Fenomena Anak Indonesia Hobi Merokok bikin Miris, Ayo Dukung Harga Rokok Mahal!

“Dek, masih sekolah kok merokok, nggak dimarahi orang tua?”

Tanya saya pada salah satu anak lelaki yang sedang mengapit sebatang rokok diantara dua jarinya. Dia sedang bergerombol bersama teman-temannya, sementara saya sedang berdiri menunggu jemputan. Kebetulan jarak kami hanya beberapa meter saja.

Mungkin pertanyaan saya membuatnya tidak nyaman, sehingga ucapan saya hanya dibalas dengan senyum.

Saya bukannya memarahi mereka, wong nada saya biasa-biasa saja. Hanya, jujur, saya terganggu dengan bau asapnya. Karena rokok mereka, saya jadi susah bernapas.

Bukan sekali saja saya berpapasan dengan anak usia belasan tahun yang merokok. Di lingkungan rumah saya, beberapa kali lewat segerombolan anak yang saya taksir masih duduk dibangku Sekolah Dasar yang masing-masing tangannya memegang rokok menyala. Hal-hal begini kerap membuat saya serba salah. Dikasih tau baik-baik, mereka pasti nggak terima. Diabaikan, pun, sebenarnya kasihan. Tapi saya tak kuasa untuk memaksa mereka agar tidak merokok.

Sejak dahulu, fenomena anak merokok di Indonesia bukanlah sebuah hal tabu. Meski sebetulnya termasuk perilaku tidak wajar. Nahasnya, masih ada orang tua dan lingkungan sekitarnya yang tidak melarang anaknya merokok!

Beberapa tahun silam masyarakat Indonesia pernah dihebohkan dengan video viral seorang anak balita asal Malang berinisial S yang ‘pintar’ merokok. Sambil berlagak seperti preman, S enteng sekali berkata jorok. Mirisnya, dalam video itu, S berkali-kali memainkan kepulan asap rokok hasil hisapan mulutnya.

Meski tak sedikit orang tua mengelus dada melihatnya, yang membuat miris, beberapa orang dewasa yang ada didekatnya justru menanggapi kelakuan S sebagai kelucuan dan mentertawakannya. Malahan mereka memicu S agar melanjutkan atraksi bermain-main dengan kepulan asap.

Oh, orang dewasa macam apa mereka..

Tapi sekarang keadaan S sudah lebih baik. Usai menjalani rehabilitasi, balita S sekarang sudah besar dan telah menjadi siswa Sekolah Dasar dengan kehidupan lingkungan yang baik.

Jika kondisi S sudah membaik dan tumbuh jadi anak yang normal, tapi bukan berarti anak-anak Indonesia yang lain terbebas dari ancaman bahaya merokok. Di daerah masih banyak S-S yang saat ini kecanduan rokok. Contohnya bocah usia 5 tahun di Semarang yang menderita Bronkitis gara-gara kecanduan rokok.

 

Program Radio Ruang Publik KBR Lindungi Anak Indonesia Rokok Harus Mahal

 

Budaya merokok sudah mendarah daging di Indonesia. Ditambah lagi iklan-iklan tentang rokok yang menunjukkan bahwa dengan merokok, seseorang akan terlihat ‘KEREN’.

Penasaran terhadap fenomena anak Indonesia yang hobi merokok, pada tanggal 18 Juli 2018 lalu, saya menghadiri talkshow dan menyimak diskusi Serial #RokokHarusMahal dengan tema Lindungi Anak Indonesia, Rokok Harus Mahal yang diselenggarakan oleh KBR dan Prima Radio 103.8 FM mulai dari jam 9 pagi hingga jam 10.45 WIB.

Diskusi Talkshow Ruang Publik KBR ini diselenggarakan di Hotel Singgasana, Surabaya, dan disiarkan secara langsung oleh 100 radio jaringan KBR (Kantor Berita Radio) di seluruh Indonesia.

