Saat beli nasi bungkus di sebuah warung kopi saya tidak langsung beranjak pergi, mata saya tertarik membaca halaman Jawa Pos yang tergeletak diatas meja warung dengan halaman muka seorang pejabat yang sedang naik daun terkait sebuah kasus.
Di warung itu selain saya ada 3 orang laki-laki yang sedang sibuk mendinginkan kopi dengan cara meniup-niup cairan hitam itu diatas lepek. Sesekali Ia menyeruputnya sedikit-sedikit.
Sedangkan 2 laki-laki lainnya serius memencet-mencet keypad Hpnya seraya sesekali menyedot lintingan tembakau yang lalu menciptakan kepulan asap di udara.
Saat saya sedang sibuk membaca deretan kata pada halaman lebar itu datanglah seorang pengunjung baru diwarung. Seorang perempuan berusia sekitar 40-an dengan pakaian yang biasa namun terlihat sedikit modis duduk agak jauh dengan posisi saya.
Kedatangannya itu membuat saya mendongak lalu berpaling memperhatikannya meski tetap dengan kondisi koran yang masih terbuka.
Dari jauh saya mendengar si Ibu itu memesan es teh bungkus. Si penjual pun dengan cekatan menuruti permintaan si Ibu. Setelah mencampur biang teh dan air putih lalu teh itu diaduknya. Tak lupa beberapa sendok gula telah dituang juga kedalam air berwarna coklat itu. Sebelum air teh dituang ke plastik, terlebih dahulu dimasukkan es batu.
Bungkusan es teh pun siap diserahkan kepada si Ibu lengkap dengan plastik pembungkusnya.
Setelah diserahkan tiba-tiba si Ibu itu bilang bahwa bukan es teh seperti ini yang diinginkannya. Dia ingin teh botol.
Penjual pun menuruti keinginan si Ibu. Es teh yang tadi diserahkan dimintanya balik lalu digantikan dengan teh botol biasa.
“Es nya mana?” kata si Ibu.
Coba kalau kondisi seperti itu apa yang ada dipikiran teman-teman?
Pasti kita mikirnya oh berarti si Ibu ini maunya teh botol yang dituang ke dalam plastik lalu dikasih es batu, gitu kan? Sama seperti pikiran saya dan si penjual.
Si penjual warung pun meminta balik lagi teh botol tadi lalu menuangnya ke dalam plastik yang sudah dikasih es batu.
Bungkusan itu pun lalu diserahkan kepada si Ibu tadi itu lagi.
Lagi-lagi si Ibu berkata, bukan es teh seperti ini yang diinginkannya.
Dari jauh saya pun mengernyit sambil memandang si Ibu dengan pikiran aneh. Trus maunya es teh yang seperti apa?
Kalau dari awal dia bilang es teh, dapatnya ya teh yang diaduk lalu dikasih es. Kalau bilangnya es teh botol, dapatnya ya teh bermerk kemasan botol lalu dituang dan dikasih es.
“Ibu maunya es teh yang seperti apa?” tanya si penjual.
Tapi sayang jawaban si Ibu tak terdengar di telinga saya. Setelah beberapa saat mereka berdebat, diakhir pembicaraan si penjual marah dan mengusir si Ibu itu.
“Sudah sana, gak usah beli-beli lagi kesini!” teriak si penjual.
Dan seperti tidak merasa bersalah si Ibu itu menjawab sebelum akhirnya meninggalkan warung.
“Ya sudah, sekali aja saya beli disini!” teriaknya.
Karena sebel, bungkusan es teh yang tadi dipegang penjual di lemparkan saja di jalan. Dan hasil lemparannya itu jatuh di hadapan si Ibu. Yang pastinya sih si Ibu melihat bahwa teh yang batal dibelinya itu dibuang saja oleh penjual.
Setelah insiden itu saya dan beberapa orang di warung saling pandang-pandangan.
“Mas, kenapa teh nya tadi dibuang? Kan sayang..” kata saya.
“Biarin, Mbak. Lebih baik saya rugi teh botol satu dari pada ngelayani orang edan itu!”
Akhirnya warung itu riuh dengan omelan sedangkan saya yang sudah hilang nafsu membaca koran memilih pergi, tapi tetap dengan pikiran sendiri tentang kemauan si Ibu tadi akan es teh.
Kira-kira apa ya maunya si Ibu tadi itu? #edisi penasaran# 😀
Leave a Reply