Vaksin Covid Berbayar? Tukang Paido Sini Merapat!
Untuk urusan paido-memaido saya memang hobi. Pualing semangat kalau disuruh ngritik, apalagi kalau yang dipaido adalah pemerintah. Sosok yang sering jadi tempat salah-salahan netijen dan yang memiliki sejuta amunisi ngelesi serangan rakyat.
Jika netijen disebut sebagai komentator yang selalu benar, maka saya termasuk salah satunya. Hmm, sebagai rakyat biasa kita bisanya cuma begitu, kan? Maunya mbenerin tapi gak mau dibenerin. Bisanya protes kalau diprotes balik, ngghosting. Begitu paidonya ketinggian trus kena ancaman UU ITE, langsung minta maaf, nangiiis!
Makanya saya lebih senang mainan paido-paidoannya sama suami. Kadang-kadang sama teman grup yang sefrekuensi. Jarang ikut-ikutan komen di sosmed, percum tak bergun. Kalau nggak gitu, saya nyari penyegaran dengan baca-baca komentar di sosmed sebagai upaya mencari pembenaran diri. Ternyata seru juga mendapati komentar yang uneg-unegnya mewakili isi hati saya. Bikin imun cepat naik!
Biasalah, kelakuan netijen pupuk bawang..
Vaksin Covid Berbayar? Tukang Paido sini merapat!
Sebetulnya saya nggak terlalu ngurusi urusannya pemerintah. Buat apa, tiwas capek mikir tapi nggak nggak satu sen pun uang tunjangannya dapat saya nikmati. Enak di sana, pahit di saya.
Tapi saya juga gemes gak ikut-ikutan maido membaca berita vaksin covid berbayar yang dilakukan oleh laboratorium milik BUMN. Helloow, di luar sana daftar tunggu vaksin banyak, kok enak-enakan mikir bisnisan talah..
Saya nggak habis pikir, disaat rakyat sedang menantikan giliran mendapat undangan vaksin, laboratorium biru malah mbarengi launching vaksin berbayar untuk umum, kenapa nggak menunggu semua reda dulu. Atau sekalian aja membantu percepatan vaksin dengan membuka gerai vaksinasi gratis.
Nggak salah kalau ada yang menangkap kesan pemerintah main bisnis dengan rakyatnya sendiri. Padahal, Pak Jokowi sendiri pernah bilang kalau vaksin di Indonesia GRATIS! Trus kalau sekarang disuruh mbayar, apa namanya bukan nggawe aturan sendiri, dilanggar-langgar sendiri?
Semula vaksin berbayar memang segmennya ditujukan untuk perusahaan yang memberikan layanan vaksin bagi karyawannya, tapi kemudian oleh Kimia Farma si vaksin gotong royong ini diperjual belikan juga untuk umum. Dalam ranah bisnis sih OK-OK aja, tapi jadi nggak OK sebab banyak bisnis lain sedang terpuruk.
Kok ya tepak yang jualan vaksin laboratorium punya negara. Kulakannya memang pakai duit negara tapi jangan lupa yang punya hak rakyat, lho. Mungkin jika yang jualan vaksin laboratorium swasta, rakyat nggak akan se-mbengok (teriak) itu! Misalnya lab swasta jadi resellernya Pemerintah lalu mereka ambil untung dari jasa suntiknya.
“Salah sendiri kemarin-kemarin nggak mau divaksin, sekarang sudah ribut baru minta divaksin” Hemm, saya setuju komen begini. Tapi ingatlah, dulur, sekarang bukan saatnya main salah-salahan. Kalian bisa menyalahkan masyarakat yang begitu, tapi jangan lupa ada lho pejabat yang sampai sekarang nggak mau divaksin.
Ada juga nih ya yang komen kalau vaksin berbayar ini ditujukan buat orang yang nggak mau antri vaksin gratisan yang disediakan pemerintah. Ngko sek talah, Yuu.. kalau bilang nggak mau ikutan antri, kamu salah besar. Vaksin di lab yang bayar itu sehari ngasih kuota 200 orang, lho. Bedakan dengan vaksin di Puskesmas yang maksimal sehari ngasih kuota 100 aja. Ayo ngomongo gak mau antri! Gosah sok spesial, deh!
Sungguh saya juga bingung dengan macam-macam vaksin dengan segala keunggulannya. Ada vaksin Sinopharm, Sinovac, Astrazeneca, Pfizer atau Moderna sekalipun. Sebagai rakyat yang nrimo saya nggak mau milih-milih dapat apa. Adanya apa, saya nurut, yang penting divaksin.
Nyatanya ada lho yang dapat kesempatan vaksin trus dapatnya vaksin A, kemudian nolak mintanya vaksin B. Dan giliran vaksin B yang dimaui datang, undangan vaksin yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Piye prasamu?
Ibarat antrian Rumah Sakit, ketika nomernya sudah dipanggil kemudian orangnya gak muncul, maka nomernya dianggap hangus dan harus ambil nomer antrian baru. Analogi lebih serem lagi, ketika datang jodoh tapi kamu masih sibuk milih-milih, yang ada malah dapat bongkeng!
Trus gimana? Saya masih bisa vaksin gratis nggak? Ya bisa lah.
Insya Allah bisa, kan program vaksin gratis ini gawenya Pemerintah. Yang dibutuhkan sejak awal memang sinergi pemerintah dan rakyat, cuman rakyatnya ada yang labil, makanya pemerintah yang agresif mendekati rakyat. PDKT yang sungguh embuh memang, begitu pemerintah agak menjauhkan diri, sekarang rakyatnya yang kelimpungan mencari kasih sayang.
Lalu bagaimana dengan vaksin berbayar? Kalau merasa keberatan ya nggak usah direken. Dalam kondisi terbatas begini mengeluarkan uang 900 ribu itu juga lumayan. Mikir yang gampang aja, kalau ada yang gratis kenapa milih yang berbayar? Urip kok senenge nggolek soro!
Sekarang sabar aja dulu nunggu giliran. Begitu dapat undangan jangan tunda lagi, buruan ambil jadwal. Gak usah nyari teman yang bisa digandeng, wong sama nakesnya gak ditanya kapan nikah. Nggak usah mikir jeru, nanti malah gupuh. Kata Ibnu Sina,
Kepanikan adalah separuh penyakit, Ketenangan adalah separuh obat, Kesabaranadalah Langkah awal kesembuhan
Yok yang mau maido, tempat dan waktu dipersilakan!
Nining
Laiya, lagi dan lagi. Opo’o seh pemerintah iki nek gae kebijakan, mbok yo dipikir dhisik ben gk blunder trus nek dipolitisir ngambul. Yongalah…
Sehat-sehat kabeh yo mbakkk
diarynovri
wes biasa dagelan kayak gini di negara Wakandanesia mbak… aamiin sehat kabeh