Tragedi Asinan Bogor
5 Tahun lalu..
Seumur-umur saya belum pernah makan asinan. Konon kata yang pernah makan rasanya asam-asam segar. Sebagai penyuka rasa rujak-rujakan saya jadi penasaran seperti apa rasa makanan yang bernama asinan ini.
Sampai suatu ketika saya datang ke Bogor. Tiba di Stasiun saya langsung disambut penjual asinan dengan rombong yang mangkal berjajar di bagian luar. Di dalam rombong asinan terdapat buah-buahan dan sayuran yang ditata sedemikian rupa dengan kuah yang ditaruh di wadah tembus pandang. Saya pikir itu rombong penjual rujak ternyata Mas Aldi bilang itu rombong jual asinan.
Dengar kata asinan saya langsung nelan ludah. “Hmm.. kayaknya enak nih siang-siang panas begini makan sesuatu yang asam-asam seger”.
Ditambah lihat asinan yang sudah dibungkus plastik yang digantung-gantung di atas rombong, makin gemes lihatnya. Warnanya cantik, kuahnya menggoda dengan butiran isi cabe yang betebaran.

Gambar dari Google
Tanpa menunggu lagi saya langsung beli 2. Dibilang kemaruk biarinlah asal kemecer dilidah ini segera hilang 😀
Sepanjang putar-putar di Kebun Raya Bogor saya sudah gak fokus lagi lihat pemandangan. Yang saya pikir cuma satu, segera mencari tempat teduh lalu duduk dibawahnya sambil menikmati asinan berkuah.
Begitu dapat tempat nyaman saya langsung membuka bungkus asinan itu. Setelah tali karet yang mengikatnya terbuka terciumlah aroma asam pedas yang nikmat itu. Lidah yang dari tadi kemecer makin gak tahan untuk segera menyantapnya.
Sebagai incipan pertama saya ambil pepayanya dulu. Warnanya yang merah cantik menggugah selera saya.
Sial, gigitan pertama saya gagal. Pasalnya pepaya yang saya ambil itu mentah. Warnanya memang merah, tapi pas digigit rasanya keras. Lidah saya jadi susah menikmati.
Lantas saya ambil incipan yang kedua. Saya ambil buah berwarna putih. Irisannya tipis melebar dan bayangan saya kalau digigit bisa menghasilkan efek kriuk renyah seperti bengkuang.
Ah, sial lagi.. ternyata buah yang barusan saya gigit itu bukan bengkuang tapi telo (ubi). Telo mentah!
“Gimana sih yang jual asinan ini.. makanan mentah semua gini kok dijual! Wong gak nggenah!” saya pun misuh-misuh.
Saya angkat plastik asinan, saya pegang bagian bawahnya lalu saya pijiat-pijat pakai tangan. Saya hanya memastikan buah apa saja yang ada didalam bungkus asinan ini. Disitu saya lihat ada kubis yang diiris panjang, kecambah, sama timun. Dan pas saya rasakan semuanya satu persatu, ternyata semua mentah sodara!
Antara kecewa, marah, tak bisa lagi dibendung. Harapan makan asinan segar nan pedas hanya tinggal bayangan. Lidah yang sudah trecep-trecep tidak mencapai kepuasan. Semuanya serba nggantung dan gak ada penyelesaian sama sekali!
Jadi galau lihat asinan ini. Dibuang itu sayang, tapi kalau gak dibuang juga percuma, saya gak bisa makan karena semuanya mentah. Padahal saya suka dengan kuahnya. Suka banget. Kuahnya enak seperti rasa nano-nano.
Mas Aldi: “Yang namanya asinan ya begitu itu rasanya”
Saya: “Tapi ini semuanya mentah”
Mas Aldi: “Ya emang begitu. Orang sini sudah biasa makan begituan” sambil ngakak
Masak sih. Gak percaya. Ngapain harus makan yang mentah, kalau yang masak aja lebih enak.
Daan dari pada galau berkepanjangan asinan itu saya buang. Saya buang jauh ke tempat sampah dipojokan. Biar saja biar mampus dimakan cacing tanah! *emosi jiwa*
Tragedi asinan itu membuat saya kapok. Saya gak mau lagi makan makanan yang bernama asinan!
2 hari yang lalu..
Tragedi yang sudah saya tutup rapat-rapat kemarin terkuak lagi. Semua gara-gara Kang Yayat yang nulis status di FB. Di status itu Kang Yayat dengan ‘semena-mena’nya menayangkan resep asinan yang diambil dari majalah wanita online. Yang membuat saya makin trauma ketika membaca isi resepnya. Disana saya menemukan bahan yang menurut saya tidak wajar. Disana tercantum:
200 gr ubi merah, kupas, iris tipis
Bentar.. bentar.. maksudnya ubi yang bagaimana ini.. kenapa ubinya cuma dikupas trus diiris tipis. Saya curiga jangan-jangan ubi ini nantinya dimakan mentah sama seperti yang pernah saya rasakan 5 tahun lalu..
5 tahun itu bukan waktu yang sebentar lho, tapi kenapa selama 5 tahun itu ubi ini tetap masuk dalam daftar bahan asinan? Lebih mengenaskan lagi ubi itu diramu dalam kondisi mentah! wkwk..
Adakah yang spesial dengan ubi ini?
Tidak kah lebih baik ubi ini diganti dengan bahan yang lebih sopan dimakan mentah?hehe..
Atau bahan ini sengaja ditambahkan sebagai garnis asinan?
Mungkinkah ini semua hanya karena kebiasaan. Sebagai orang Jawa Timur lidah saya tidak biasa makan makanan yang seharusnya dikukus dulu. Tapi saya tetap penasaran..
Kenapa ubi masuk dalam daftar bahan asinan?
Kenapa ubi harus disajikan mentah?
Apakah tiap beli asinan ubi itu ikut dimakan?
Trus bagaimana rasa makan ubi mentah?
Ada yang bisa jawab kekepoan saya? hehe