Tragedi Salah Stasiun
Meski sudah beberapa kali datang ke Jakarta, tapi saya masih kesulitan manganalisa jarak tempuh perjalanan. Selain tidak tau jalanan di Jakarta, kepadatan arus juga jadi kendala tersendiri. Butuh waktu panjang untuk mempelajari seluk beluk Ibukota tercinta ini ternyata, yah hehe
Saya adalah penganut garis keras paham The Power of Kepepet. Orang yang terbiasa dadakan bila pergi-pergi. Saya juga tipikal orang yang tidak suka menunggu lama. Saat akan naik kereta api saya suka datang mepet waktu. Misal jadwal kereta jam 10, saya datang di Stasiun jam 9.50. Di Surabaya, bila jadwal kereta api berangkat 10, maka saya berangkat dari rumah jam setengah 10. Kalau settingan hati sedang ‘tidak waras’, saya berangkat jam 9.15 hehe.. *andai gerbong kereta bisa ngomong, dia pasti ngeledek, “tumben datang pagi, Yun” 😀
Beberapa kali sudah mengalami kereta yang akan saya tumpangi datang lebih dulu daripada saya. Saya datang, kereta sudah duduk manis di atas rel. Deg-degan, tapi ada kepuasan tersendiri ketika kereta masih berbaik hati nungguin kedatangan saya hehe.. bukan mau nantangin jadwal, tapi karena saya terlalu nekat bermain feeling. Yakin nggak akan ketinggalan hehe. Kecuali sedang khilaf dan salah mengartikan Stasiun keberangkatan. Meskipun akhirnya sukses, namun harus dilalui dengan proses yang berat dan nekat. Alhamdulillah Allah melindungi aksi The Power of Kepepet saya..
Suatu hari saya pulang ke Surabaya naik kereta di Stasiun Senen. Dari rumah kami naik Metromini. Jadwal kereta jam 11.36, dan saya berangkat jam 9.30. Pikir saya, 2 jam terlalu cukup untuk perjalanan supaya nanti sesampai di Stasiun saya bisa beli rujak buah, dan jajanan buat camilan saat menunggu kereta.
Memang perjalanan saya saat itu lumayan lancar dan bisa tiba di Senen jam 11.10. “Ah, masih ada waktu banyak..” sisa waktu itu saya habiskan dengan hunting jajanan.
Puas belanja, saya dan Mas Rinaldy berniat mencari tempat duduk yang nyaman. Supaya hati tenang, iseng-iseng saya bertanya kepada petugas disana.
“Pak, kereta Gaya Baru Malam masuknya dari pintu sebelah mana?”
“Gaya Baru Malam?” tanya petugasnya heran. Setelah diam beberapa saat, “Mbak, Gaya Baru Malam berangkatnya dari Kota, bukan dari sini” ujarnya.
“Tapi, Pak, di tiket tercetak di Senen”
“Iya, memang ada kebijakan baru untuk KA Ekonomi sekarang berangkatnya dari Kota”
Modyaar.. waktu tinggal 20 menit, dan saya harus pindah Stasiun. Masalah tersulit adalah lalu lintas menuju Kota macetnya ora umum.
“Mbak, naik bajaj atau Taksi saja. Jangan naik angkot, nggak nututi” saran petugas.
Whealaaaah.. bayangan duduk manis sambil makan rujak buah lenyap seketika. Sebagai ganjaran saya harus lari ke luar Stasiun dan mencari alternatif tercepat. Walah-walaah.. baru saja mau menikmati hidup, eh lha kok malah atraksi.. 😀
Di luar Stasiun ada taksi yang menawarkan tarif 60ribu dengan janji jalan ngebut. Dipihak lain ada bajaj yang nawar 30 ribu dengan janji kampanye sama seperti Taksi. Dipikir ulang sengebut-ngebutnya Taksi dan Bajaj tetap merambat juga kalau jalanan macet. Oke, kami milih bajaj!
