Meneladani semangat pahlawan melalui novel Sang Patriot
Judul Buku : Sang Patriot, Sebuah Epos Kepahlawanan
Penulis : Irma Devita
ISBN : 978-602-14969-0-9
Penerbit : Inti Dinamika Publisher
Penyunting : Agus Hadiyono
Desain cover : WinduUKMJem
Cetakan pertama: Februari 2014
Tebal : 280 Halaman
Ukuran: 20,5 cm
Sesosok jasad terbujur kaku dimeja yang sengaja diletakkan di pelataran Musholla. Terbaring dalam hening. Tampak agung walau tersungkur bergenang darah mengering dari luka menganga di wajah yang bola matanya raib tercerabut tempatnya…. Tubuh berperawakan sedang namun berisi itu menjadi saksi bisu kekejaman tangan-tangan yang pernah mendera, penuh lubang peluru dan cabikan bayonet.
Tulang kepala berambut ikalnya retak, terdera popor senapan. Satu… dua… tiga… jari-jari tangan sang jasad tak lagi lengkap, hilang sebagian. Jari-jari itu biasanya lincah memetik ukulele, melantunkan nada merdu.
Ketika memegang buku ini yang saya lakukan pertama kali adalah menikmati cover punggung sesosok prajurit. Warna merah yang mendasari judul pun tak luput dari pandangan yang serupa.. entah darah entah bara dihiasi pemandangan porak poranda sebuah kota yang hancur akibat peperangan.
Api dan besi tak akan menyurutkan langkahku
Derita dan luka tak akan mematahkan semangatku
Demi bangsa ini!
Sebait puisi yang dirangkai latin gandeng semakin menyiratkan bahwa novel yang saya baca bukanlah novel biasa. Ada semangat, pengorbanan dan kecintaan yang tersirat didalamnya. Pantaslah kalau buku ini diberi judul Sang Patriot, Sebuah Epos Kepahlawanan.
Sosok pejuang yang digambarkan dalam cover secara reflek mengingatkan saya akan sebuah film lama yang pernah saya tonton waktu kecil berjudul Pasukan Berani Mati yang dibintangi oleh Barry Prima, Roy Marten dan Eva Arnaz. Film ini mengangkat cerita para pejuang melawan kekejian penjajah. Sama seperti novel yang saya saat itu tengah saya pegang, setting waktunya kisaran tahun 1940-an dimana saat itu Indonesia mengalami pasang surut: penjajah datang silih berganti, kondisi ekonomi carut marut, sistem pemerintahan tidak stabil serta ketidak jelasan nasib rakyat ditangan penjajah. Satu sekuel yang masih saya ingat dalam film itu adalah ketika Belanda dengan kejamnya mencabut kuku seorang kyai dengan semena-mena. Serupa dengan isi novel itu dimana Belanda juga memperlakukan pejuang kita dengan sama kejamnya.
Novel Sang Patriot ditulis oleh seorang praktisi hukum, Irma Devita. Dalam catatan sekapur sirih pada bab pembuka novel, secara tersurat, Irma Devita mengaku sebagai cucu Letkol. Mochammad Sroedji, sang tokoh utama dalam novel yang dibuatnya. Berpegang pada janji yang dibuatnya sendiri dihadapan sang nenek, Irma Devita akhirnya memenuhinya dengan menulis kisah perjalanan kedua orang tersayang dalam sebuah buku. Meski cerita yang diangkat dalam novel merupakan kisah nyata, Irma sukses merangkai dalam bahasa novel apik plus deskripsi cerita yang mendetail sehingga mempermudah pembaca dalam memahami kisah epos kepahlawanan.
Sungguh sulit menuliskan kejadian yang kita sendiri tidak mengalaminya. Apalagi setting waktunya berhubungan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia (1942-1949). Salah menulis waktu kejadian dan nama tokoh saja bisa fatal akibatnya sebab menulis novel sejarah yang berdasar kisah nyata diperlukan riset mendalam dan otentik. Berbeda dengan novel fiksi biasa yang hanya diperlukan nalar sesaat. Sebagai cucu yang mendengar langsung dari pelaku sejarah, penulis begitu pintar menekan emosi sehingga liuk-liuk bahasa yang digunakan tak terdengar serampangan dan menggebu-gebu. Begitupula alur yang digunakan, maju-mundur, seakan saya selalu berada di samping Rukmini dan Sroedji. Narasi yang panjangpun menjadikan pembaca lebih paham situasi saat itu.
