Kisah VCD Bajakan, Kawasan Tunjungan, dan geliat Siola bertarung melawan peradaban
Masyarakat Suroboyo mana yang tidak tau jalan Tunjungan? Jalan legendaris yang menjadi saksi pertumpahan darah Arek-arek Suroboyo merebut kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Kini kawasan itu telah menjadi idola pusatnya wisata kota.
Kalau kaum milenial sekarang mengenal jalan Tunjungan semarak kerlap-kerlip lampu kota, lain halnya dengan saya anak ABG yang pada akhir 90-an mengenal Tunjungan sebagai pusatnya VCD bajakan. Terutama sekitaran gedung Siola.
Ingatan VCD bajakan bermula ketika saya bercakap dengan teman via online pengalaman membeli cakram digital di lorong Siola sekitaran tahun 1999. Saya yang pernah mengalami sendiri membeli ‘kaset’ VCD di sana nyengir dan turut membuka kembali kenangan lama. Kenangan kecut yang tak hilang begitu saja meski Siola sudah berubah fungsi menjadi Mall Pelayanan Publik sejak diresmikan Oktober 2017 lalu.
Sebenarnya tidak akan pahit bila barang VCD yang saya beli isinya sesuai dengan covernya. Masalahnya, VCD-VCD yang beredar bebas dengan harga rata-rata Rp. 3.500,- itu banyak jebakannya. Saya pernah beli film AADC. Penjual bilang isinya asli, sampai rumah ternyata film syutingan bioskop. Gak uenak blas dilihat. Gambarnya goyang, banyak kepala yang lalu lalang. Pernah juga saya beli VCD album PADI Sobat. Lagunya asli, tapi gambarnya potongan-potongan film Holywood. Beruntung nasib saya tak seperti yang dialami teman, dia beli VCD lagu tapi isinya film bok**p.
Jalan Tunjungan sebagai Kawasan Elite Pertokoan Eropa
Saya semakin tertarik menulis kawasan Jalan Tunjungan setelah dapat cerita banyak dari Robby Sabami, Cak Surabaya tahun 2017 yang menjadi LO saya dalam sebuah acara.
Robby anak keturunan Papua tapi ngaku mukanya mirip Arab, antusias sekali menceritakan sejarah jalan lawas yang dulu ejaannya Toendjoengan. Kata Robby, kawasan Jalan Tunjungan sejak dulu dikenal sebagai Pusat Perdagangan.
Saya setuju, setiap lewat Tunjungan saya selalu terkesima dengan suasana kolonialismenya. Terkesan Klasik. Lebih dari itu betapa jaman dulu sepanjang jalan ini adalah kawasan yang hidup. Kita masih bisa kok melihat jejak kehidupannya. Bekas-bekas fungsi bangunannya terbaca jelas. Seperti bangunan ini:
Secara posisi, Jalan Tunjungan menghubungkan antara daerah pelabuhan sekitar Jembatan Merah yang dulunya menjadi sentra perdagangan dan kawasan perumahan seperti Gubeng, Darmo, Ketabang dan Sawahan.
Sebagai kota bisnis, Surabaya memiliki jalur logistik yang menghubungkan Indonesia dengan dunia luar sehingga menjadikan kota ini sebagai kota tersibuk. Jadi jangan kaget saat berdiri Jembatan Merah seakan-akan sedang berada di antara negara Arab, Cina dan Eropa.
Kalau kita lihat foto-foto Soerabaja Tempo Doeloe, terlihat hilir mudik kendaraan seperti sepeda onthel dan mobil di sepanjang jalan Tunjungan. Soal mobil ini menarik, Dukut Imam Widodo dalam bukunya Soerabaja Tempo Doeloe menyebutnya sebagai kereta setan.
Percaya nggak, dulu di Jalan Tunjungan terdapat importir mobil sangat terkenal bernama N.V. Velodrome yang beralamatkan di Toendjoengan 62.
Jumat, 9 November 2018, saya mencari jejaknya sekaligus jelajah cagar budaya Surabaya. Sekarang gedung itu ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya sebagai bangunan kolonial bergaya modern dengan bentuk gevel yang unik.
