Piknik

Blusukan Kampung Dolly, Eks Lokalisasi Dulu dan Kini

Blusukan Kampung Dolly, Eks Lokalisasi Dulu dan Kini – Jam masih menunjukkan pukul setengah 8 malam ketika saya boncengan motor menyusuri Jalan Putat, jalan yang tak seberapa lebar dengan kontur munggah titik alias nanjak.

“Yun, nanti kamu harus pegangan aku rapat-rapat. Kalau nggak, bahaya. Kamu bisa ditarik orang dari belakang!”

Gang Putat Jaya
Gang di Putat Jaya

Saya tidak paham, apakah ucapan itu modus lelaki atau memang upaya agar saya tidak dibawa lari orang ‘jahat’. Yang jelas, akhirnya saya menuruti perkataannya dan memegang perutnya dengan kencang.

Awalnya saya tidak menggubris. Alaah, Sejahat-jahatnya manusia, mana ada yang nekat narik-narik pengendara motor segala. Namun apa boleh buat, seumur-umur baru kali ini saya diajak keliling kota melihat kawasan yang melekat dengan label (maaf) pelacuran di Surabaya.

Ketertarikan saya mau diajak ke mari lebih ke rasa penasaran saja. Maka dari itu sengaja saya tidak bilang siapa-siapa.  Mungkin orang tua nggak melarang, tapi saya menjaga diri supaya orang lain nggak berpikiran macam-macam. Sebab tahun 2000, usia saya masih belum genap 20. Remaja model apa nekat blusukan ke Dolly?

Blusukan Kampung Dolly, Putat Jaya Dulu dan Kini

Rumah Kreatif Dolly
Bersama Pak RT dan Bu RT

Sabtu malam minggu menjadi puncak keramaian di Gang Dolly dan Jalan Jarak. Lelaki segala rupa, kaya miskin, berdompet tebel isi recehan pun, turut berbondong mendapatkan kepuasan satu malam. Tak pelak, kondisi itu membuat daerah ini persis pasar malam. Jalanan yang sempit, makin menyulitkan pengendara.

Di atas motor kami meluangkan kesabaran ekstra. Betapa tidak, tumpah ruah mobil, motor, dan pejalan kaki memenuhi badan jalan yang lebarnya hanya berkisar 5 meter. Belum kendaraan yang berhenti ancang-ancang mau parkir, juga pedagang keliling yang sulit dibelah.

Saya yang duduk di boncengan mulanya tenang. Tetapi saat motor kami berdiri tepat di aspal Jarak, hati mulai was-was. Suara musik berdentum keras dari bangunan diskotik, diiringi samar-samar bau alkohol. Alih-alih ngobrol, mata saya malah sibuk melihat pemandangan yang di mata saya aneh tapi terlihat wajar.

Hikmahnya, dalam sekejap saya dapat membaca nama-nama wisma. Tak ketinggalan pula panti pijat dan karaoke. Selesai baca satu tulisan, baca lagi yang lainnya. Tapi lama-lama tulisan itu terlewat begitu saja.

Selain mata saya lelah membaca merk wisma yang tak ada habisnya, indera saya terlampau terkesima melihat mbak-mbak (menurut saya lebih mirip ibu-ibu) berpoles merah yang sedang duduk santai di sofa dengan paha mulus ke mana-mana. Bajunya ketat minimalis, sesekali bibirnya menghembuskan lintingan tembakau. Ada yang melamun, banyak juga yang asik berbincang dengan rekannya. Semua pemandangan itu tersaksikan dari balik kaca bening di bawah sinar lampu terang.

Dalam hati saya menebak, mungkin ini yang dimaksud orang-orang sebutan akuarium. Lha terus, mereka dapat duitnya bagaimana kalau hanya leyeh-leyeh begitu? Katanya tempat prostitusi, kok gak ada yang berbuat mesum? Otak remaja saya mulai berpikir keras.

Akuarium Dolly
Akuarium Dolly dalam bentuk lukisan

Kembali ke jalan, saya melihat puluhan (mungkin ratusan) laki-laki lalu lalang. Ada yang sendiri, ada yang bergerombol, berdiri di sekitaran akuarium.

“Jarak dan Dolly tuh kayak gini ini, Yun.” Teman saya memberi penjelasan yang hanya saya jawab dengan “oohhh dan iyaa”, walaupun sebenarnya mata awam saya bingung dan berusaha meraba di mana bagian dosanya, wong semua orang hanya jalan-jalan.

Dari sekian pemandangan gemerlap, saya justru terpesona dengan tulisan RUMAH TANGGA di beberapa bangunan. Kata teman saya, rumah yang ada tulisan Rumah Tangga, artinya pyur rumah tinggal. Mereka tidak menyewakan kamar untuk hohohihe.

