangan cabut nyawaku dulu. Allah Maha Baik, pasti Dia mendengar pinta kita ya mbak 🙂
*gak tau mau komen apa* kenqpa jadi panjang gini komennya haha