Beberapa hari lalu saya bersama tetangga membuat ketupat. Kebiasaan kami, membuat ketupat dilakukan berbarengan, biasanya sepasaran atau lima hari setelah lebaran Idhul Fitri. Jadi tak heran bila setelah ketupat matang kami saling mengirimkan secara bergantian.
Pagi-pagi tetangga saya sudah memulai membuat ketupat didepan rumah. Iseng-iseng membantu, saya pun diminta Ibu membuat untuk dipakai sendiri juga. Pemandangan ini membuat siapa saja yang lewat didepan kami mau tak mau berhenti. Ada yang sekedar melihat tapi ada juga yang ingin diajari membuat ketupat. Saat itulah tiba-tiba ada salah satu tetangga, sebut saja Bu A, berkata begini:
“Ketupat itu bukan ajaran Islam. Di Arab gak ada orang bikin ketupat. Cuma di Jawa aja yang bikin ketupat. Lihat saja di Papua gak ada yang bikin ketupat” dengan nada agak-agak sinis begitu.
Tak mau ketinggalan, tetangga lainpun menjawab “Siapa bilang, di Sumatera ada yang bikin ketupat”
Saya yang secara langsung mendengar perdebatan ini tak mau menambah ucapan. Cukup saja mendengarnya walau dalam hati sebetulnya ingin meluruskan. Tapi buat apalah, wong saya sendiri bukan orang lurus. Dan lagi usia saya jauh dibawah mereka.
Sebenarnya sah-sah aja bila Bu A mengatakan demikian. Kenyataannya memang Islam tak menganjurkan untuk membuat ketupat saat lebaran. Begitu juga Nabi SAW tak pernah menyuruh umatnya membuat ketupat. Pun di Arab tak ada tradisi membuat ketupat. Tradisi Ketupat (setau saya) hanya ada di Pulau Jawa. Kalau penduduk luar Jawa ada yang membuat ketupat mungkin mereka orang Jawa yang pindah ke luar Jawa Atau mereka memiliki darah Jawa. Kalaupun kedua alasan itu tak masuk hitungan, tak ada salahnya juga mereka membuat ketupat.
Bila ditelisik lebih jauh Masyarakat Jawa memiliki banyak sekali tradisi/upacara yang berseberangan dengan ajaran Islam. Salah satunya tradisi membuat ketupat. Bila kita melihat sejarah masuknya agama Islam di Pulau Jawa kekayaan tradisi tersebut dibawa oleh para ulama waktu itu sebagai alat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, salah satunya satu dari 9 Wali yakni, Sunan Kalijogo.
Menurut sejarah, Sunan Kalijogo memiliki cara berbeda dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Mengingat pada waktu itu banyak masyarakat Jawa yang masih percaya akan hal-hal mistis. Lihat saja berapa banyak ‘alat’ yang digunakanSunan Kalijogo dalam mempengaruhi masyarakat Jawa ketika itu dan masih digunakan hingga sekarang. Sebut saja Wayang kulit, Gamelan, Lagu Lir-ilir, gundul-gundul pacul yang liriknya memiliki makna sangat dalam terhadap nilai-nilai kehidupan.
Begitu pula dengan penggunaan istilah, sejak dulu hingga sekarang banyak istilah-istilah Jawa yang diambil dari potongan-potongan bahasa Jawa yang kemudian dipakai hingga sekarang. Misalnya: Kupat Santen yang dipanjangkan menjadi Kulo lepat nyuwun ngapunten. Yang artinya kurang lebih begini, Saya salah minta maaf. Umumnya kupat atau ketupat dihidangkan dengan sayur berkuah menggunakan santen, seperti di Surabaya sayur ketupat menggunakan manisa (labu siam) yang dimasak sambal goreng dengan kuah santan.
Tradisi di Jawa ketupat disandingkan bersama lepet/lepat, sejenis makanan dari ketan yang dibungkus dengan janur dengan 3 tali dibadannya. Dengan lepat ini diharapkan dosa-dosa kita terampuni. Seperti arti kata lepet/lepat sendiri yang berarti salah.
Barangkali tradisi-tradisi seperti itu tak hanya ada di Pulau Jawa. Di pulau-pulau lain diluar Jawa saya yakin juga memiliki tradisi khas di masing-masing daerah yang memiliki cara tersendiri dalam mengaplikasikannya. Kekayaan tradisi-tradisi tersebut seyogyanya tak digunakan sebagai ajang perdebatan. Lebih indah bila kita menghormati kepercayaan masing-masing sehingga suasana kehidupan dalam berbangsa menjadi selaras dan harmonis. Karena tradisi-tradisi yang masih dijalani tersebut pada intinya mengajarkan kita semua akan arti kebersamaan dan silaturrahmi.
Leave a Reply to Lidya Cancel reply