Hiburan

[GagasDebut] Wawancara bersama Sandi Firly, penulis Novel Lampau

Setelah kemarin saya mengupas novel Lampau, karya Sandy Firli, kini saya berkesempatan mewawancarai sang penulis.

Buat saya kesempatan ini sangat berharga mengingat sebelumnya saya belum pernah mewawancarai seseorang untuk dijadikan sebagai postingan.

Supaya lebih akrab saya panggil Sandi Firly dengan sebutan Abang. Kenapa harus Abang, karena itu permintaan Bang Sandy sendiri. Dan sepertinya panggilan Bang lebih enak didengar ketimbang saya memanggilnya Om. Bang Sandy bilang panggilan Om tidak mengesankan seorang penulis tetapi lebih kepada ‘Om-om’ berkepala agak botak, perut buncit dan mungkin nakal. Tentu saja gambaran ini berlaku buat Om dengan tanda kutip yang ada dalam fiksi. Bukan Om beneran ya.. 😀

Oke, saya mulai saja wawancaranya:

  • Apa kabar, Bang Sandi? Kesibukannya apa sekarang selain menulis novel?

Kabar baik. Kesibukan rutinitas tetap sebagai redaktur di koran harian Media Kalimantan

  • Bisa diceritakan Bang bagaimana perjalanan Abang sehingga bisa menjadi penulis seperti sekarang ini?

Proses menjadi penulis cukup panjang ya.. Sudah pasti karena suka membaca sejak kecil. Awal yakin memiliki bakat menulis, waktu di SMA sering diminta teman-teman menuliskan surat untuk cewek yang mereka taksir, walau sebenarnya keseringan ditolak juga. Tapi kukira itu bukan karena isi suratnya yang jelek, tapi karena teman saya sendiri yang jelek, haha…

  • Sebagai seorang redaktur pelaksana Media Kalimantan, bagaimana cara Abang membagi waktu antara bekerja dan menulis?

Sebagai redaktur sebagian besar pekerjaan saya pada waktu malam. Dan saya menulis novel setelah pulang kerja, biasanya di atas pukul 12 malam. Kalau tidak ngantuk, bisa sampai subuh.

  • Selama ini Abang sudah menerbitkan sejumlah cerpen di Media. Kalau boleh tau berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam membuat cerpen?

Kalau untuk menulis cerpen, waktu yang diperlukan bisa beberapa jam (mungkin juga ada penulis yang tak lebih dari satu jam), bisa sehari, bisa beberapa hari, bisa seminggu, bisa sebulan, bahkan bisa saja setahun. Kukira, penulis lainnya juga begitu. Tergantung cerpennya itu sendiri, memang bisa diselesaikan cepat atau tidak.

  • Sedangkan untuk novel lampau, bisa diceritakan bagaimana tahap-tahap penulisannya dari mulai riset, menulis, hingga self editing? Dan berapa lama total waktunya?

Novel Lampau diselesaikan sekitar 3-4 bulan.
Lampau semula berawal dari cerita pendek yang saya tulis dengan judul Perempuan Balian (cerpen ini diterbitkan koran Kompas pada Juni 2012, dan kemudian juga terpilih dan termuat dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2012)

Namun, saya merasa cerita tentang Perempuan Balian ini masih bisa saya tuliskan lebih panjang lagi dalam bentuk sebuah novel. Terlebih lagi, saya juga memiliki pengalaman terhadap setting cerita, yakni Loksado, sebuah kecamatan di pedalaman Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, yang sebelumnya sudah berkali-kali saya kunjungi.

Saya pun kemudian menarik kembali kenangan-kenangan masa lalu ketika mengunjungi kampung Malaris, Loksado, serta saat mengarungi jeram Sungai Amandit yang cukup deras dan berbatu-batu besar. Juga gunung Kantawan yang begitu menawan.

Salah satu ritual yang menarik di Loksado adalah upacara Aruh yang biasanya dilaksanakan saat akan memulai masa tanam, panen, serta pengobatan. Ritual ini biasanya dipimpin oleh seorang Balian, yang merupakan tokoh masyarakat setempat. Dan tokoh ini mesti seorang laki-laki, tdalam struktur masyarakat setempat tidak dikenal seorang perempuan menjadi Balian. Paling tinggi jabatan seorang perempuan dalam ritual ini hanyalah sebagai pinjulang, atau pembantu Balian laki-laki.