Saya pikir temanya sangat cocok sekali karena bertepatan dengan jelang peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli.

Di Surabaya, talkshow ini bisa didengarkan langsung melalui Prima Radio 103.8 FM. Karena acara disiarkan secara live, cukup banyak masyarakat yang antusias mengikuti diskusi ini. Penelpon dari berbagai kota di Indonesia turut menyumbangkan pertanyaan dan opini terkait #RokokHarusMahal. Malah ada penelpon yang gemas dengan keberadaan rokok dengan mengatakan. “Harga Rokok jangan 50 ribu, lebih mahalkan lagi”

Program Radio Ruang Publik KBR Lindungi Anak Indonesia Rokok Harus Mahal minggu lalu dipandu oleh 3 narasumber, yakni:

1. Dr. Santi Martini, dr. M Kes, Wakil Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
2. Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia
3. Dr. Sophiati Stjahjani, M Kes, Ketua Majelis Kesehatan Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Timur

 

Budaya Merokok dan Image Kebebasan

 

Budaya merokok di masyarakat kita sudah mengakar kuat. Seperti yang kita lihat, meski kemasan rokok terdapat foto yang menjijikkan, nyatanya perokok masih saja tidak memiliki rasa takut.

Walau slogan peringatan telah diganti sekalipun, dari “Merokok dapat menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin” menjadi sangat mengerikan, yang berbunyi “Rokok Membunuhmu”, namun tetap saja peminat rokok tidak berhenti. Terlebih anak-anak.

Menurut Ibu Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak Indonesia, banyak faktor yang membuat anak-anak terlibat dalam mengkonsumsi rokok, antara lain:

1. Keterjangkauan Harga Rokok
2. Tayangan Iklan yang Leluasa di tempat terbuka
3. Penjual Rokok bisa dijangkau anak-anak
4. Promosi Rokok yang menyebutkan harga batangan

Apa yang dikatakan Bu Lisda memang sulit dipatahkan. Walau di keluarga saya tidak ada yang merokok, tapi saya pernah membaca sendiri ada papan reklame di jalan raya yang menyebutkan harga rokok per batangnya secara terang-terangan. Hal-hal seperti inilah yang memicu anak semakin penasaran mencoba rasanya rokok.

Faktor lain yang tak bisa dihindari adalah penjual rokok yang tetap menjuali meski pembelinya anak-anak dibawah umur.

Dr. Sophiati Stjahjani, M Kes, menambahkan, Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes tahun 2013, Konsumen Rokok anak usia 10-14 terus mengalami peningkatan.

Untuk mengurangi kebiasaan merokok, Ia berharap agar Kawasan Bebas Rokok di tempat umum agar diperbanyak. Begitupula di lingkungan pendidikan. Tak sedikit pendidik yang masih bebas merokok di lingkungan sekolah, yang jelas-jelas banyak anak dibawah umur disekitarnya. Pendidik seperti ini harus diberi peringatan keras. “Bagaimana bisa melarang anak merokok, sedangkan gurunya sendiri kerap mengepulkan asap rokok di hadapan anak muridnya”

Dalam keluarga, yang paling dominan berperilaku merokok adalah Ayah. Oleh karena itu Bu Sophi menghimbau agar orangtua melibatkan anak untuk mengajak Ayahnya berhenti merokok. Cara ini cukup tepat karena biasanya ucapan anak didengar. Misanya, “Yah, jangan merokok nanti sakit”.

Ibu Dr. Santi Martini dan Ibu Lisda

Dr. Santi Martini, dr. M Kes, menjelaskan, untuk menghentikan kebiasan merokok pada anak, ada 2 cara yang dapat dilakukan, yaitu:

1. Secara Internal

Internal disini dimulai dari diri sendiri. Menyadarkan anak berhenti merokok lebih sulit ketimbang orang dewasa. Ketika anak kecanduan rokok menangis minta rokok apa yang bisa dilakukan oleh orang tua? Semakin dibujuk tangisan anak semakin keras. Apa iya diberi rokok agar menangisnya berhenti?

