Perjalanan Santri Gontor menjadi Penulis

Santri Pondok Pesantren Modern

Cerita tentang Gontor selalu asik untuk disimak. Pondok pesantren modern ini sukses mengkolaborasikan pendidikan agama dengan ilmu umum, jadi nggak heran kalau untuk masuk ke sana persaingannya sangat ketat. Lalu bagaimana sih rasanya jadi santri Gontor?

Beberapa teman saya ada yang menjadi alumni Gontor. Rata-rata mereka orang kreatif dengan pemikiran yang serba kritis tapi juga sedikit gokil. Salah satunya adalah Ma’mun Affany.

Saya memanggilnya Ustad Ma’mun. Perkenalan kami berawal dari program belajar kepenulisan yang diselenggarakan oleh Yayasan Dana Sosial AlFalah (YDSF) saat masih di Jl. Bengawan 2 Surabaya.

Dan postingan kali ini bukan saya yang nulis, tapi tulisan Ustad Ma’mun yang ingin menceritakan perjalanannya menjadi seorang santri hingga menemukan passionnya jadi penulis. Disimak yaa!

**

Perjalanan Santri Gontor menjadi Penulis

Halo teman-teman, perkenalkan saya Ma’mun, pernah mengenyam Pendidikan selama enam tahun di pesantren modern. Selama nyantri banyak sekali sisi-sisi menarik yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya oleh masyarakat umum.

Saya nyantri di Pesantren Gontor Ponorogo. Pesantren ini memiliki karakter menyatukan pendidikan umum dan diniyyah (agama) dalam satu kelas. Sehingga ketika di luar ruangan, banyak aspek berkaitan dengan ekstrakurikuler yang dinikmati.

Nah kali ini saya akan bercerita mengenai bagaimana kegiatan ekstrakurikuler di pesantren justru menjadi penunjang karir saya sampai saat ini.

Jadi selain menjadi staf YDSF, Ustad Ma’mun juga penulis buku yang sukses lho. Uniknya, Ia menerbitkan bukunya secara indie, salah satu diantaranya sudah ada yang difilmkan. Judul yang pernah saya baca adalah Satu Jodoh Dua istikharah Begitulah, nulis-nulis sendiri, edit-edit sendiri, nyetak-nyetak sendiri, jual-jual sendiri, haha..

review-buku-satu-jodoh-dua-istikharah

Memilih Bakat sesuai Minat

Di pesantren terdapat banyak sekali pilihan ekstrakulikuler, dari yang berkaitan dengan seni seperti membuat kaligrafi, melukis, hingga yang berkaitan dengan olahraga seperti sepak bola, basket, dan lain sebagainya.

Uniknya santri dibebaskan memilih kegiatan sesuai minatnya. Di sinilah akhirnya saya menemukan passion sendiri menjadi penulis buku. Awalnya saya memilih ekstrakurikuler melukis, tapi ternyata bakat tidak berpihak pada saya. Ada semacam perasaan tidak cocok, gitu.

Dengan segala upaya, saya mencoba lagi mencari kegiatan yang sekiranya satu frekuensi dengan minat saya, yakni Bahasa. Belakangan saya malah terbawa arus pada kelompok penulisan, hehe..

Saya merasa enjoy di dunia tinta. Padahal tidak banyak anak di pesantren yang tertarik pada kegiatan kepenulisan. Dari 3500-an santri ketika itu, hanya 20-an orang saja yang melibatkan diri secara serius.

Menariknya, pesantren selalu memberi kami ruang dan teman untuk saling bersama-sama menghasilkan karya. Contoh nyatanya, pesantren memberikan peluang menyusun buku kecil atau majalah meski apa yang kami sajikan belum maksimal. Meski tidak bagus, tulisan-tulisan kami tetap dimuat.

Tapi lama-lama saya sadar, bahwa pesantren berusaha membentuk rasa percaya diri santri untuk berkarya. Menghargai jerih payah kami yang bekerja sampai larut, mengapresiasi segala apapun usaha kami. Yang paling membuat hati adem, dawuhnya kyai selalu memberi penguatan,

“Kalian harus berkarya! Dipuji sendiri, dibeli sendiri, dan dinikmati sendiri. Jangan minder!” kira-kira nasehat kyai kami sepert itu.

Sadar atau tidak, pola ini berhasil membuat santri menemukan passionnya secara natural. Bukan melalui paksaan! Bakat setiap santri keluar dengan sendirinya dan menuai banyak perkembangan pada minat.

Ah, jadi ingat dengan karya yang berjudul ‘Di Ujung Penantian’. Buku kecil yang saya tulis saat tinggal di pesantren. Buku yang membuat heran Ibu saya, kok bisa anaknya mondok malah jadi penulis!

Ma'mun Affany
Ma’mun Affany dan keluarga

Ajang Motivasi Belajar Santri

Ketika dinyatakan lulus dari pesantren, saya membawa pulang banyak sekali ilmu. Salah satu diantaranya passion yang telah berhasil dituangkan sekaligus menjadi bidang pekerjaan saya sampai saat ini.

Mulai dari menulis cerpen, menulis novel, hingga menjadi buku yang dicetak sampai puluhan ribu eksemplar. Karena latar belakang saya anak pesantren, maka cerita yang saya angkat seringnya berhubungan dengan cerita warna-warni kehidupan di pesantren. Ya gimana ya, soalnya dulu pisaunya sudah diasah di pesantren, jadi sekarang tinggal nebas aja, hehe.

Jujur, selama di pesantren, kemampuan menulis saya terus mengalami perkembangan. Apalagi sekarang dunia online sudah merebak, maka saya pun turut menyemarakkan dengan memelihara website PanduanTerbaik.id yang fokusnya tentang gambaran serta ulasan lembaga pendidikan di Indonesia.

Saya sadar tidak banyak lembaga pendidikan yang mampu menyajikan informasi dengan baik. Maka website tersebut saya buat sebagai rangkumannya. Agar maksimal, website tersebut dikelola oleh tiga penulis dengan latar belakang masing-masing.

Pesan pimpinan pesantren dulu, bahwa kita harus punya misi. Nah website itulah yang menjadi misi saya, yaitu membantu lembaga pendidikan agar makin tersyiarkan. Karena seriuh apapun politik, segemerlap apapun selebritas, masyarakat kita harus dibangun melalui pendidikan. Begitupun, saya menulisnya dengan keahlian dari pesantren, dan menekuninya dengan misi yang diajarkan pesantren.

Wah menarik sekali ya ulasan Perjalanan Santri Gontor menjadi Penulis dari Ustad Ma’mun ini. Jadi tau deh bagaimana pola didik santri di pesantren modern. Seandainya bisa ngulang sekolah, saya mau lah jadi anak pondokan sekaligus mengabadikannya dalam sebuah buku non fiksi, hehe

You Might Also Like

One Comment

  1. noe2l

    Menarik, nih… pengalaman anak Gontor mencari dan menelusuri minat sendiri hingga mengembangkan minat.

    Selamat berkarya!

Leave a Reply