Lalu, saya kemudian mengandaikan bagaimana bila ternyata ada seorang perempuan yang memiliki ilmu setinggi seorang Balian laki-laki? Dan dalam buku referensi yang saya baca, memang ada seorang perempuan yang memiliki ilmu setara dengan seorang Balian laki-laki.

Dalam proses penulisan, saya kemudian memasukkan tokoh Sandayuhan (Ayuh), seorang anak laki-laki dari Balian perempuan bernama Uli Idang. Ayuh sendiri adalah sebuah nama dari seorang pemuda yang diyakini sebagai nenek moyang dari suku Dayak di Pegunungan Meratus dulunya. Ayuh inilah yang kemudian justru menjadi tokoh utama dalam novel Lampau. Karena memang tokoh Ayuh yang kemudian paling berkembang, mulai dari masa kecil, perjuangannya dalam mendapatkan pendidikan, hingga kemudian merantau sampai Jakarta.

  • Ketika menulis novel lampau, kesulitan apa yang pernah Abang hadapi?

Sejujurnya saya tidak mengalami banyak kesulitan dalam penulisan Lampau.

  • Novel lampau mengambil setting di Kalimantan Selatan. Untuk mendalami karakter setting ini apakah Abang harus melakukan riset dulu dengan pergi ke Kalimantan Selatan atau bagaimana, sedangkan Abang sendiri berasal dari Kalimantan Tengah?

Saya sudah lama tinggal di Kalimantan Selatan, dan memang sudah cukup sering ke Loksado, yang menjadi setting Lampau.

  • Novel lampau ini kan sebagian besar bercerita tentang kehidupan Balian. Darimana Abang mendapatkan ide membuat nama Sandayudan, Uli Idang, dan Amang Dulalin?

Nama Sandayuhan memang diambil dari nama yang konon katanya adalah nenek moyang orang Dayak pegunungan Meratus (seperti diceritakan juga di dalam novelnya). Sedangkan nama seperti Uli Idang atau Amang Dulalin, adalah nama yang begitu saja melintas di benak saya, yang saya kira memang cukup tepat dengan karakter masing-masing—karena nama orang-orang pegunungan di sana juga kebanyakan unik.

  • Novel lampau sendiri lebih banyak menceritakan tentang Balian, lalu mengapa Abang memberikan judul Lampau? Mengapa tidak Balian supaya lebih unik, begitu?

Awalnya novel ini memang saya beri judul Balian. Namun saat didiskusikan dengan editor dan redaksi GagasMedia, akhirnya dipilihlah judul Lampau— sudah pasti lewat banyak pertimbangan.

  • Bisa diceritakan bagaimana awal mulanya sehingga Abang memilih Gagas Media sebagai penerbit novel Abang yang pertama?

Lampau “berjodoh” dengan GagasMedia, karena saya sebelumnya sudah kenal dengan Gita Romadhona yang menjadi editor novel ini. Kami pertamakali bertemu saat Kongres Cerpen Indonesia (KCI) di Riau tahun 2005—waktu itu Gita masih mahasiswa di UI Depok. Nah, ketika bertemu lagi lewat chatting di Facebook tahun 2012, ternyata dia sudah kerja di GagasMedia, dan kebetulan naskah novel ini sudah hampir selesai. Lalu saya tawarkan, dan… akhirnya jadilah Lampau diterbitkan GagasMedia

  • Bagian / cerita mana yang Abang suka dan tidak suka di novel lampau?

Hahaa…sebenarnya saya suka semuanya. Tapi kalau disuruh memilih yang paling suka, saya terkadang terharu sendiri kalau membaca bagian ketika Amang Dulalin menuliskan surat kepada Anna, bule Amerika, saat perpisahan. Dan dia tidak mencuci wajahnya yang dicium Anna selama seminggu lantaran katanya, ”Bibirnya serasa masih menempel di pipiku.”

  • Seandainya memilih, Abang harus pilih siapa? gadis berkepang dua atau gadis berwajah teduh?

Nah.., justru itu, saya ingin bertanya kepada pembaca Lampau—karena sekarang saya sedang menggarap sekuel lanjutannya. Anda sendiri menyarankan memilih siapa?

  • Tuliskan pendapat Abang tentang novel lampau dalam 5 kata!

Mestinya bagian pertanyaan ini diajukan kepada pembaca. Kalau diharuskan saya menjawab, saya hanya ingin bilang, ”Ini tentang keberanian mencintai dan bermimpi”.

  • Ketika menulis novel lampau ini pesan apa yang sebetulnya ingin Abang sampaikan kepada pembaca?