Cerita diawali dengan Legenda Calon Arang di kampung Kauman, Gurah, Kediri sebagai tempat tinggal Hasan dan Amni yang tak lain adalah orangtua Sroedji. Hasan dan Amni adalah pasangan dari Bangkalan yang mengadu nasib ke Kediri. Diawal kisah alurnya sedikit lambat karena sepertinya penulis ingin mengulik biografi dengan menampilkan latar belakang keluarga dan pendidikan sang tokoh. Dan sekelumit legenda itu menampakkan bahwa penulis seorang yang berpengetahuan luas.
Lembar demi lembar selanjtnya pembaca diajak merangkai puzzle hingga Sroedji sukses meminang kekasih hatinya bernama Rukmini. Kala itu Sroedji adalah seorang Mantri Malaria dan Rukmini hanyalah wanita pendamba gelar Meester in de Rechten, sebuah gelar ahli hukum. Meski kala itu mengenyam pendidikan adalah mustahil bagi rakyat jelata, namun karena niat dan tekat yang besar akhirnya Sroedji berhasil masuk HIS (Hollands Indische School) yang tak lain sekolah khusus golongan priyayi dan Ambactsleergang (Sekolah Tehnik) sedangkan Rukmini lulusan sekolah keputrian Van De Venter. Berbeda dengan Sroedji, nasib Rukmini lebih baik karena Ia lahir dari keluarga yang berkecukupan dan terpandang. Perbedaan ‘kasta’ semakin melengkapi kekurangan pribadi masing-masing.
Kependudukan penjajah di Indonesia yang tak ada habisnya membuat Sroedji bertekat ingin merebut bumi Indonesia kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Setelah Belanda dipukul mundur oleh Jepang, Sroedji menggabungkan diri menjadi kadet PETA (Pembela Tanah Air) yang digembleng secara militer oleh Taibatsu, Kopral Pelatih Jepang.
Sroedji yang sebelumnya aktif di gerakan kepanduan Hizbul Wathan akhirnya tercatat sebagai Chuudanchoo yakni Perwira Menengah PETA. Dari sinilah kemudian kehidupan rumah tangga Sroedji dan Rukmini mengalami banyak tempaan.
“Pak, ikuti kata hatimu. Sudah jadi tekadmu menjadi pembela tanah air. Jangan khawatirkan Cuk, Pom atau aku. Kami tidak pernah sendirian. Allah selalu beserta kita, Pak. Aku ikhlas.”(Hal. 46)
Rukmini adalah wanita tangguh dan sabar. Kecintaannya kepada Suami dan anak-anaknya membuat Rukmini harus tabah menjalani kehidupan. Selama ditinggal Sroedji bertugas Rukmini harus menjadi Ibu sekaligus Ayah bagi anak-anaknya. Sroedji yang kemudian menjadi Komandan Daidan kerap meninggalkan Rukmini serta anak-anaknya.
Pasangan suami istri merupakan dua orang dalam satu jiwa. Perpisahan karena kematian hanyalah bersifat sementara. Suatu saat, suami istri yang saling setia akan berkumpul lagi di surga. (sekapur sirih ix)
Ada banyak pelajaran yang saya ambil dari buku Sang Patroit ini. Saya seolah disentil akan nilai Patriotisme dan semangat kebangsaan yang sedikit demi sedikit luntur karena bertumpuknya sejarah yang tidak secara detail saya pelajari. Usai membaca novel ini saya tergugah ternyata sebuah buku sejarah jika ditulis dengan bahasa fiksi lebih nyaman dimengerti ketimbang dengan bahasa diktat.
Terus terang nama Letkol Moch. Sroedji baru pertama saya ketahui di buku ini. Tidak seperti Pahlawan sesudah kemerdekaan lainnya yang namanya sering disebut-sebut di buku sejarah, bahkan gambarnya dipampang di ruangan kelas. Begitu membaca bagaimana Sroedji berjuang membela tanah air saya tersadar rupanya ada banyak Sroedji-sroedji lain di bumi Indonesia yang telah gugur di medan perang dan kemudian tak dikenal hingga detik ini.
Dalam buku ini kisah yang diceritakan tak melulu tentang epos, peperangan, baku tembak, tetapi juga cinta, kasih sayang, romantisme, persahabatan, dan pengorbanan. Sambil menikmati alunan kisah cinta antara Sroedji dan Rukmini saya pun jadi tau sejarah berdirinya PETA, bagaimana Partai Komunis kemudian bercokol di bumi Indonesia, mengapa kemudian nama Dr. Soebadhi dijadikan nama rumah sakit dan kronologi-kronologi lain di Indonesia yang hingga sekarang dijadikan rujukan referensi sejarah . Banyak sisi kehidupan Pahlawan yang tak sengaja terpotret dalam buku ini. Meski secara garis besar mengangkat tokoh Letkol. Sroedji, namun penulis tetap menyajikannya secara berimbang.
Buku Sang Patriot ini tidak hanya menjadi koleksi bacaan sastra tetapi juga sebagai pemantik semangat nasionalisme generasi muda agar selalu mengenang jasa-jasa para Pahlawannya. Bagi yang sedang membutuhkan referensi, buku ini sangat saya rekomendasikan sekali.
Membaca buku ini emosi saya serasa di aduk-aduk. Ada sedih, haru, tergelitik, sampai akhirnya mata berkaca-kaca. Terutama saat membaca nasib Sroedji di akhir masa hayatnya dan kesedihan Rukmini yang kehilangan kekasih hatinya.
Selama membaca buku ini nyaris saya tak menemukan kesalahan huruf. Hanya saja saya sempat menemukan penulisan yang tak sesuai.
1. Hal. 47 Paragraf 3
Diawal tertulis Koran Djawa Baroe dibaris selanjutnya menjadi “majalah” Djawa Baroe
2. Hal. 81 Paragraf terbawah
Di sana tertulis Mayor Sroedji bersama Pasukan Alap-alap berencana melancarkan serangan balasan terhadap “konvoi Belanda” yang akan menyeberangi kali Brantas. Ia rancang dengan cermat rangkaian bom dibawah jembatan. Siap diledakkannya bom itu setiap saat jika posisi “tank-tank Inggris” tepat benar ditengah jembatan.
3. Hal 174 Paragraf 1
Mulanya paragraf ini menceritakan situasi pagi di kota Malang, namun diakhir paragaraf yang tertulis: Jember yang masih dilingkupi musim penghujan terasa sejuk.
Jika dalam novel saya menemukan banyak dialog berbahasa Jawa Timuran itu maklum karena memang buku ini sebagian besar bersetting di Jawa Timur. Tapi jangan khawatir, penulis selalu memberikan penjelasan dalam bahasa Indonesia agar pembaca tak perlu dibuat ‘roaming. Namun yang agak disayangkan, ada beberapa kalimat berbahasa asing yang tidak saya mengerti dan tidak disertai penjelasan sehingga menganggu keasyikan saya saat membaca. Meski begitu penulis tetap melengkapinya dengan daftar istilah dibelakang buku.
Kesimpulan setelah membaca buku ini adalah saya cukup terapresiasi. Karena buku inilah saya jadi mengetahui sejarah dan situasi sebelum/sesudah jaman kemerdekaan. Begitupula dengan gaya bahasa yang ringan dan menarik semakin membuat saya kagum, biar bagaimana menulis cerita sejarah yang dibalut bahasa novel itu sangat sulit. Buat adik-adik dan para generasi penerus ayo tanamkan semangat kepahlawanan sejak dini, salah satunya adalah dengan membaca buku Sang Patriot ini..
Belalang Cerewet
Joss markojoss Mbak Yun. saya malah pengen novel ini lebih tebal ya. Moga2 ada lanjutannya. Sukses Bu Risma, eh, Mbak Yuni! 😀
nunu
Novel penuh semangat perjuangan
Lidya
jadi banyak tahu tentang sejarah ya mbak. Good luck ya mbak yuni
Cheila
semangat perjuangannya menular yo mbak…
sukses deh yaaa :*
Joe Ismail
layak sekali anak-anak sekolah diwajibkan membaca novel seperti ini untuk menumbuhkan kembali semangat patriotisme dan cinta tanah air
Imam Sujaswanto
Reviewnya ciamik Mak. Kayaknya menjadi kandidat pemenang ini. Berdo’a ya mak, semoga berjaya nantinya. Senang mengenal Sroedji. Terima kasih.
Irma Devita
Keren tulisannya mbak.. Nanti kalau ada waktu datang lagi ya di acara diskusi novel di Tugu Pahlawan Surabaya tanggal 15 Juni mendatang 🙂 Terima kasih atas reviewnya dan Salam hangat dari kami 🙂
RZ Hakim
Mbak Yuni, terima kasih atas partisipasinya 🙂