Balai Pemuda merupakan salah satu gedung bersejarah yang hingga kini tetap dilestarikan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Sebagai cagar budaya, gedung ini kerap dijadikan sebagai langganan penyelenggaraan event yang bersifat kesenian tradisional. Salah satunya adalah pertunjukan seni reog Ponorogo.

Setiap hari Minggu pagi, saya sering berkunjung ke gedung Balai Pemuda ini. Apalagi kalau bukan untuk menyaksikan pertunjukan reog. Ya, di gedung ini setiap hari Minggu, tepatnya di pelataran gedung selalu diadakan pertunjukan seni khas Jawa Timur. Jadwalnya berselang-seling, antara pertunjukan reog dan pertunjukan kuda lumping.
Walau sering tampil, namun tak mengurangi antusiasme warga Surabaya untuk menonton pertunjukan reog ini. Sebab grup yang tampil setiap 2 minggu itu selalu memiliki karakteristik yang berbeda. Baik dari sisi humor sang Bujang Ganong (Ganongan), Keluwesan gerak tari Jathilan juga penampilan gemblak yang terlihat sangar namun lucu.
Jam 8 pagi, penonton sudah siap di posisinya masing-masing. Meski tanpa komando para penonton ini sudah lebih dulu membentuk lingkaran yang tengah-tengahnya kosong. Sedangkan kru reog sendiri, sambil mempersiapkan timnya selesai dandan, sudah memulai membunyikan musik khas reog Ponorogo.
Sebagai pembuka, pertunjukan ini didahului oleh tari Jathilan yang dibawakan oleh 4 gadis. Mereka ini menariΒ secara luwes dengan gerak yang kadang berloncatan mengikuti irama musik.

Foto Yuniari Nukti
Setelah itu barulah muncul Warok yangkemudian di ikuti dengan Gemblak. 2 sosok ini selalu melengkapi pertunjukan barongan berkepala bulu merak raksasa ini.

Foto Yuniari Nukti
Selanjutnya berganti dengan kemunculan anak kecil yang biasa disebut Bujag Ganong (Ganongan). Kemunculan anak-anak ini sering membawa kesegaran tersendiri. Sebab gerak dan tarian yang dibawakan kerap lucu dan menggemaskan. Tak jarang ia bersalto mengikuti hentakan kendang, hingga membuat penonton terperangah saking kagumnya.

Foto Yuniari Nukti
Saat Bujang Ganong ini tampil biasanya Gemblak turut meramaikan suasana. Mereka kerap membuat obrolan dan adegan lucu sehingga membuat penonton tertawa karenanya. Bersama Bujang Ganong mereka saling berbalas atraksi salto atau membuat atraksi unik yakni membuat semacam piramid ala reog.

Foto Yuniari Nukti
Terakhir, dan yang paling ditunggu-tunggu adalah penampilan reog. Dalam setiap pertunjukan ada 2 reog yang tampil. Keduanya akan memakai topeng bersama-sama lalu menari saling berhadapan kemudian saling memutar menunjukkan aksinya. Aksi ini seolah-olah menggambarkan 2 singo barong yang sedang bertarung. Semakin kencang reog berputar, maka semakin kencang pula tepuk tangan penonton.

Foto Yuniari Nukti
Wajar jika penonton begitu kagum sebab beratnya dadak merak Reog ini konon mencapai 50 kilogram dengan panjang dan lebar kurang lebih sekitar 2 meter-an. Bayangkan, bagaimana sulitnya seseorang membawa barang seberat 50 kilogram hanya dengan bantuan gigi saja lalu meliuk-liuk dan berputar-putar keudara. Yang pasti akan sangat berat. Namun penari reog ini sudah terbiasa melakukannya.

Foto Yuniari Nukti
Kebiasaan membawa reog dengan hanya menggunakan bantuan gigi bukanlah pekerjaan mudah. Setidaknya diperlukan banyak-banyak latihan berupa membawa beban berat dan tentunya juga latihan ilmu tenaga dalam.
Sebagai warga Surabaya saya amat bangga dengan diadakannya pertunjukan Reog sebagai pertunjukan mingguan. Setidaknya dihari libur itu, selain untuk menghilangkan penat, saya masih bisa menikmati dan merasa memiliki kesenian tradisional negeri sendiri yang beberapa saat sebelumnya nyaris di klaim negara lain.
Untuk itu marilah bersama-sama memiliki Reog sebagai kesenian tradisional. Memiliki saja tak cukup jika sekedar diucapkan, tetapi dibuktikan dengan berbondong-bondong saling menggerakkan satu sama lain agar senantiasa menyaksikan kesenian tradisional. Dengan Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia, mari bersama-sama kita dukung kesenian tradisional nusantara sebagai harta berharga bangsa.
Leave a Reply to Lidya Cancel reply