Seperti terdapat di novel ini, banyak pesan (tanpa terkesan menggurui) yang bisa dipetik pembaca. Salah satunya adalah, “bahwa untuk bisa merasakan manisnya sebuah mimpi, seringkali memang diperlukan perjuangan dan pengorbanan”.

  • Bisa disebutkan 5 penulis di Indonesia yang paling Abang sukai. Dan mengapa?

Lima (5) penulis Indonesia yang saya suka; Ahmad Tohari, Seno Gumira Ajidarma, Goenawan Mohamad, dan Ayu Utami; karena merekalah yang menjadi inspirasi saya awal-awal menjalani dunia kepenulisan. Oh, baru empat ya? Satunya lagi, saya sendiri, hahaa…. Ya, sebenarnya masih banyak penulis Indonesia yang saya sukai.

  • Sebutkan 3 buku fiksi dan non fiksi yang Abang sukai!

Tiga (3) buku fiksi yang saya suka; Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Il Postino (Antonio Skarmeta), dan Of Mice and Men (John Steinbeck).  Tiga (3) buku nonfiksi yang suka: Catatan Pinggir (Goenawan Mohamad), On Writing (Stephen King), dan Pembebasan Manusia (tulisan buah pikiran terdiri dari banyak tokoh, di antara: Albert Einstein, Arnold Toynbee, Jean-Paul Sartre, John F. Kennedy, Karl R. Popper, Martin Luther King Jr, Mohammed Arkoun, dll)

  • Lebih suka mana menulis cerpen, novel atau berita?

Saya menyukai ketiganya. Namun menulis novel keasyikannya bisa dinikmati lebih lama.

  • Seandainya menulis buku non fiksi, apa yang ingin Abang tulis? Dan genre apa yang Abang pilih.

Menuliskan orang-orang pedalaman Kalimantan, dengan bentuk “jurnalisme sastrawi”

  • Apa rencana Abang selanjutnya dalam hal tulis menulis?

Saya sedang mengerjakan dua novel, salah satunya sekuel Lampau

  • Apa yang Abang lakukan ketika sedang menulis kemudian mengalami ide mandeg yang datang tiba-tiba?

Ini pertanyaan yang sering ditanyakan calon penulis yang sebenarnya juga pasti pernah dialami para penulis. Jawabannya pun bermacam-macam, dan kukira jawaban yang terbaik adalah dengan banyak membaca lagi, membaca lagi. Aku lebih suka mengistilahkan ide mandeg atau block writer ini seperti mobil mogok. Mobil yang mogok tidak akan pernah bisa bergerak apabila ditinggalkan, atau tidak ada upaya keras untuk mendorongnya. Jadi, jangan pernah tinggalkan tulisan yang sudah Anda tulis, dan terus dorong dia dengan berpikir lebih keras dan dengan segala bantuan atau inspirasi apapun agar tulisannya bisa terus bergerak, jalan, dan kembali bisa lancar.

  • Beri saran dong Bang bagaimana supaya sukses menulis buku, karena banyak teman mengeluh tidak bisa menyelesaikan novelnya

Perlu disiplin dalam menulis, dan upaya yang “keras kepala” untuk menyelesaikannya.

  • Yang terakhir, Bang. Apa pesan khusus buat teman-teman yang sedang belajar menulis fiksi

Banyak orang yang bercita-cita jadi penulis fiksi, namun sebagian cita-cita itu hanya ada dalam kepalanya tanpa upaya keras untuk mewujudkannya, dan akhirnya cita-citanya hanya menjadi fiksi. Tak ada cara lain untuk menjadi penulis (fiksi), selain menulis, menulis, dan menulis.

Itulah beberapa pertanyaan yang saya ajukan kepada penulis Lampau, Bang Sandi Firly. Orangnya ramah dan asyik diajak ngobrol. Sengaja, selain bertanya tentang debut novelnya saya juga menyelipkan pertanyaan-pertanyaan seputar dunia kepenulisan. Hal ini supaya menjadi penyemangat buat diri saya sendiri dan mungkin buat teman-teman yang membaca postingan ini agar selalu semangat menulis, terlebih lagi semangat melanjutkan draft buku yang (seperti saya) mandeg dan belum ada kabar kapan diselesaikan 😀

Supaya lengkap, dibawah ini ada penampilan Bang Sandi dengan latar cerpen karyanya

Doc. pribadi milik Sandi Firly
Doc. pribadi milik Sandi Firly

21 Comments

Leave a Reply to anita lusiya dewi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *