Rampak Bedug meriahkan Persamuhan Nasional Pembakti Kampung di Anyer
“Dung Dung Tek, Dung Tek..
Dung Dung Tek, Dung Tek..”
Di luar kesadaran, tangan saya bergoyang mengikuti alunan Rampak Bedug yang memeriahkan kegiatan Persamuhan Nasional Pembakti Kampung di Anyer. Sebanyak 440 orang santri kompak memainkan bedug hingga menghasilkan irama yang membuat ratusan manusia terhenyak menikmati suasana.
Di antara 99 bedug, terdapat kain merah putih 200 meter yang tergelar di sepanjang dermaga. Bendera raksasa itu terbentang di sekitar mercusuar Anyer dan bergerak-gerak tertiup kencangnya angin laut.
Suasana makin memukau ketika drummer Indonesia Gilang Ramadan membius pengunjung dengan hentakan sticknya diiringi gerakan tari kontemporer. Mbok-mbok penjual krupuk pun dilibatkan dalam tampilan ini.
Sialnya saya baru menyadari kehadiran seorang Gilang Ramadan di sana. Meski rambut putihnya tampak dominan, sisa-sisa kegantengannya masih seperti kala menyanyi lagu Selamat Tinggal dambaan anak galau 90-an. Saat itu saya masih SD, namun penggalan liriknya hapal di luar kepala, hehe.
Kehadiran musisi terbaik negeri ini di tengah masyarakat merupakan bagian dari penyambutan Pemerintah Daerah Kabupaten Serang atas kehadiran komunitas dan jejaring kampung dari 34 provinsi di Indonesia yang sedang mengikuti acara Persamuhan Nasional 2019 Pembakti Desa di Anyer, Banten, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Persamuhan Nasional Pembakti Desa 2019
Acara persamuhan Nasional Pembakti Desa 2019 yang saya ikuti selama 5 hari cukup menguras energi kebahagiaan. Beragam silang cerita dari seluruh penjuru tanah air menemani hari-hari saya dengan penuh kebanggaan.
Sebanyak 340 pembakti kampung dari seluruh Indonesia bersatu saling mengkarabkan diri. Tidak sekedar bertanya nama dan daerah asal, obrolan kami mengalir hingga mengupas budaya kampung yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya.
Membicarakan kehidupan orang kampung itu seperti menyingkap butiran mutiara di tengah lautan. Rasanya ingin saya gapai segala keindahannya.
Sebelumnya saya dan mereka tidak saling kenal, kunci keakraban kami hanya terletak pada persamaan penyampaian kalimat salam yaitu, SALAM PANCASILA!
Dengan Salam Pancasila, kami dipupuk menjadi seorang relawan yang enteng laku. Saling menghormati, gotong royong, dan menjadi pribadi yang pandai berpikir, bertindak, dan bekerja. Hal yang sudah lama tenggelam dari permukaan budaya Indonesia.
Para Pembakti Kampung adalah orang-orang yang dengan semangat gotong royong membangun desa melalui tindakan nyata. Selain acara persamuhan, kami juga mengadakan upacara bendera peringatan Hari Sumpah Pemuda di tepi pantai.
Bertemu teman Maluku
Bus yang membawa saya ke Anyer dari Bandara Soekarno Hatta tiba pukul 6 sore. Walaupun rombongan bus itu sebagian besar dari Jawa Timur, namun tak satupun dari mereka teman yang saya kenal sebelumnya. Oke, baiklah. Tidak masalah.
Belakangan saya mengetahui bahwa apa yang saya alami ternyata bukan kebetulan. Panitia sengaja membentuk pribadi kita lebih mandiri, nyari teman sendiri, termasuk tidak boleh sekamar dengan orang sedaerah!
Usai registrasi saya mendapat kunci kamar nomor 3331 dan tinggal bersama kakak Grace dari Maluku. Waah, tak disangka teman saya dari Indonesia Timur!
Kakak Grace orangnya menyenangkan. Beberapa kali saya diajari bahasa gaul Maluku. Saat jam makan pun, saya dikenalkan dengan teman-teman seMalukunya. ASIK, sih!
Entah orang Maluku memang gampang mengakrabkan diri atau pintar berteman, beberapa kali diwaktu senggang, saya dan teman-teman duduk semeja dan bercerita panjang kehidupan daerah kami masing-masing.
“Orang Maluku kalau sapaannya keras (sambil teriak), artinya mereka sedang senang. Sebaliknya, kalau nada suaranya pelan, bisa jadi di antara kalian sedang terjadi sesuatu” ucap Mark.
Obrolan gayeng penuh canda itu membuat satu persatu dari kami mengenalkan sapaan daerah masing-masing. Saya pikir apa yang Kak Mark sampaikan tak berbeda dengan karakter Arek Jawa Timur terutama sapaan Boso Suroboyoan. Bagaimana kita menyapa dengan bahasa khas yang terdengarnya keras, namun itu berupa sapaan keakraban. Seperti ini, “Cuk, tekan endi ae awakmu. Suwe gak ketok prejenganmu” (Cuk, dari mana saja kamu, lama gak melihat mukamu) 😀
Lepas dari Maluku, saya juga ngobrol dengan teman dari Aceh, Bengkulu, Kalimantan, dan lain sebagainya. Yang pasti, setiap kampung memiliki kekhasan budaya yang indah untuk diungkap.
Rampak Bedug satukan Indonesia
Dari sekian rangkaian kegiatan, yang paling menggairahkan dari semuanya ketika rampak bedug kompak mengiringi kami bernyanyi lagu-lagu daerah. Semua orang tertawa dan larut dalam nasionalismenya masing-masing.
Seumur hidup baru kali ini saya dipersatukan dengan saudara-saudara di negeri ini dalam satu tempat tanpa mengenal perbedaan. Saat-saat inilah saya semakin menyadari bahwa apapun suku, budaya, bahasa, agama, kita sebenarnya SATU.
Serunya lagi, peserta pembakti kampung banyak yang pintar menari daerah. Ketika suara bedug mulai mengalun, mereka antusias naik ke panggung dan menggerakkan tubuhnya. Sisanya saling memberi semangat dengan menabuh Jimbe (bedug mini).
Tentang Rampak Bedug
Rampak bedug merupakan kesenian tradisional dari Pandeglang, Banten. Disebut rampak karena beberapa bedug ditabuh bersama-sama secara kompak hingga menghasilkan irama yang enak didengar.
Umumnya bedug yang kita kenal berada di masjid dan digunakan sebagai penanda waktu sholat. Namun di Banten, bedug digunakan sebagai kesenian terutama dibunyikan pada bulan ramadhan.
Di Jawa, bedug kerap digunakan oleh warga kampung sebagai alat untuk menghidupkan malam takbir menjelang hari raya. Ketika suara bedug berbunyi, suasana kampung seketika hidup dan meriah.
Biasanya seni rampak bedug digunakan untuk mengiringi bacaan spiritual seperti sholawat. Persis seperti yang saya lihat saat acara Persamuhan Nasional Pembakti Kampung di Anyer kemarin, kesenian ini mengiringi sholawat, marhaban, dan pembacaan Asmaul Husna yang ditutup dengan doa dan sholat maghrib bersama di dermaga.
Rampak Bedug yang memeriahkan Persamuhan Nasional Pembakti Kampung di Anyer merupakan bagian membangun desa melalui budaya. Ingin kampungmu maju, yuk terapkan nilai-nilai Pancasila di masyarakat dan ciptakan semangat gotong royong. Salam Pancasila!
MT
Fotonya keren-keren! Aku pun waktu melihat ananak Ambon Manise tiba terkejut senang. Wah, bayangkan 15 orang konco Ambon reuni di Anyer dan sekamar dengan salah seorang dari mereka.
Bersyukur juga bisa berkenalan dg manteman daerah lainnya. Terutama ananak Madura yang memiliki keterikatan sejarah dalam pergulatan hidupku.
vika
Rampak Bedugnya memang asyik ya mba, bikin kaki dan tangan ga tahan diam berlama-lama. Apalagi pas malam terahkir di ballroom
Lasmicika
Seru banget acaranya. Pasti menyenangkan bertemu dengan teman-teman baru yang satu frekuensi, hehe…
Selalu tertarik dengan budaya nusantara.
Athri Kasih
Rampak Bedug favorit, kayanya bakal seru kalau Festivalnya direalisasikan, aku siap diundang lagi! eh salah kamar ya aku wkwkkwk senang berkenalan mbak Yuniiii.
Reh Atemalem
Fotomu bagus-bagus banget lho Mba. Laf!
Masih berasa lho senengnya ketemu temen-temen dari kampung se-nusantara.
Hepiii, apalagi pas joget rame-rame. 😀