Pak sopir bajaj yang mengerti kegalauan kami berupaya membantu mencarikan alternatif rute tercepat. Di jalanan agak renggang, bajaj mulai ngeden. Antara sebel, gemes dan pengen tertawa. Se-ngeden-ngedennya bajaj, larinya gak se kencang suaranya. Rasanya seperti kena PHP wkwk..
“Tenang, Pak, saya turunkan di depan pintu masuk Stasiun supaya dekat jalannya.” Saran yang terdengar melegakan.
Tapi tidak lega buat saya, karena untuk menjangkau pintu masuk jalanannya benar-benar padat. Bagus masih bisa jalan, lha gerak aja nggak! Saya lihat sudah jam 11.30. Duh, kurang 6 menit lagi! Jangkauan pintu masuk juga masih jauh, kalaupun jalan kaki juga tidak memungkinkan.
Galau, deg-degan, takut ketinggalan, sebal, jengkel, bercampur jadi satu.
Merasa bajaj bakal terjebak di tengah-tengah kendaraan roda 4, saya kemudian memutuskan turun dan berlari menjangkau pintu masuk. Ransel pakaian digendong Mas Rinaldy. Saya berlari menenteng handbag batik.
“Kamu lari duluan sana, biar keretanya ditahan petugas” perintah Mas Rinaldy yang keringatnya se jagung-jagung. Saya langsung lari sekencang-kencangnya menembus lalu lalang pejalan kaki di trotoar Stasiun Kota.
Masuk Stasiun saya menemui petugas sambil ngos-ngosan. “Hituh Kehrehtah Gahyah Bahruh, yah Pakh?”
“Iyaa, ayo buruan masuk, keretanya sudah mau jalan” perintah petugas.
“Tuhngguh, Pakh, suamih sahyah mahsih dihbehlahkang” kata saya sambil inguk-inguk Mas Rinaldy. Beruntung sosoknya terlihat baru masuk Stasiun.
Sampai dipintu pemeriksaan tiket, saya lupa menyimpan tiket dimana. Saya ubek-ubek tas saya, gak nemu-nemu juga tiketnya.
“Udahlah Mbak, langsung masuk aja, keretanya sudah mau jalan..” kata petugas.
Legaaa. Saya dan Mas Rinaldy kemudian ngejar gerbong paling belakang. Yang penting kami sudah harus diatas kereta dulu. Urusan cari kursi nanti diurus belakangan.
Cerdas keretanya, begitu kami menaikkan kaki, pelan-pelan gerbongnya bergerak… 😀
Juvmom
Aku yang baca juga deg-degan 😀
Kalau ibuku selalu stanby satu jam sebelum kereta berangkat. Soalnya gak mau ketinggalan kereta. Lebih baik menunggu dari pada ketinggalan 😀
Alid Abdul
Helaaaaaaaahhhh kok gak ada sosialisasi gaya baru pindah stasiun -__- yg repot kan pelanggan dan di tiket juga tercetak pasar senen.
Saya juga pernah sih mefet mefet hehehe,,, tiket saya dan temen sudah nunggu keringat dingin dpn stasiun, begitu naik juga langsung cussssss berangkat…
Btw emang situ pejabat penting sampek kereta bisa ditahan keberangkatannya klo ngomong sama petugas -__-
Ila Rizky
Hehe, untung masih bisa naik gerbongnya ya, mba. Ga kebayang kalo ketinggalan kereta. 😀
Zizy Damanik
Hahaa… seru yaaa… campur deg-degan.
Sama, saya juga pernah hampiiiiiirrr ketinggalan kereta. Nunggu dijemput teman pas subuh, dia datangnya lama, terus supir taxinya jalannya santai, kami juga lari-lari dari pintu masuk sampai tangga sampai ke atas, dan dibantu sama porter untuk membawakan tas super berat. Tiba di depan kereta, pas kereta mau berangkat. LOL.