THR Surabaya dan Kesenian Ludruk yang membutuhkan perhatian
Siapa yang pernah nonton Srimulat? Saya yakin ada anak 90-an disini yang langganan sabar, menanti jam 10 malam hari Jumat di Indosiar. Menunggu Gogon yang badannya fleksibel. Tertakjub-takjub dengan cincin akiknya Tessy. Atau berteriak histeris lihat drakula di atas panggung dengan permainan cahaya menyeramkan. Coba kalau masih ingat sebutkan nama-nama pelawak Srimulat. Tiga nama saja!
Srimulat, Ludruk, dan Wayang Orang merupakan sekian kesenian yang saya sukai. Terutama bahasa dan dialeknya. Lebih mudah memahami alurnya ketimbang terkantuk-kantuk menonton wayang kulit. Meskipun semuanya masuk dalam ranah budaya yang harus dilestarikan.
Hari Jumat minggu lalu saya kangen THR. Sangat kangen karena THR adalah tempat yang indah. Indah menurut saya, ya. Dan kalau ingat THR, pasti tidak lupa dengan gedung Srimulat nya.
“Tessy, Kadir, Basuki, Mamiek, itu dulu hidupnya di sini, Mbak..” obrolan yang membuat saya semangat menarik kursi mendengarkan suara Pak Rogo yang samar-samar berkompetisi dengan derasnya hujan.
Bertemu Pak Rogo secara tidak sengaja. Saat sedang asik foto-foto kompleks ‘belakang’ THR, tiba-tiba hujan turun Mak Bress. Saya lantas berlari mencari teduhan, dan setelah bilang nuwun sewu saya berteduh di gedung Pringgodani yang sepi. Gedung berwarna biru dengan gambar ukiran indah diatasnya. Gedung ini pada masanya pernah ramai dan jadi kumpulnya PKL.
“Masuk sini, Mbak. Monggo” sapa Bapak yang berkumis tebal.
“Sampean dari mana?”
Saya katakan saya dari Surabaya dan pengen foto-foto THR.
Sudah lama memang saya ndak main ke ‘belakang’ THR, tempat seni Jawa Timuran pernah berjaya. Di tempat ini juga ada patung Gombloh yang mungkin tidak begitu direken sama ‘penghuni’ THR Mall yang lalu lalang membeli makan siang.
Karena hujan sangat deras saya mulai membuka obrolan dengan Pak Rogo.
“Ludruk disini masih main, Pak?”
Pertanyaan singkat saya dijawab dengan senyum samar dan ekspresi enggan.
Sejujurnya saya bahagia dapat teman ngobrol yang belakangan saya tau bahwa Pak Rogo ternyata satu dari sekian seniman Jawa Timur yang turut mempelopori perjalanan sukses Ludruk, Wayang Orang, dan Srimulat yang pernah jadi tayangan favorit anak 90-an pada tahun 2000. Namun saya juga tak sanggup untuk bertanya lebih jauh bagaimana ‘seretnya’ penonton yang datang dan memberikan tepuk tangan menjelang berakhirnya pertunjukan.
Setelah melepaskan nafasnya yang berat, Bapak yang berpenampilan sederhana itu mulai berkisah sepinya penonton Ludruk dan Wayang Orang di THR.
Yayaya kabar ‘kesepian’ ini memang sudah lama diperbincangkan publik. Bahkan media cetak sudah berkali-kali mengangkat topik ini. Pemerintah Kota pun sudah capek membahasnya, nyatanya masyarakat Jawa Timur belum tertarik (LAGI) datang dan nonton ludruk Jawa Timuran.
Srimulat, Wayang Orang, dan Ludruk pernah disenangi orang hingga nama-nama yang awalnya tidak dikenal menjadi tenar di layar kaca. Sayangnya seniman tenar itu tidak berhasil membawa kesenian Jawa Timur jadi acara idola. Memang, Srimulat pernah naik daun, karena tidak ada regerenasi, lambat laun acara ini diturunkan dari panggung dan kelambu layar kaca pun ditutup hingga sekarang.
“Kalau tidak ada penonton, kenapa masih main terus, Pak? Apakah tidak rugi tenaga dan sebagainya?” Saya sadar betul pertanyaan saya macam ini sudah dijawab berkali-kali oleh Pak Rogo di depan awak media.
“Mbak, kalau saya menghitung untung rugi ya pasti rugi. Saya bertahan ini untuk menjaga budaya Jawa Timur tetap ada”
Ujar Bapak yang mengayomi 22 Kepala Keluarga di kompleks THR yang terdiri dari penggiat Ketoprak Siswo Budoyo dan Wayang Orang Sri Wandono.
Sebagai info, Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara tampil setiap hari Sabtu malam Minggu dengan harga tiket masuk Rp. 10.000,- dan jumlah penonton sekitar 20 – 30 orang. Kalian tahu berapa pemain yang terlibat? Minimal 30 orang! Saat itu saya langsung mikir kosmetik sama biaya sewa baju siapa yang nanggung?