Bisa kita bayangkan masa itu jalan Tunjungan ramainya kayak apa. Dibanding sekarang, sih, sama-sama ramainya, cuman beda macetnya, hehe..
Masih banyak bangunan cagar budaya lain di sepanjang Jalan Tunjungan, diantaranya:
Hotel Majapahit yang dibangun tahun 1910 dan menjadi saksi perobekan bendera Belanda oleh Arek-arek Suroboyo dan masih aktif beroperasi sampai saat ini.
Bank Hagakita atau Rabobank International Indonesia di Tunjungan 60
Bangunan BBD/Pt. Saver di Tunjungan 39, bangunan kolonial yang berornamen geometric
Untuk menjaga kawasan Eropa di Surabaya, Tunjungan ditetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya sesuai SK Walikota Surabaya No. 188.45/004/402.1.04.1998 nomor urut 17 tanggal 13 Januari 1998.
Siola sebagai ‘Mall Tertua’ di Surabaya
Tunjungan merupakan jalan strategis di pusat kota Surabaya. Dari sekian bangunan tua di sana, semua mata pasti terpusat di gedung White Away. Atau yang kita kenal sebagai gedung SIOLA.
Perjalanan gedung ini unik. Awalnya seorang pengusaha asal Inggris bernama Robert Laidlaw (1856-1935) mendirikan pusat perkulakan terkenal di dunia bernama White Away & Co pada tahun 1877. Kehadiran White Away di jalan Tunjungan membuat kota Surabaya memiliki pusat perbelanjaan terbesar di Hindia Belanda.
Di Surabaya, White Away & Co menjual produk tekstil dan macam-macam barang impor dari Inggris sehingga pemiliknya menamakan gedung ini sebagai Het Engelsche Warenhuis atau Toko Serba Ada Inggris.
Dalam perjalanannya, White Away mengalami kemunduran setelah Laidlaw meninggal. Selanjutnya gedung ini dipegang pengusaha Jepang dan berganti nama menjadi Chiyoda. Sayangnya toko ini tak bertahan lama karena setelahnya gedung ini hancur pada tahun 1945 akibat dibom Inggris.
Setelah dinasionalisasi tahun 1950-an, gedung ini jadi milik Pemerintah Kota Surabaya. Hingga kemudian ada 5 pengusaha bernama Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem, dan Ang yang menjadikan gedung ini sebagai toko ritel melanjutnya pendahulunya yang suram berjuluk SIOLA, yang diambil dari nama inisial masing-masing pengusaha.
Lagi-lagi, Siola kembali diuji. Hadirnya pusat perbelanjaan baru di Surabaya, membuat Siola sulit bergerak hingga akhirnya menyerah dan berhenti beroperasi tahun 1998.
Dari Toko Ritel Kini Mall Pelayanan Publik
Setelah Toko Ritel Siola berhenti beroperasi, tahun 1999 Siola tetap menjadi toko ritel dengan nama Ramayana Siola yang dikelola oleh perusahaan rantai toko swalayan Ramayana Department Store.
Selama dihuni oleh Siola Ramayana, kehidupan gedung ini sedikit riuh. Pedagang Kaki Lima beterbaran memenuhi lorong dan halaman gedung. Topi, kaos, pernak-pernik, jam tangan, hingga VCD asli dan bajakan turut berbagi nafas ekonomi masyarakat Surabaya.
Lagi, Siola kembali meredup karena tahun 2008 Ramayana Siola menutup bisnisnya dari gedung ini. Hengkangnya Ramayana membuat Siola seakan hidup segan mati tak mau. Jalan Tunjungan menjadi senyap.
Tahun 2015 Siola kembali bangkit dengan wajah yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Ia tetaplah Mall. Tetapi bukan Mall retail, melainkan Mall Pelayanan Publik (Dispendukcapil menggunakan gedung ini tahun 2015). Wajah Siola kini bisa kembali tersenyum, Ia jadi jujugan warga setiap harinya.
