Cerita Yuni

[Curhat Parkiran] Tulisannya BEBAS PARKIR, Kok masih ditagih bayaran?

[Curhat Parkiran] Tulisannya BEBAS PARKIR, Kok masih ditagih bayaran?

Akhir tahun 2018 saya pernah info ke teman-teman, tarif parkir Royal Plasa Rp. 5000

Naik 1000 rupiah!

Mahal? Jelas. Tarif parkir yang ditetapkan Pemerintah Kota Surabaya untuk kendaraan roda 2 masih Rp. 2000.

Iya, saya maklum. Pajak Parkir Mall mahal. Bangun lahannya pakai modal. Jadi mereka bisa menaikkan tarif dari yang 3000 menjadi 4000, hingga kemudian 5000. Untungnya (wong Jowo itu selalu merasa beruntung) tarifnya dihitung flat.

Ada lho gedung parkir di Surabaya menghitung tarif parkir jam-jaman. Kalau sudah begini mending saya gak bawa motor, meskipun mereka menetapkan tarif parkir maksimal. Setidaknya aman, 10 jam di dalam gedung kenanya tidak sampai 50 ribu. Kalau tidak salah sekitar 15 ribu, lah.

Dan saya merasa beruntung (lagi) tinggal di Surabaya. Saya pernah masuk Mall di kawasan Kuningan Jakarta, tarifnya 5000 per jam. Itupun tidak ada Tarif Maksimal!

Bayangkan orang Jakarta ngeMall selama 5 jam. Habis deh 25 ribu hanya buat bayar parkir dowang.

Tapi saya merasa tukang parkir sekarang asal-asalan menentukan tarif parkir. Asal ada usaha rame dikit aja pemilik kendaraan sudah dimintai uang. Padahal jelas-jelas temboknya ada tulisan besar BEBAS PARKIR.

Sebalnya lagi banyak tukang parkir ‘malas’. Ketika ada orang markir kendaraan, dia gak ada. Begitunya mau keluarin motor, tau-tau ada suara “Priiiitttttt” alias teriakan tukang parkir yang nagih tarif

Hanya bisa geleng, ini hanya warung bakso pinggir jalanan yang sempit, masa sudah dipalak parkir. Harga baksonya aja seporsi 6000, bayar parkirnya sendiri 2000.

Saya pernah protes dengan tukang parkir di Apotik. Kasusnya sama seperti di warung bakso. Beberapa kali saya cuek. Gak pakai diminta, tiap mau keluar parkir saya langsung kasih uangnya.

Suatu ketika saya parkir sembarangan. Siapa tau tukang parkirnya bertindak membenarkan letak motor saya. Hanya parkiran apotik. Tinggal ngelurusin pantatnya beres. Dan lagi kondisi parkiran penuh. Ditambah ada area lahan yang naik. Kondisi sempit, naik, itu usaha banget bisa naruh motor yang pas.

Gak lama saya tinggal, tukang parkirnya manggil saya sambil teriak. “Mbaak, kalau parkir jangan di situ!”

Dalam hati saya, lho, ada orangnya (tukang parkir). Kirain gak ada yang jaga.

Saya bilang, “Makanya, Pak, kalau jaga parkir itu jangan ngilang. Ada orang parkir dibiarin, giliran mau keluar suruh bayar!”

Urusan sama tukang parkir rumit. Tapi banyak juga tukang parkir yang super baik. Mereka rela hati membantu mengeluarkan motor saya sampai di jalan dengan posisi siap jalan.

Kalau ketemu tukang parkir yang begini rasanya ngucapkan kata matur nuwun sekali belum cukup. Kalau masih muda tak rekomendasikan jadi menantu, deh, itu!

Tapi ada juga tukang parkir yang masabodoh melihat ibu-ibu susah payah ngeluarin motor yang posisinya terjepit. Boro-boro dibantu, dimintai tolong kadang wajahnya senewen.

Saya pernah banget parkir motor di Restoran Cepat Saji.

Waktu saya datang naruh kendaraan, yang jaga nggak ada seorangpun. Sampai saya ninggalin parkiran, masuk ke dalam resto, sama sekali gak disamperin tukang parkir.

Pada saat keluar parkir, tangan saya sudah menggenggam uang buat bayar parkir.

Dari jauh saya melihat 2 orang duduk di atas motor saya. Satu Pak Satpam, satu lagi anak muda penjaga parkir.

“Permisi, Pak, saya mau ambil motor” sambil bersiap ambil helm
“Karcis parkirnya, mbak?” tanya anak muda
“Gak ada. Saya gak dikasih karcis” jawab saya dengan nada datar logat Suroboyan.
“Gak mungkin, mbaak. Tadi siapa yang jaga? Bayarnya ke mana?”

Dih, urusan bayar aja cepet!

“Heh, Mas. Buat apa saya nyimpen karcis parkir. Kalau gak ada, ya gak ada. Kalau ada tak kasihkan”
“Berarti tadi belum bayar parkir, mbak?”
“Ya belum lah. Gak ada yang jaga. Tenang aja tak bayar, tak bayar…” Anak muda itu nyengir.

Sambil ngasih duit, saya ceramahi dia, “Makanya, Maass, kalau jaga parkir itu diam di tempat. Orang mau parkir dibiarin, giliran keluar heboh nagih bayaran. Tadi saya datang, di sini gak ada orang. Gak ada yg ngasih karcis”

Dih, Emak-emak sadis. Gitu aja dibikin panjang.

Leeh, jangan kaget. Di Suroboyo percakapan gitu itu biasa. Kata-katanya memang nylekit, tapi kalau dinadakan logat Surabaya semua orang yang dengar pasti ketawa. Termasuk Pak Satpam.

“Marahin aja, mbak. Marahin. Kerjanya memang gak bener” sambil bantu ngeluarin motor saya.

Saya yakin drama perpakiran seperti saya banyak dialami teman-teman. Tapi saya menyadari, kerja tukang parkir sebenarnya melelahkan. Terutama yang memiliki lahan sempit kapasitas motor yang parkir banyak. Otomatis mereka berjibaku menata sedemikian rupa agar barisan motornya rapi sehingga muat banyak dan duit yang dikumpulkan melimpah.

Di Surabaya parkiran seperti ini dapat ditemukan di jalan Kaliasin Pompa samping TP. Pengunjung lebih senang parkir di parkiran umum seperti ini ketimbang parkir di Mall. Selain tukang parkirnya ‘enteng tangan’, lokasinya lebih dekat dari pintu masuk Mall.

Jadi, ada yang senasib ma saya untuk urusan parkir? Curhatin ajalah semuanya di sini!

7 Comments

  • Reyne Raea

    Curhat pertamax, premium, solar *loh wwkwkwkw

    Kalau saya ama suami, selalu berantem ama tukang parkir, pak suami tuh gak rela bayar parkir kalau tukang parkirnya kayak hantu wkwkwk

    Tapi kalau saya sendiri biasanya malah butuh, secaraaa sering ga bisa keluarin motor, jadi wajah dimelas2in biar dibantuin wkwkwk

  • Melina Sekarsari

    Datang nggak ada, pulang tiba-tiba nongol. Yaaa, kayaknya setiap tempat parkir umum nggak resmi ya begini ini deh, Mbak. Gemas-gemas pengen nyubit, memang. Salam kenal ya, Mbak. Pertama kalinya aku berkunjung ke ‘rumah’-mu, nih. Semoga besok-besok datang lagi, disuguhi kopi dan cemilan, ya, hahaha …

  • Nining

    selain penasaran sama igstory tadi, eh begitu klik blognya ada yang baruuuu. Template anyar reeeek uhuiii (komennya out of the topic) maafkeeeun bu Nyai ^^v

  • Bagus Ramadhan

    Panjang juga curhatannya. Soal tukang parkir emang pelik sih mbak. Mereka sebenernya juga kepanjangantangan dari preman lokal. Kadang ada juga yang memang dikelola oleh karang taruna setempat.
    Tapi kebanyakan memang ilegal. Sementara yang resmi setau saya harus punya rompi dari dinas perhubungan kota/kabupaten. Cuma ya gitu, sering kali rompinya juga palsu.
    Saya paling malas kalau urusan dengan tukang parkir yang mangkal di lokasi yang jelas-jelas PARKIR GRATIS.
    Kira-kira ada ga ya hotline pelaporan untuk penyalahgunaan parkir ini?

Leave a Reply to Reyne Raea Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *