Tadi siang ketika duduk-duduk didepan rumah Ibu saya didatangi seorang laki-laki. Penampilan laki-laki itu biasa layaknya orang lewat. Berjaket, berambut gondrong ikal setengah kemerahan. Dengan sopan laki-laki itu bertanya kepada Ibu saya:
“Nuwun sewu, Bu. Ndherek tanglet (numpang tanya) rumah yang dipojokan gang yang berpagar hijau itu rumahnya Bu Fulan sendiri ya?”
Ibu saya yang sedang membersihkan daun pisang menoleh lantas berpikir sejenak. Mungkin heran kenapa tiba-tiba ada orang datang dan ujug-ujug menanyakan status rumah orang.
Masih berpikir Ibu saya bertanya balik, “rumah pojokan yang mana Mas?”
Kebetulan saat itu saya sedang nonton TV didalam. Dari kaca riben saya bisa memperhatikan penampilan orang asing itu dan mendengarkan pembicaraan secara seksama. Sama seperti Ibu, saya juga berpikir, rumah pojokan gang berpagar hijau itu yang sebelah mana..
Mendengar beberapa kali obrolan antara Ibu dan laki-laki itu tampaknya belum juga menemukan rumah mana yang dimaksud, dan Bu Fulan siapa yang dimaksud. Untuk membantu Ibu sekaligus memperjelas obrolan akhirnya saya ikutan nimbrung.
“Nik, rumah pojokan gang yang pagarnya hijau itu rumahnya siapa?” tanya Ibu begitu melihat saya keluar.
“Rumah Bu Felani (bukan nama sebenarnya) mungkin, Bu”
“Yang suaminya sudah meninggal” tanya si Mas menambahkan keterangan.
“Oh, iya rumahnya Bu Felani itu Bu..” kata Saya
“Emang rumahnya Bu Felani, pagarnya hijau?” tanya Ibu.
“Kalau tidak salah ingat, Iya..”
Agar makin jelas si Mas menunjukkan ke saya “Sini deh Mbak, saya tunjukkan rumahnya..”
Saya dan Laki-laki itu berjalan ke arah tengah gang untuk melihat posisi rumah yang dimaksud. Dan memang benar yang dimaksud laki-laki bernama Bu Fulan ya Bu Felani itu. Kebetulan jarak rumah saya dan rumah Bu Felani agak jauh tapi masih lingkup satu RT.
Sambil berjalan balik saya lantas menebak-nebak maksud kedatangan laki-laki ini. “Mas, surveyor, ya?” tanya saya.
“I.. Iya Mbak..” jawabnya gagap. Mungkin salah tingkah karena saya bisa menebak maksudnya. Padahal mestinya identitas surveyor tidak boleh diketahui orang lain, lebih-lebih tetangga yang akan ditanyai. “Mbak kok tau?” tanya Mas itu lagi.
“Ya.. sekedar tau” jawab saya sambil senyum misterius. “Surveyor Adir*?” tanya saya lagi.
Tampaknya pertanyaan yang kedua ini membuat Masnya lumayan kaget. Terlihat dari raut mukanya yang memerah. Senyumnya pun tampak kalau salah tingkah. “Emang Bu Felani mau kredit laptop, Mas?” lagi-lagi pertanyaan saya menghunjamnya.
“Iya Mbak..” mukanya makin memerah. “Kok Mbak tau semuanya?”
“Yah.. sekedar tau aja Mas..” jawaban yang saya kasih masih sama.
Sebetulnya saya sudah tau sejak awal kalau dia itu surveyor. Dari pertanyaan pertama yang ditanyakan ke Ibu tentang status rumah Bu Felani itu sudah cukup menjawab kalau dia itu sedang menyurvei calon pengaju kredit.
Dan kesempatan inilah yang akhirnya menjawab pertanyaan saya selama bekerja di toko komputer dulu yang juga melayani kredit melalui leasing. Bukan ingin menjelekkan prosedur suatu leasing namun yang menjadi keheranan saya adalah cara surveinya.
Cara survei leasing Adir* ini tidak dengan mendatangi rumah pengaju kredit akan tetapi mereka bertanya kepada tetangga sekitaran rumah. Tentang status rumah sang pengaju kredit, pekerjaannya apa, punya anak berapa, dan lain-lain dengan bahasa halus ala orang ngobrol sehingga lawan bicaranya tidak sadar bahwa si surveyor ini sedang mengorek keterangan tetangganya sendiri. Dan karena saya tau kalau dia surveyor, pertanyaan-pertanyaannya saya jawab tentang yang baik-baik mengenai Bu Felani dengan tegas. Itu saya lakukan supaya pengajuan Bu Felani disetujui. Dan untung begitulah adanya meski sebetulnya saya tidak kenal-kenal banget siapa Bu Felani. Andai satu kata saja saya melontarkan kalimat meragukan, bukan tidak mungkin Surveyor itu me-reject. Sebab saat bertanya surveyor tak hanya mencari jawaban, tetapi juga gelagat yang diberi pertanyaan.
Meski tidak pernah secara langsung terlibat dengan surveyor kredit elektronik tapi saya hanya mengaitkan pengalaman yang lalu-lalu. Seperti yang sudah-sudah, selama bekerjasama dengan leasing ada banyak kejadian tidak mengenakkan yang saya temui. Kejadian yang mestinya hubungan antara leasing dan customer, mau-tidak mau pihak toko turut terlibat juga. Salah satunya adalah customer yang telpon marah-marah karena pengajuan kreditnya tidak ada kabar sama sekali. Di ACC atau di reject. Sebagai pihak toko, saya pikir itu tugas leasing memberi info ke customer, ternyata tidak, kalau pengajuan customer reject, maka customer sama sekali tidak diberitau.
Sebagai penjual, tentunya saya juga ingin semua customer di ACC. Agar saya tau status-status customer, melalui sales leasing saya selalu minta hasil surveinya. Dari situlah saya dapat jawaban ACC/Rejectnya customer. Sebagai pelayanan maka tugas saya merangkap memberi info status kepada customer. Kasihan kalau mereka menunggu lama yang kemudian ternyata DITOLAK!
Yang jadi permasalahan adalah customer selalu marah-marah kalau saya kabari bahwa pengajuannya direject. “Lho kok bisa reject, lha wong saya belum disurvei kok direject!” begitu selalu. Jelas dan wajar jika customer marah, nyatanya memang mereka tidak pernah disurvei dan tau-tau pengajuannya ditolak. Siapa yang gak sakit hati? Kecewa pasti.
Jadi, buat teman-teman yang mau, atau akan mengambil kredit melalui leasing, seperti itulah gambaran kerja surveinya. Dan pelajaran moral yang bisa dipetik disini adalah berbaik-baiklah sama tetangga, siapa tau suatu saat nanti ada surveyor datang dan mengorek keterangan tentang kalian. Sst.. siapa tau yang survei ternyata calon mertua 😀
Leave a Reply to Yudith Dharmawan Cancel reply