Misteri hilangnya Kartu BPJS
Misteri hilangnya kartu BPJS ini bukan cerita horror, yang takut hantu tenang saja. Dijamin aman!
Kisah dimulai ketika suatu hari saya berkunjung ke rumah saudara (kakak sepupu) yang kabarnya sakit dan sudah seminggu tubuhnya mati separuh. Namanya Mbak Anik. Sepeninggal Ibunya, menyusul bapaknya, Mbak Anik praktis menjadi tulang punggung keluarga. Sehari-hari Ia tinggal bersama 1 adik lelakinya dan 3 keponakan laki-laki (ibunya meninggal setahun lalu, bapaknya pergi entah ke mana) yang semuanya kondisi tidak bekerja.
Waktu itu saya tiba jam setengah 8 malam. Di rumah hanya ada 1 keponakan yang bertugas menjaga Mbak Anik yang kondisinya terbaring lemah di kasur. Karena ngeluh tangannya sebelah tidak bisa digerakkan, saya berinisiatif membawanya ke UGD karena pikiran pendek saya menyimpulkan gejala stroke. Saya ingat kata dokter bahwa gejala stroke harus segera ditangani, kalau tidak akibatnya fatal.
Namun masalah timbul, untuk pergi ke UGD saya harus menunggu adik laki-lakinya yang sedang keluar rumah sebagai jaga-jaga jika harus opname di Rumah Sakit, sekaligus keluarga yang bertanggung jawab terhadap pasien.
Ketika saya hubungi, si adek ini bilang akan pulang, tapi nyatanya sejam-dua jam, Ia tak kunjung sampai rumah. Saya putus asa. Sudah hampir jam 10 malam, tak juga muncul manusianya. Akhirnya saya pamit pulang dan berjanji akan datang keesokan harinya.
Untuk mempermudah urusan administrasi Rumah Sakit, sebelum pulang saya siapkan KTP dan BPJS dalam sebuah dompet lalu saya taruh di samping bantalnya mbak Anik dengan sepengetahuan dia. Saat itu kondisinya masih bisa diajak bicara meski sudah agak sedikit cadel dan kondisinya benar-benar lemah. Bangun harus dibantu orang lain.
Misteri hilangnya Kartu BPJS
Seperti janji saya, keesokan hari saya datang lagi. Di sana sudah banyak orang. Ada adik iparnya, keponakannya, dan lain-lain. Alhamdulillah, hati saya lega. Setidaknya mbak Anik tidak sakit sendirian.
Dibantu yang lain, Mbak Anik siap berangkat ke Rumah Sakit. Saya lalu inisiatif mengingatkan salah satu keponakan untuk membawa serta dompet yang berisi KTP dan BPJS yang semalam saya siapkan. Tanpa susah-susah mencari, dompet itu terpegang. Saya lalu meminta untuk mengecek kembali isi dompet. Jangan sampai ketika sudah di Rumah Sakit ada berkas yang kurang.
“Isinya hanya KTP saja ya, Te?”
“Ada BPJSnya” kata saya kalem.
“Nggak ada, Te. Isinya cuma KTP saja”
LHO!
Saya heran. Kaget. Dan nggak tau harus ngomong apa lagi. Jelas-jelas semalam saya yang memasukkan kartu-kartu itu lengkap. Saya yakin tidak salah, karena dibantu sama mbak Anik sendiri langsung mengambil dari tas kerjanya.
Segala kemungkinan saya pikirkan. Termasuk seandainya dompet itu jatuh (dengan kemungkinan resleting tiba-tiba kebuka sendiri) kenapa hanya kartu BPJSnya saja yang tercecer, kok nggak sekalian KTPnya?
Saat itu juga, semua orang mencari keberadaan BPJS yang raib. Nyari ke segala penjuru sampai kolong-kolong tempat tidur. Saya merasa bersalah sendiri, nggak enak sama saudara yang lain. Saya tidak punya saksi orang lain selain mbak Anik yang tau semalam saya mempersiapkan dokumen. Apalagi pagi itu mbak Anik sudah tidak memungkinkan diajak bicara. Ucapannya ngelantur dan aneh.
Sampai menjelang Ashar kami pasrah. Sekali lagi kami gagal membawa Mbak Anik ke Rumah Sakit. Saat itu saya sudah menawarkan diri untuk pasien umum dengan biaya opo jare engkok, supaya Mbak Anik segera ditangani. Tapi keluarga menolak, mereka masih berupaya mencari BPJS yang ketlisut.
Saya meminta maaf karena telah ceroboh, meski kecerobohan itu bukan alasan pasti. Keluarga tidak sepenuhnya menyalahkan saya sebab mbak Anik sendiri mengaku kalau semalam ada seseorang yang masuk kamarnya dan mengambil sesuatu di dompetnya. Pengakuan orang rumah, itu hanya halusinasinya mbak Anik saja.
Dirawat di RS Karangmenjangan
3 hari kemudian saya dapat info mbak Anik sudah dirawat di RS Karangmenjangan dengan berkas Surat Kehilangan dari Kepolisian. Syukurlah, sudah ada solusinya.
Hari Minggu saat saya jenguk, kondisinya lebih baikan dari sebelumnya. Sudah bisa tersenyum, tangannya bisa digerakkan, bicaranya normal. Baru saya ketahui kalau ternyata Mbak Anik sakit Kanker Otak. Dan penyebab tangannya tidak bisa digerakkan karena ada sebagian kanker yang menekan syaraf otak. Tak hanya di situ saja, rupanya mbak Anik selama ini langganan ke RS untuk tambah darah (Trombositnya atau apanya gitu sering turun dan harus rutin kontrol). Tidak ada keluarga yang tau. Ia berangkat ke RS sendiri. Hanya ketika harus rawat inap saja, minta tolong adiknya nungguin.
Selama saya jenguk, mbak Anik banyak ngelantur. Antara sedih sama senang, tiap mendengar ucapannya kami bawa tertawa supaya pasiennya bahagia. Salah satu yang membuat kami terhenyak adalah, “Saya mau terbang ke langit nggak bisa-bisa. Ada saja yang narik dasterku sampai robek”
Begitulah, setelah rawat inap 1 minggu, mbak Anik diperkenankan pulang. Karena di rumah tidak ada wanita dan khawatir rawatannya tidak maksimal, untuk sementara mbak Anik tinggal di rumah adiknya yang lain.
Akhir obrolan, saya sempat berpesan supaya Ia melepaskan pikiran-pikiran berat termasuk uang pesangon pabrik yang kabarnya ada pemotongan nominal. Saya minta mbak Anik fokus ke dirinya sendiri dan tidak memikirkan saudara laki-lakinya, toh mereka bukan anak kecil lagi.
Tapi takdir berkata lain, seminggu kemudian mbak Anik meninggal dunia. Beberapa jam sebelum meninggal Ia minta pulang ke rumah, dan dari beberapa versi, mbak Anik meninggal dalam perjalanan. Entahlah, Allahu Alam.
Tanggal 23 Nov besok adalah 100 harinya. Tapi ke mana BPJS yang raib masih menjadi misteri. Al Fatihah untuk mbak Anik..
Hilda Ikka
Mbak Yun, turut berduka cita untuk kepergian Mbak Anik. Aku baca ceritanya jadi ikutan sedih ngebayangin posisi Mbak Anik, berat sekali jadi breadwinner dan diam-diam menyimpan rasa sakit. :’( Semoga Allah membukakan pintu rahmat dan ampunan seluas-luasnya untuk almarhumah. Aamiin ya rabb.