“Sudahlah, Mbak, jangan dihitung dapat berapa, buat beli rokok aja nggak cukup!”
Rupanya Bapak bernama lengkap Sugeng Rogo Wiyono tau isi kepala saya.
Saya pun mencoba mengulik teman-teman artis Pak Rogo yang pernah dan masih eksis saat ini di dunia pertelevisian.
“Gini, Pak.. Apakah Pak Rogo tidak mencoba minta tolong teman-teman yang saat ini jadi artis untuk mengangkat budaya Jawa Timur agar dikenal lagi? Atau mungkin mengajak mereka untuk main ludruk di THR, gitu?”
“Mbak.. (Pak Rogo diam sejenak lalu tertawa kecut). Saya dan teman-teman disini sudah mblenger ngomong sama mereka. Dulu mereka tidur disini. Kami hidup seperti saudara. Tapi begitu mereka sukses, kami minta tolong pinjam wajah untuk dijadikan iklan pengumuman agar menarik pengunjung, mereka bilang gini: “WANI MBAYAR PIRO?”
Mendengar cerita dan ekspresi Pak Rogo hati saya bergetar. Sebegitu kejamkah pertemanan. Ketika jalinan pertemanan dirasuki asas keuangan, sudah merasa begitu hebatkah mereka hingga teman sendiri tak ditoleh lagi?
Selain inisiatif penonton, sepinya pertunjukan juga dipengaruhi oleh iklan, cuaca dan judul. Yang paling berat tentu saja biaya iklan. Jangankan beriklan, untuk membiayai pertunjukan saja harus mengais modal sendiri!
Saat itu Pak Rogo tampak agak marah mengingat nama-nama tenar yang sudah meninggalkannya. Ia dan teman-teman ludruk di THR sudah pasrah dan berkesimpulan tidak mengharap kedatangan mereka lagi.
“Padahal hidupnya orang ludruk itu biasa saja, Mbak, meskipun di TV terlihat mewah.”
Selama ngobrol, Bapak yang memiliki usaha penyewaan busana seni tradisional, khususnya ludruk, ketoprak, dan wayang orang dengan bayar seharga ongkos laundry ini menyayangkan acara ketoprak yang menyalahi pakem di televisi. Menurutnya ludruk yang ada sekarang sudah nggak sesuai lagi. Konsep kesenian itu TONTONAN, TATANAN, dan TUNTUNAN. Karena kesenian diciptakan oleh nenek moyang.
Sementara kondisi ludruk kembang kempis, suasana THR sebagai Tempat Hiburan Rakyat juga cukup mengenaskan. Saya perhatikan, kondisi sekitar terawat bagus. Ada taman, ada area latihan outdoor dan indoor, serta tempat bermain anak. Tetapi pengunjungnya bisa dihitung jari. Rata-rata mereka main ke belakang hanya untuk membeli makan siang!
Untuk mempertahankan kesenian, saat ini Pak Rogo berusaha menularkan budaya Jawa kepada anak-anak sekolah. Siapapun yang datang untuk belajar ludruk akan diajari gratis tanpa bayaran.
“Minimal anak-anak itu bisa ngomong kromo sama orang tua dan tau unggah-ungguhnya”
Pak Rogo juga tidak pelit menceritakan sejarah perludrukan dan wayang orang kepada adik-adik mahasiswa untuk kepentingan tugas. Permintaannya Cuma satu, setelah selesai berurusan dengan tugas, Ia ingin anak-anak itu tetap datang dan meramaikan THR.
Sambil menunggu hujan reda, saya disuguhi album foto yang memuat dokumentasi Srimulat dan ludruk tahun 2008. Dalam album itu terdapat potongan koran berisi perjalanan ludruk di THR. Ada juga profil Pak Rogo yang dimuat oleh media.
Kemarin ada teman yang tanya saya, kapan ada pertunjukan ludruk di THR? Jawabannya setiap SABTU jam 7 malam! Gimana, ada rencana kopdar rame-rame sambil lihat ludruk di THR Surabaya? Kalau ada saya DAFTAR!
Rendra
Bener-bener tempat yang legend banget menurut saya. Meskipun saya lahir di tahun 95, tapi saya masih dapet sedikit momen keemasan ludruk kala itu . Kalau ngga salah di RCTI. Hampir tiap malam pasti nonton.
Dila Augusty
Mbak Yun, aku baca ini kok sedih ya. Apalagi di kalimat ” Wani bayar piro ” tadi. Aku kira selama ini, dari mereka yang tidak muncul di permukaan itu masih diperhatikan oleh mereka yang sudah punya nama
Perkembangan jaman memang sudah bergeser sekali ya. Dulu kita masih nonton TVRI aja, dengerin kaset Gepeng. Sekarang, udah terlalu banyak hiburan ditawarkan. Yang kadang hanya memenuhi selera penonton tanpa ada tuntunan