Susur Kampung Dolly Bersama BPIP dan Pendidik Pancasila

Saya tak menyangka piknik yang saya lakukan 20 tahun lalu itu kini jadi cerita. Setidaknya saya pernah melihat putaran roda kehidupan sesungguhnya. Dolly dan Jarak yang dulu begitu ramai, sekarang menjadi kampung yang tenang. Bukan perkara mudah juga bagi Pemerintah Kota Surabaya mati-matian menutup kawasan prostitusi terbesar se-Asia Tenggara. Jika ditanya siapa salah siapa benar, maka yang bisa menjawab adalah norma ketimuran kita.

Bothok Telur Asin
Menikmati Bothok Telur Asin rame-rame 😊

Sejak Dolly dan Jarak berhenti beroperasi, secara otomatis terjadi pengaruh besar pada perekonomian di masyarakat. Alasan inilah yang membuat warga Putat Jaya kelimpungan mengubah strategi bagaimana supaya dapur tetap ngebul. Saya pikir ini adalah tantangan yang harus  mereka lalui. Sewajarnya hidup, ada saatnya kita keluar dari zona nyaman. Siapa tau di depan sana medannya lebih lurus dan mulus.

Satu usaha yang dilakukan warga Putat Jaya adalah membangunkan kreativitasnya melalui pemberdayaan produk UMKM. Merunut istilah Jawa, yen Gelem Obah Mesti Mamah. Selama mau berusaha, pasti mendapatkan hasil.

20 tahun telah lewat, akhir minggu lalu saya mendapat kesempatan berkunjung ke Putat Jaya sekaligus menyusuri jalan Jarak Bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Pendidik Sejarah. Kegiatan yang kami lakukan adalah blusukan kampung sekaligus mengenal Putat Jaya lebih dekat. Termasuk mengunjungi rumah batik, rumah kreatif dan pesantren Jauharotul Hikmah (JeHa).

Belajar Batik Dolly

Selain Gang Dolly, Jarak dikenal sebagai tempat lokalisasi level dua setelah Dolly. Konon pekerja di Dolly orangnya pilihan, kinyis-kinyis dan cantik. Sementara Jarak terdiri dari wanita yang levelnya ‘sudah berpengalaman’ sehingga tersisihkan dari Dolly. Untuk harga, jelas mahalan Dolly! Konon lho ini..

Ada banyak inspirasi yang saya dapat selama kegiatan berlangsung. Ada kisah yang mengharukan, ada pula cerita yang menyejukkan. Yang pasti Dolly sukses menciptakan sejarahnya sendiri.

Kami sempat mencicipi Bothok Telur Asin, salah satu produk UMKM di kelurahan Putat Jaya. Kuliner yang terbuat dari parutan kelapa dibumbu rempah kemudian dibungkus dengan daun pisang ini produksi Pak Nirwono bersama warga sekitar. Pak Nirwono adalah Ketua RT yang merangkap pengurus UKM Pujaa. Bersama warganya, Pak Nirwono juga mengolah susu dan yoghurt di Rumah Kreatif yang didirikan Pemkot Surabaya.

Tak hanya menikmati Bothok Telur Asin, kami juga mengunjungi Rumah Batik di Putat Jaya Barat 8B. Rumah Batik ini dimanfaatkan warga untuk belajar membatik sekaligus menjual hasil karyanya. Saat kunjungan, kami juga diajari membatik. Sayangnya saya kurang tlaten, hehe.. batik tulisnya bagus-bagus. Selembar kain batik harganya ada yang 100 ribu Rupiah aja, lho!

Batik Dolly
Kain batik karya masyarakat Dolly dan sekitarnya

Kisah induk semang berpenghasilan 5 juta semalam

Penyebutan lokalisasi terbesar untuk Dolly rupanya bukan kaleng-kalengan, sebab jauh di dalam gang kecil sana, praktek itu merajalela. Sejak dulu saya begitu penasaran, apa dan bagaimana suatu prostitusi bisa dijadikan ajang transaksi?

Saya pun berkenalan dengan Pak Jago. Nama samaran suka-suka saya. Pak Jago ini dulunya seorang warga yang menyewakan sebagian rumahnya untuk praktek hohohihe. Rumahnya terdiri dari 2 lantai. Lantai atas dimanfaatkan khusus rumah tangga, sedangkan lantai bawah untuk ‘mbak-mbak’ bekerja.