Siola telah menjadi destinasi baru di Surabaya. Memiliki Museum yang menyimpan sejarah perjalanan Surabaya, Sentra UKM, dan Koridor Coworking Space yang buka 24 jam.
Untuk memberi apresiasi gedung yang berusia total 141 tahun, Pemerintah Kota Surabaya menjadikan gedung ini sebagai Cagar Budaya sesuai SK Walikota Surabaya No. 188.45/66/436.1.2/2011
Arek Surabaya kini boleh berbangga. Kehadiran Jalan Tunjungan dengan wajah baru menjadi dinamika wisata kota yang nyaman dengan suasana klasik. Ayo, Rek, Mlaku-mlaku nang Tunjungan!
Referensi Siola: https://id-id.facebook.com/notes/sawoong-soerabaia-poenja-gaia/siola-berdiri-sejak-1877/74170974015/
Syarifani Mulyana
Beruntung pernah berkantor di kawasan jalan utama Surabaya. Bisa puas lari-larian pas ada acara tahunan Tunjungan.
Siola ini tempat beli kaset video game SEGA waktu kecil. Beli kacamata retro & kaset mp3 pas SMA. Ga nyangka bisa berubah jadi bersih bebas PKL.
Sempet ada swalayan dan resto juga sebelum jadi co-working space.
Yuniari Nukti
Kenangan anak 90an banget ini.. Menyenangkan ya milih-milih (KASET) VCD Mp3. Jaman itu lagi tren MP3. 1 keping VCD dapat beralbum-album lagu😁
Fanny F Nila
Jadi jauuuuh lbh keren yaaa. Aku terakhir ke surabaya udh lama banget mba. Pas sd mungkin. Udh ga inget ama jalan2 nyaa. Nanti kalo bisa ke surabaya lg, aku hrs datangin gedung siola mall pelayanan publik ini 🙂 .
Yuniari Nukti
Dulu sama sekarang wajah Jalan Tunjungan buanyam berubah, Mbak. Sebelumnya gelap dan sepi, sekarang terang dan hidup 24 jam😊
Aminnatul Widyana
Tega bener yg bikin VCD bajakan. Masa sih covernya lagu, isinya film bokep. Dilanjutin nggak tuh temannya Mbak pas nonton? Wkwkkw…
Yuniari Nukti
Haha.. Gak sesuai ekspetasi. Maunya murah malah gak slamet. Dulu yang bagusan harga 3.500, Mbak. Namanya penjual, ya, ada yang jual 10ribu 4 atau 5. Ya gitu kualitasnya gak sesuai sama isinya
Joe Candra
Siola rame nih klo sore sampe malem yah mbak, rame arek2 hunting foto. Aku pengen mampir foto ksna tp malu wkkwkw
Yuniari Nukti
Ke sana aja, Mas. Ya, sih, kadang jadi pusat tatapan orang lewat haha..
Pas hunting foto artikel ini saya beberapa kali ditanya orang, lho. “ngapain, Mbak?” dengan tatapan curiga. Saya jawab aja lagi jalan-jalan.
Mereka lupa (mungkin tidak sadar) jalan Tunjungan sekarang sudah masuk daftar obyek wisata Surabaya hehe
Turis Cantik
banyak sudut cantik buat foto ya mbak, kyknya enak kalau sore menysurui jalan ini
Hilda Ikka
Oalaaah baru tau aku kalo nama SIOLA itu merupakan singkatan 😁
Jujur aku lebih suka SIOLA yang sekarang. Keren dan sangat berfaedah 👌🏻
Nining
Udah gotang gambarnya, kadang pas kena zonk. Dapat film “goyang” pulak *eh kan kaaan :)))(
Kurnia Agung Pamungkas
Jadi nostalgia banget ya. Hehe
Helena
Wih, mantab rek. Akhirnya ku tahu apa arti siola. Jadi sebelumnya pernah bernama White Away, Chiyoda (kayak merek lampu). Sekarang apik yo tapi aku belum pernah mampir ke sana padahal tiap berangkat sekolah dilewati. Ajaken yo mbak, mlaku-mlaku nang Siola sampai Tunjungan.