
Beli Xiaomi ditawari Merk Oppo. Saya heran dengan sikap sales smartphone jaman sekarang. Bagus-bagus aja sih triknya dalam mempromosikan produknya kepada konsumen, tapi etika pemasarannya yang justru bikin eneg dan sebel.
Mohon dipahami, saya tidak sedang menyudutkan brand smartphone tertentu, tulisan ini hanya ungkapan keberatan saya saat berhadapan dengan sales. Saya menyadari, banyaknya Toserba smartphone akhir-akhir ini, menuntut sales untuk mengunggulkan brand tempatnya bernaung, dan judul diatas hanyalah contoh perkataan antara sales dan buyer.
Ini saya alami berkali-kali. Setiap akan beli Xiaomi, saya malah dipameri KELEBIHAN handphone merk lain. Kalau saya ngeyel tanya Xiaomi, yang saya terima justru sales mengajak saya mengGHIBAH Xiaomi. Dimata mereka, Xiaomi gak ada bagusnya. Xiaomi itu jahat. Xiaomi itu jelek. Pokoknya beli Xiaomi hukumnya HARAM!
Pada Tahun 2015, ada seorang teman nitip minta dibelikan Xiaomi. Karena barang titipan, tentu saya harus mendapatkan sesuai merk dan type kemauan sang teman. Saat memasuki pintu Mall, mata saya gak belok-belok. Intinya saya ingin menuju toko Handphone yang ada pajangan Xiaomi.
Niat saya kesini beli Xiaomi, ya udah saya tanya harga Xiaomi. Pun saya gak repot-repot tanya spesifikasi karena saya sudah mengantongi tipenya. Saya yakin, sebelum nitip belikan, teman saya sudah browsing spesifikasi smartphonne pilihannya. Saya juga bukan pengguna Xiaomi, dan gak butuh penjelasan segambreng kelebihan maupun kekurangan produk ini. Cukuplah tau Xiaomi produk Tiongkok.
“Xiaomi xxxxxxx harga berapa?”
Satu pertanyaan saya dijawab panjang lebar kelebihan smartphone merk lain. Saya diam mendengarkan, meskipun pikiran saya gak fokus. Di akhir obrolan, saya keukeuh, “Jual Xiaomi, kan? Harganya berapa?”
Pengalaman seperti ini saya alami 3 kali, karena kebetulan ada 3 orang teman yang minta tolong saya belikan HP Xiaomi.
Minggu lalu, giliran saya yang ketiban sampur. Mendengar testimoni baik tentang Xiaomi, saya dan Mas Rinaldi kepincut mengadopsi Xiaomi. Jujur saja, saya memang belum pernah memakai Xiaomi, tetapi melihat spesifikasi dan harga yang terjangkau, saya jadi pengin punya juga.
Awalnya saya dan Mas Rinaldi jalan-jalan dulu ke Plasa Marina. Cuci mata, lihat-lihat perkembangan HP. Udah hampir 2 tahun ini memang saya tidak ganti HP, pasti ketinggalan jauh apa yang lagi trend di pasaran. Harapan saya kesini ingin melihat setenar apa pengaruh Xiaomi dimata pengguna smartphone.
Masih seperti yang dulu, rupanya trik pemasaran brand HP gak berubah. Triknya masih main sabotase. Nyabot sana nyabot sini. Orang cari merk apa, yang dijelaskan merk apa.
Sikap saya lempeng aja, namanya sales wajar ngejar target, kan. Toh, kemudian saya melenggang pulang tak bawa apa-apa. Informasi Xiaomi gak saya dapat, yang ada justru kegalauan mikir kesimpulan, sebetulnya dari sekian pilihan merk, spesifikasi, dan harga, yang bagus yang mana?
Jempol deh untuk kalian.. sukses membuat calon pembeli terkaing-kaing galau mikirin smartphone. Ibarat udah sreg sama Raisa, hati ingin berkelana kepada Agnes Monica, Dian Sastro, Isyana Sarasvati, Bunga Citra Lestari atau Pevita Pearce.
Terbesitlah saya dan Mas Rinaldi untuk segera membeli Xiaomi. Kami sengaja menghindari Mall-Mall yang spesifik menjual smartphone, karena seperti yang sudah-sudah, udah pasti bikin kepala tambah bingung. Pilihan kami jatuh ke Royal Plasa.
Menurut saya Mall ini salesnya tidak begitu ‘berisik’. Adalaah beberapa, tapi masih bisa kami abaikan.
Tak banyak tanya, saya langsung menuju ke counter Apollo. Untuk harga, counter ini memang bagus, walaupun pelayanannya harus membuat pembelinya yang lebih sabar.
Baca juga Pengalaman beli HP di Apollo Marina
Karena udah paham spesifikasi, saya langsung menyatakan ingin beli Xiaomi 4.
“Udah pernah pakai Xiaomi?”
Pertanyaan awal yang selalu saya hadapi dari seorang sales. Biar gampang, saya katakan, barang ini untuk titipan, gak dipakai sendiri.
Jawaban seperti itu sukses membawa saya lolos ke tahap berikutnya, yaitu meja kasir.
Uang sudah saya hitung, kartu ATM sudah saya pegang, *uang cash saya tidak mencukupi, sisanya saya bayar via transfer*, barang juga sudah ada dihadapan kami, siap untuk dibuka segel.
Entah inisiatif apa dan darimana, tiba-tiba Mas kasir kembali bertanya pada saya, “Udah pernah pakai Xiaomi?”
Kali itu saya gagal berbohong. Saya jawab jujur bahwa saya belum pernah memakai Xiaomi.
Sang kasir lalu melanjutkan bicaranya. Seperti sales, Ia menjelaskan kebobrokan Xiaomi, terutama bagian garansi. “Garansi Xiaomi harus dikirim ke Jakarta, dan bla bla bla…… yang diakhiri dengan pertanyaan, gak mau beli merk Oppo?”
Saya kalem aja. Sebagai mantan pegawai komputer, saya jawab yang saya tau mengenai barang elektronik. “Mas, dimana-mana gak ada sejarahnya produk elektronik bila rusak dapat penggantian barang baru. Pasti akan diservice. Dikirim ke Jakarta atau tidak, kalau HP rusak pasti ditinggal di service center. Saya sudah pernah service HP berbagai merk, rata-rata kalau rusak perangkat harus ditinggal minimal seminggu”
Ternyata Mas Kasir tetap berkeras agar saya tidak beli Xiaomi!
Selama debat Mas Rinaldi hanya diam. Rupanya dia kesal juga. Kali ini Mas Rinaldi yang menghandle debatan kasir.
“Mas, sebenarnya disini jual Xiaomi nggak, sih? Dari tadi saya perhatikan disini gak ada itikad baik menjual Xiaomi.
Kenapa sih kalau orang beli Xiaomi dijelek-jelekkan? Kalau nggak mau jual Xiaomi, turunkan dari pajangan!
Kalau soal garansi, saya yang menanggung garansinya, bukan kalian. Bikin orang eneg aja beli disini!
Ayo, kita pergi aja, gak usah beli disini!”
Saya kaget. Ternyata orang laki-laki kalau marah begini, ya haha.. saya juga sempat melihat wajahnya kasir melongo. Yang tadinya bermuka songong, berubah jadi diam.
Dalam hati saya, sukurin. Kapok! *jahat banget, ya, haha..*
Perburuan saya kemudian berakhir di toko sebelahnya. Kali ini penjualnya lebih smooth. Tetap sih, ada penjelasan yang menjelekkan Xiaomi, tetapi caranya lebih elegan. Mas salesnya lebih tabah, tidak arogan mencap Xiaomi Haram.
Gak banyak tanya, Ia langsung mengambil Xiaomi pilihan saya. “Sebelumnya udah pernah pakai Xiaomi?” tanyanya. Jujur saya katakan belum.
Tapi dia gak emosional. Dengan sabar Ia membuka kemasan kotak Xiaomi. Dihadapan saya, Mas ini menunjukkan barang baru sekaligus menyampaikan fitur luar dalam Xiaomi secara detail dan meyakinkan. Saya juga dipersilakan mencoba dan memegang perangkat baru tersebut.
Entah bagaimana, saya kemudian tidak tertarik membeli Xiaomi. Mungkin benar, Xiaomi lebih cocok dipakai anak muda. Bukan ‘Mbak-mbak’ matang seperti saya yang maunya fitur gampangan.
Tau nggak saya kemudian beli apa? HP Vivo! Hahaha.. Epic banget!
Baiknya lagi, Mas nya tidak keberatan saya tidak jadi membeli Xiaomi yang telah dibuka kemasannya 😀
Sejak awal saya cari smartphone memang nggak ngejar merk. Beli Advan saya pernah, gak sampai setahun rusak. Saya juga pernah pakai Samsung, Asus, Mito, Andromax Hisense.. tapi gak seruwet ketika saya membeli Xiaomi. Beli Xiaomi ditawari Merk Oppo!
Hingga hari pun saya masih penasaran, apa alasan sales menghalangi orang membeli HP Xiaomi?
Leave a Reply