Wisma di Eks Lokalisasi Dolly
Ruangan yang digunakan mbak-mbak saat menunggu tamu

Mbak-mbak itu siapa? Mereka adalah para perempuan yang menjual dirinya kepada para lelaki. Sebuah pengakuan yang luar biasa dari Pak Jago bahwasanya mbak-mbak itu datang ke rumahnya tanpa rekomendasi siapa-siapa. Dia datang sendiri ke Pak Jago meminta pekerjaan dan Pak Jago tidak menolaknya.

Dalam hal tamu-tamuan, Pak Jago tak membuat peraturan rumit. Berapapun tamu yang datang, mbak-mbak itu harus menyetor penghasilannya Rp. 25.000 per tamu kepada Pak Jago. Misalnya dalam semalam Mbak A menerima tamu 10 orang, berarti Mbak A harus menyetor uang kepada Pak Jago Rp. 250.000,-.

Pengakuan Pak Jago, waktu itu memiliki mbak sebanyak 11 orang. Kepada mereka Pak Jago tak meminta biaya sewa tinggal alias gratis! Secara kasar kita bisa hitunglah berapa penghasilannya Pak Jago.

“Dalam semalam, saya bisa dapat 5 juta, mbak! Semalam!!” kata Pak Jago antusias.

“Dulu uang saya dibawa lari orang 2 juta, saya biasa aja. Gak disaur gapapa, besok masih bisa dapat lagi. Tapi sekarang, duit 100 ribu dibawa lari orang, tak kejar ke mana pun, gak peduli saya mati!”

Saya terkesan ngobrol dengan Pak Jago ini. Orangnya ramah, gaya berceritanya lugas. Lebih penting lagi blak-blakan. Bahkan ketika saya minta ijin melihat kamar yang pernah digunakan tamu berasikmasyuk, Pak Jago mempersilahkan.

Kamar Tidur Eks Lokalisasi Dolly
Tempat tidur yang dulu digunakan untuk ‘anu-anuan’ dalam bentuk asli. Oleh pemiliknya sekarang digunakan sebagai gudang

Kamar ‘kerja’ itu ukurannya pas aja, sekitar 3×3 meter yang di dalamnya dilengkapi dengan ranjang semen. Iya ranjangnya terbuat dari semen, jadi bukan ranjang kayu normalnya tempat tidur. Untuk ranjang ini ada alasannya mengapa terbuat dari semen. Ada yang tau kenapa?

Yap, supaya ketika bekerja, pelayanannya maksimal. Tidak ada bunyi kriek-kriek yang mungkin ditimbulkan sehingga dapat mengganggu konsentrasi klien dan si mbaknya.

Walau ukuran kamar kerja yang digunakan secukupnya, untuk kamar mandinya lebar-an. Saya lihat baknya besar, tapi sayangnya pada saat itu layanan PAM belum ada. Untuk membilas, mereka harus membeli air ke tukang keliling.

“Dulu yang kaya di sini penjual air, mbak!” kelakar Pak Jago.

Bisa dibilang Pak Jago seorang induk semang yang sukses. Sesukses-suksesnya orang, Pak Jago merasakan betul pergulatan batin yang dirasakannya. Sampai kapan harus hidup begini terus? Oleh karenanya jika rumah yang sekarang ditinggali sudah laku, Ia ingin pindah dan tinggal di desa. “Saya sudah mblenger tinggal di sini, mbak. Saya punya anak perempuan, anak laki paling kecil masih 7 tahun”

Saya sempat bertemu dengan anaknya Pak Jago yang perempuan. Cantik, kulitnya putih dan bersih. Kami salaman, setelah itu spontan nyeletuk, “Ya ampuuun Pak, anak Bapak cantik lho!” haha.. *sayangnya saya ndak punya adik laki-laki, Pak* 😁

Tak hanya anak perempuan, anak lakinya Pak Jago juga ganteng. Usianya 7 tahun, anteng, tiap hari ikut ngaji di JeHa.

Untuk menjaga keluarganya, setiap usai Maghrib, Pak Jago mengunci pintu rumahnya dan melarang anak-anaknya keluar rumah kecuali ada urusan penting. Pak Jago menyadari meski lokalisasi sudah ditutup, lingkungannya belum sepenuhnya bersih. Hanya bisa bilang, semua kembali lagi ke urusan perut.

Rumah Batik Dolly
Saya di Rumah Batik Dolly

Blusukan Kampung Dolly menjadi cerita pengalaman yang mengesankan. Saya harap tulisan ini memberikan inspirasi kepada semua bahwa perjalanan Dolly Dulu dan Kini merupakan bagian dari sejarah. PR kita, membangkitkan semangat warga Dolly bersama-sama melanjutkan hidup menjadi lebih baik. Yuk Sobo nDolly!

25 Comments

Leave a Reply to Elliza Efina - www.rajnikala.com Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *