YDSF Resmikan Perahu Wakaf di desa Labuhan, Brondong, Lamongan
“Jaman kecil saya dulu, saat musim panen ikan, para nelayan berlomba beli barang mewah. Ada yang beli kulkas, padahal belum ada listrik. Kulkasnya dipakai buat nyimpen pakaian. Tapi pas libur melaut, buat makan sehari-hari mereka sampai menggadaikan piring. Iya, piring buat makan di rumah digadaikan!”
Cerita di atas disampaikan oleh Ustad M. Jazir ASP, Dewan Penasehat YDSF sekaligus Ketua Dewan Syura Masjid Jogokariyan disela peresmian Perahu Wakaf YDSF di desa Labuhan, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan untuk menggambarkan kehidupan kampung nelayan.
Modernisasi zaman mestinya mengubah pola pikir manusia, termasuk bagaimana para nelayan cerdas mengelola keuangan agar tidak lagi bersinggungan dengan hutang. Kenyataannya tidak, hari gini masih ada nelayan yang menggunakan cara lama. Ada uang mereka gunakan untuk senang-senang, nggak ada uang mereka cari utangan.
Diluar alasan tradisi, semua karena imbas penghasilan nelayan yang menyesuaikan kondisi cuaca dan situasi di laut. Modal untuk melaut lumayan besar, sementara hasil yang didapat jauh dari harapan.
Peradaban Islam Membangun Ekonomi Melalui Wakaf Produktif
Wakaf produktif dilakukan sejak zaman Rasulullah. Ketika membangun Masjid Nabawi, para sahabat mewakafkan aset pribadinya untuk kepentingan pembangunan masjid, membangun ekonomi sekaligus menyejahterakan masyarakat. Konsep ini menandai dimulainya peradaban baru bagaimana peran wakaf memberi manfaat untuk banyak orang, berkelanjutan dan bernilai abadi.
Di Indonesia, konsep wakaf produktif belum terlalu familiar. Masyarakat kita masih menganggap wakaf adalah berupa tanah, dan tanah wakaf digunakan untuk membangun masjid. Sedangkan dalam Islam wakaf produktif bisa berupa tanah dan benda tidak bergerak lain yang memiliki nilai untuk kemakmuran masyarakat secara berkelanjutan seperti perahu wakaf YDSF yang digunakan untuk nelayan di desa Labuhan, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan.
Masyarakat di desa Labuhan sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Para nelayan yang tinggal di kawasan pesisir Pantai Utara rata-rata menggunakan perahu sewa. Tak sekadar bayar sewa, mereka juga dikenakan bunga sewa. Selain itu mereka juga terikat perjanjian harus menyetorkan hasil lautnya kepada pemilik perahu. Sementara untuk melaut, nelayan masih harus membeli solar untuk bahan bakar mesin perahu. Bisa dibayangkan berapa penghasilan bersih yang mereka bawa pulang?
Praktek yang tidak menguntungkan bagi nelayan seperti ini kesannya tidak adil. Kalau mau adil mereka harus memiliki perahu sendiri. Masalahnya harga perahu tidak murah. Seharga mobil baru, kisaran seratus jutaan..
Untuk meringankan beban para nelayan di desa Labuhan, sekaligus membangkitkan ekonomi masyarakat setempat, Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF) berinisiatif mengadakan program wakaf perahu.
Diharapkan perahu wakaf YDSF ini dapat memudahkan nelayan mencari ikan. Dengan berlayar menggunakan perahu wakaf, nelayan dapat menyewa armada tanpa dikenakan bunga, dan mereka dapat menjual hasil lautnya ke tengkulak manapun dengan harga yang pantas.
Nantinya uang sewa yang terkumpul dapat dikelola untuk kesejahteraan nelayan setempat.
Lolope, Perahu Wakaf YDSF Yang Dapat Menampung 5 ton Ikan
Selasa, 18 Juli 2023, saya ikut dalam rombongan Wisata Dakwah peresmian perahu wakaf YDSF di desa Labuhan, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2,5 jam dari Surabaya, kami tiba di sebuah perkampungan di tepian pantai Utara.
Kendaraan yang kami tumpangi membelah jalan desa yang tak seberapa lebar. Tekstur jalan tanah berpasir dan kerikil memicu debu beterbangan ketika bersinggungan dengan ban mobil. Vibes sebagai kampung nelayan kian lengkap manakala sinar matahari menyorot dengan sempurna diimbangi suhu udara yang menyengat. Jam 10 pagi, nyaris tidak ada angin yang berhembus di daratan.
Menoleh ke kiri, tampak perahu-perahu sedang bersandar. Di kejauhan laut pantai utara yang tenang terlihat begitu indah. Biru, serasi dengan warna langit. Di antara ratusan perahu itu salah satunya ada bendera YDSF.