Disinilah peran orangtua bertindak. Anak harus segera dijauhkan dari lingkungan perokok. Kalau Ayahnya di rumah merokok, sebisa mungkin jangan merokok di depan anak. Jauhkan bungkus rokok dari pandangan anak-anak

2. Secara Eksternal

Caranya melalui sistem yang mendorong tidak merokok, dalam hal ini kawasan merokok yang dibatasi serta mengurangi jumlah rokok.

 

Untuk Anak Indonesia Sehat, Dukung Harga Rokok Mahal #Rokok50Ribu

 

Jika berbagai upaya untuk mencegah kebiasaan anak merokok telah dilakukan namun hasilnya kurang maksimal, saatnya menaikkan harga rokok setinggi-tingginya agar anak tidak bisa menjangkaunya. Dukung harga #Rokok50Ribu!

Rokok harga murah tak hanya merusak generasi penerus, tetapi membuat keluarga miskin tidak dapat memenuhi gizi anak-anak. Mereka lebih banyak menghabiskan uang untuk membeli rokok ketimbang membeli bahan makanan sehat untuk keluarga. Hal ini yang kemudian berpengaruh pada turunnya kecerdasan anak dan lebih-lebih dapat menyebabkan anak stunting.

Parahnya, pasien BPJS di Rumah Sakit, paling banyak menderita penyakit yang disebabkan oleh rokok, seperti kanker, stroke, diabetes, jantung, hipertensi, gangguan kehamilan dan janin, dan lain-lain.

Diakhir acara, masing-masing narasumber menyampaikan pesan singkat kepada pendengar dan peserta talkshow:

• Dr. Santi Martini

“Iklan Rokok jelas berpengaruh, kebijakan iklan rokok harus diperbaiki”

• Dr. Sophiati

“Organisasi Muhammadiyah berupaya mengedukasi masyarakat agar ‘Orang yang tidak merokok jangan merokok. Dan Orang yang merokok mulailah melakukan terapi untuk berhenti merokok”

• Lisda

“Harga Rokok lebih mahal daripada harga telur. Uang Rokok lebih baik dibelikan telur untuk mendukung kesehatan anak-anak”

Ibu Dr. Sophiati dan Ibu Moderator

Wow, diskusi tentang anak dan rokok berjalan sangat seru. Rasanya waktu 2 jam belum cukup untuk mengupas tuntas serial Rokok Harus Mahal tema Lindungi Anak Indonesia, Rokok Harus Mahal

Kesan saya mengikuti talkshow ini sangat bermanfaat. Acaranya yang disiarkan secara langsung membuat saya dapat melihat bagaimana tim radio dan narasumber berhubungan langsung dengan pendengar dan peserta yang ada di studio.

Nah, buat teman-teman yang ingin menyimak juga obrolan serial #RokokHarusMahal, jangan lewatkan tiap Hari Rabu mulai jam 9 pagi di radio jaringan KBR.

Teman-teman juga bisa mendengarkan melalui streaming di KBR.id /KBR apps. Atau tonton tayangan LIVE Facebook Kantor Berita Radio-KBR

Jika teman-teman mendukung Rokok Harus Mahal, silakan tandatangani petisinya di www.change.org/rokokharusmahal

You Might Also Like

2 Comments

  1. Enny Law

    setuju rokok harus mahal, biar org2 gak sembarangan ngerokok. Sebel sm org yg ngerokok sembarangan gk liat2 ada anak kecil main nyebul2 aja.

  2. Vicky Laurentina

    Rokok itu mau dibikin mahal akan tetap bikin orang mengejar rokok. Sebab yang mereka cari adalah kenyamanan psikologisnya akibat merokok. Jadi kalau mau menghentikan merokok, mindsetnya harus dibuat untuk tidak merasa nyaman jika sedang bersama rokok.

Leave a Reply