Kisah Pengalaman Horor di suatu Gedung di Surabaya

Kisah Pengalaman Horor di suatu Gedung di Surabaya. Setelah membaca kisah horornya mbak Nining di postingan blognya yang berjudul Diganggu Hantu di Hutan, obrolan di grup WA blogger mendadak semarak dengan satu sama lain berkisah tentang pengalaman-pengalaman pribadi saat bertemu makhluk astral.

Lucunya, semakin terus dibahas, semua heboh bilang takut. Takut, tapi kok ceritanya justru semakin medheni.. Mbuh, tah, karepe arek-arek iku opo lak ngunu. Wedi, tapi cerita terus. haha.

Bagi saya cerita seram hantu-hantuan gak asik kalau di bahas lewat chattingan. Gak dapat gregetnya. Perasaan takut saya gak mau muncul kalau sekedar baca tulisan datar tanpa diimbangi suara aneh dan intonasi sewajarnya cerita hantu.

Cerita hantu tidak akan menakutkan selama tidak tau muasalnya. Seseram apapun tempatnya kalau tidak ada yang ngasih tau bangunan atau lokasi tersebut ada hantunya saya tidak takut.

Sebaliknya, tempat tidak seram, tapi kalau dikasih tau duluan ada penampakan tertentu walaupun secara guyon, saya merinding juga. Image yang ada di kepala saya bayanginnya sudah seram-seram. Dan saya yakin semakin saya ketakutan, bisa jadi akan ada makhluk ghaib yang menampakkan diri beneran. Kalau sudah begitu, gak salah setannya, salah saya sendiri kenapa memikirkan hil-hil yang mustahal, haha.

Kisah Pengalaman Horor di suatu Gedung di Surabaya

Ada kejadian seru..

Suatu ketika saya berada di sebuah gedung pertemuan buesar di Surabaya. Lokasinya di tengah kota. Saya tak usah sebut merk, bayangkan saja di dalam hati, ya.

Selain tidak takut cerita seram dari media chatting, saya orangnya suka penasaran terhadap sesuatu. Saking Keponya saya kerap menanyakan serentetan pertanyaan kepada Pak Satpam penjaga gedung. Kayak gini:

“Pak, kalau tidak ada acara, gedungnya kan gelap, Bapak tetap jaga di sini? Bapak tidak takut gelap-gelapan? Apakah bapak pernah ketemu hantu ketika ronda malam?”

Jawaban Pak Satpam sesuai dugaan saya. Sudah biasa ketemu hantu. Untuk membuktikan kepada saya, si bapak menyuruh saya ke parkiran kendaraan di lantai paling atas untuk melihat kondisi gedung ketika sepi.

Penasaran Keseraman gedung Parkiran

Karena siang bolong, saya dan Aya nekat berencana ke sana. Hanya rencana, maju mundur antara iya, apa tidak. Hari terang begini, mana ada hantu mau lewat.

Ketika mau sholat, saya dan Aya masuk lift menuju ke Musholla. Di dalam lift kami heboh melaksanakan rencana tersebut. Tapi akhirnya kami batalkan, dari pada terjadi yang tidak-tidak.

Dan nggak tau kenapa, lantai Musholla yang seharusnya kami tuju, tidak berhenti. Liftnya malah terus naik ke atas dengan sendirinya, lalu berhenti di lantai parkiran yang dimaksud Pak Satpam.

Dieng! Saya dan Aya pandang-pandangan. Dalam diam kami saling menyalahkan siapa diantara kami yang sudah sengaja memencet tombol naik ke atas.

Karena sudah kadung, ya sudahlah kami ikut naik. Ketika lift terbuka, di sana tidak ada siapa-siapa. Gelap, sepi. Suasana parkiran melompong. Setelah melihat sekeliling sejenak, saya dan Aya buru-buru kembali masuk ke dalam lift dan segera memencet tombol turun. Selama menanti lift tertutup rasanya seperti seabad. Kami kapok, nggak mau naik lagi.

Berawal dari Pikiran Kosong

Acara yang saya bersama Aya ikuti selesai sampai malam. 2 hari menjadi panitia audisi, pada hari terakhir menyisakan 50 finalis. Kalau ditotal keseluruhan saat itu mungkin total ada 100 orang yang ada di dalam gedung yang super besar tersebut.

Hingga jam 10 malam, sebelum acara bubar, kami semua dipersilakan makan. Ketika antri mengambil makanan, di depan saya ada mbak-mbak salah satu finalis. Entah kecapekan, atau pusing, si mbak finalis tiba-tiba jatuh telentang sambil menangis.

Saya yang berada di belakangnya reflek memegangi. Baru kemudian dibantu teman-teman perempuan yang lain. Untungnya di sana ada suaminya mbak Nining yang seorang dokter datang ingin menjemput istrinya.

Oleh Pak dokter, si mbak diberikan pertolongan pertama. Saya yang sedang jongkok di samping mbaknya memberikan pijatan ala kadarnya. Saya pijat aja telapak tangannya, sela-sela antara jempol dan jari telunjuk. Segala macam minyak angin diberikan kepada si mbak agar segera baikan.

“Mbak, bangun, Mbak.. makan dulu, mbak” kata saya. Gelagat si mbaknya mulai tidak jelas. Pak dokter bergumam pelan yang kurang lebih begini, “Ini bukan pingsan, ini. Mbaknya kenapa-napa, ini..”

Kata ‘Kenapa-napa’ yang diucapkan Pak dokter membuat saya otomatis merinding.

Kena Marah Nenek Penjaga Gedung

Tanpa diduga, suara si mbak yang tadinya menangis, berubah menjadi tertawa cekikik yang melolong tinggi. “Kikikiki…. kikiki… kikiki…” tafsirkan sendiri lah ya kayak apa. Makin lama, suaranya agak berat dan kuping saya mendengar sendiri persis suara nenek-nenek tertawa.

Bayangkan hampir jam sebelas malam, ada suara begituan. 100 orang itu banyak, tapi kalau berada di ruangan yang muat ribuan orang, jadinya terlihat segelintir saja. Apalagi di ruangan lain lampunya sebagian dimatikan.

Awalnya saya pikir ada teman yang memainkan suara kuntilanak seperti yang ada di tivi-tivi sebagai bahan candaan.

Semakin lama, suara cekikikan itu makin kencang. Semua orang yang ada di sana makin was-was. Sebagian panitia ada yang kasak kusuk memanggil orang pintar. Pak dokter yang sedang berusaha akhirnya bicara, “Assalamu Alaikum, Mbah. Jenengan sinten? Tolong jangan di sini, Mbah. Pergi, Mbah!”

Pada tahap ini saya langsung menghindar agak menjauh. Tapi banyak teman yang mengerubung berusaha memberikan bantuan. Baru kali ini saya melihat langsung makhluk tidak kelihatan masuk dalam diri manusia.

“Ngapunten, Mbah, jangan di sini. Orang ini tidak salah apa-apa. Tolong mbah pergi, ya” kata Pak dokter.

Si Mbah terdiam. Tapi diamnya si Mbah menakutkan. Tak lama kemudian dia berkata dengan nada protes, “Kowe rame karepe dewe nang kene. Iki omahku. Gak nuwun sewu!” (Kalian ramai di sini. Ini rumahku. Mengapa tidak minta ijin). Logatnya persis perempuan Jawa tulen. Penekanan suaranya medhok.

Akhirnya kami paham. Keberadaan kami telah mengganggu ketenangan si mbah. Tapi dalam hati kecil saya sempat tidak percaya. Hantu kok bisa ngomong panjang seperti ini.

“Nyuwun ngapunten, Mbah, kalau ramai. Tapi tolong, Mbah keluar dari orang ini, ya”

“Emoh!” (Tidak mau!). Terdengar suara si Mbah marah.

Hayyah, suasana makin ngeri. Saya makin deg-degan. Kalau mau jahat saya bisa aja berlari keluar gedung menyelamatkan diri. Ini soal hidup dan mati.

Bersama Pak dokter, kami semua meminta maaf kepada si mbah (saya lupa namanya, si mbah sempat menyebutkan nama). Kami berlagak seperti cucu yang bersalah dan meminta maaf banget. Belakangan saya tau, Pak dokter suaminya mbak Nining tidak hanya bisa menyembuhkan orang sakit, tapi juga bisa merasakan kedatangan ‘tamu tak terduga’.

Selama hampir setengah jam, kami melakukan negosiasi agar si Mbah mau pergi.

“Ojok diterusno maneh” (Jangan rame-rame lagi) Akhirnya si mbah mau pergi, setelah sebelumnya bersikukuh keluar dari raga mbak finalis.

“Inggih, Mbaah..” teriak teman-teman bersama-sama.

“Wes, aku ngalih” (Sudah, ya, saya pergi). Pamit si Mbah, yang diiringi aura kelegaan. Kami ingin tertawa, tapi suasana masih mencekam. Lamat-lamat mulai terasa mencair.

Bersamaan dengan kepergian si Mbah, Mbak finalis langsung berteriak kencang sambil menangis lagi.

Saya bersama panitia akhirnya berinisiatif mengantarkan mbaknya pulang ke rumah dengan taksi. Lebih baik mbaknya segera ‘diasingkan’.

Di perjalanan, mbaknya sudah lumayan sadar, walaupun masih tampak lemas. Dia bertanya saya, “Mbak tadi saya kenapa?”

Demi kenyamanan, saya tidak cerita banyak. Saya hanya bilang, “Tadi mbaknya pingsan.”. Saya tau mbaknya masih curiga, tapi saya ajak dia ngobrol dengan hal-hal santai. Saya menduga, si mbak finalis ini karena lelah, lapar, membuat pikirannya jadi kosong.

Kejadian tahun 2015 itu sudah berlalu. Wajah dan mbak finalis sudah hilang dari ingatan saya. Namun suasana suram ruangan gedung malam itu dan lengkingan tawa si mbah masih terus nempel di kepala saya, dan juga teman-teman. Sejak saat itu saya makin percaya bahwa makhluk ghaib ada di mana saja. Pesan moralnya, jaga sikap di manapun kita berada agar tidak menganggu ketenangan siapapun 🙂

You Might Also Like

5 Comments

  1. Ika Maya Susanti

    Katanya sih Mbak, makhluk itu kalo dirasani, dibatin, yo kerasa. Dan pertanyaanku adalah… sampean pas nulis iki aman-aman aja ta Mbak? Nggak ada yang ‘ngusilin’ ? 😁

  2. nyonyakece

    Serem -_- pas baca, lampu njeglek.. Sempurna!!
    Medeni iki timbang pas di WAG 😹😹

  3. Heizyi

    untung bacanya bukan tengah malam jumat, bisa-bisa bayangin yang enggak-enggak dan parno sendiri mbak 🙂 hahahaha… serem euy

  4. Nining

    “Jaga sikap …” sek inget ya kalo sebelum kejadian itu kita ketawa2 gaje :))))

    mamulo toooh, akupun baru itu liat orang kesurupan. Serem jg tryta, seperti di acara tipi2.

    Btw brarti tu gedung emg rada2 spooky ya mbak, kalo liat penuturan pak satpamnya huhuhu.

  5. nusa penida tours

    buset serem juga ya dapet pengalaman kaya begitu. untung saya ga pernah. jangan pernah deh serem. hhe

Leave a Reply