Tak salah, itu pasti perahu wakaf YDSF!
Acara peresmian dihadiri oleh Ketua Pengurus YDSF, Syakib Abdullah, BWI Jatim, KH. Jeje Abdur Rozaq, BWI Lamongan, Drs. Sunhaji M.H, dan Kepala Desa Labuhan, Suwarno, yang dilanjutkan keliling naik perahu.
Bersamaan dengan acara peresmian perahu wakaf YDSF, di sekitar lokasi ada program berobat gratis untuk warga sekitar. Cek tensi, cek darah hingga konsultasi kesehatan dan pemberian obat-obatan.
Hasil bincang-bincang dengan Ustad Ahmad, salah satu warga desa Labuhan ketika keliling naik kapal, Perahu Wakaf YDSF berbentuk Lolope dapat memuat penumpang 20 orang dan 5 ton ikan. Badan kapal dibuat menggunakan kayu jati sedangkan bagian lambung kapal menggunakan kayu Kalimantan. Pemilihan bahan baku yang berkualitas ini bertujuan agar perahu wakaf tahan lama, tidak mudah lapuk karena air laut. Proses pembuatan kapal ini membutuhkan waktu kurang lebih 7 bulan.
Sebagai anak yang suka mabok laut kalau naik perahu, saya berhasil tidak pusing dan mual. Entah kapalnya yang nyaman, ombaknya yang bersahabat, atau bapak supirnya yang pandai mengemudi sehingga hampir satu jam keliling membelah lautan terasa kurang lama. Tapi memang ukuran perahunya besar, sih. Bagian tengah perahu selain bisa digunakan untuk duduk, ada penutup lambung kapal yang bisa dibuka untuk kegiatan menyimpan ikan hasil tangkapan.
Jumbrek hingga Udang Kipas, Suguhan khas Paciran, Lamongan
Ke Lamongan belum lengkap kalau belum makan Jumbrek, kudapan berbentuk kerucut terbuat dari tepung beras. Jumbrek dibungkus menggunakan daun lontar, sehingga menimbulkan sensasi aroma yang khas. Di daerah lain, ada yang menyebut Jumbrek dengan istilah Clorot.
Selain Jumbrek, dalam sepiring jajanan terhidang berbagai macam kue tradisional lain yaitu lepet jagung dan lemper yang masing-masing dibungkus dengan klobot (daun jagung) dan daun pisang. Bentuknya unik, lucu, dan nggemesin.
Saya ketagihan dengan jenang ketan yang bertabur wijen. Jenang khas Lamongan ini enak banget. Teksturnya lentur dan lembut. Rasanya manis tidak terlalu legit, nggak bikin gigi ngilu. Gurih wijennya terasa asik di mulut. Diam-diam saya menghabiskan 2 bungkus dalam sekali duduk, hehe..
Tidak hanya jajanan saja, lauk makan siang kami terdiri beraneka ragam seafood. Ada ikan pindang, ikan manyung, cumi, tiram, kerang, rajungan, udang, ikan asap, dan satu lagi udang kipas.
Mengenai udang kipas awalnya saya tidak tertarik. Dari penampakannya saja terlihat kalau gede kulitnya, tapi kecil dagingnya. Belakangan saya tau ternyata udang kipas tidak bisa dibudidayakan. Nangkap udang kipas sangat sulit, hasil yang didapat juga tidak banyak. Udang dengan nama lokal yoyodang, udang kucing, udang pasir, ini tidak bertahan lama, udah gitu tidak bisa disimpan di lemari pendingin pula. Begitu ditangkap, turun dari kapal harus langsung dimasak.
Melihat bentuknya yang unik, saya pun ambil seekor. Kulitnya keras, kepalanya lebar dengan mata hitam yang menonjol. Tampilannya seram, pantes kalau hewan laut ini masuk kategori karnivora. Sekali pelotot, udang, ikan, kerang yang kecil-kecil dibuat tak berdaya. Butuh perlakuan ekstra untuk menikmati daging udang kipas ini, caranya dengan menyobek tubuh bagian sampingnya. Walaupun dagingnya sedikit, tapi rasanya memang udang sih *ya iyalaaahhhh…* 😀
Kegiatan YDSF Resmikan Perahu Wakaf di Brondong, Lamongan, dapat menjadi inspirasi kita membantu sesama melalui wakaf produktif. Semoga saya dan teman-teman semua diberikan kelapangan rezeki supaya bisa berwakaf agar mendapatkan manfaat keabadiannya, baik ketika masih di dunia atau ketika sudah meninggalkan dunia. Aamiiiin Allahumma Aamiiin..
Anam
Mantap ulasannya. Maturswuwn Mbakyu… 🙂