Cerita Yuni

Kisah Tim Inafis Polrestabes Surabaya olah TKP tragedi Bom Surabaya

Tulisan ini mengandung kengerian. Mohon dilewati bagian-bagian yang tidak tahan dibaca demi kebaikan bersama. Tulisan ini dibuat dari sudut Inafis yang dibumbui curhatan Polisi. Jika ada kalimat yang tidak sepakat mohon berkomentar yang baik 🙂

“Baru kali ini saya identifikasi jenazah ditunggui Presiden!”

“….. Mungkin saking kagetnya Pak Jokowi dengar berita bom, beliau langsung berangkat ke Surabaya. Sampai lupa mengenakan sabuk!”

Sehari setelah peristiwa bom di Polrestabes Surabaya, saya bertemu dengan Aiptu Pudji Hardjanto disela-sela waktu istirahatnya. Jeda waktu yang ia curi untuk sejenak melepas stres setelah 2 hari berjibaku dengan TKP dan jenazah.

Berdalih pulang mandi, Aiptu Pudji malah ngafe bersama saya, Mas Rinaldy dan satu teman lagi di kawasan Manyar.

Mengenakan kaos biru TURN BACK CRIME, Aiptu Pudji yang berwajah lelah menyambut kami dengan senyum lebar. Sudah setahun lebih saya tak bertemu dengan Pak Dji, polisi yang takut melihat orang sakit namun tak takut menghadapi mayat.

Saya tak menyangka kalau malam itu bertemu Pak Dji ( panggilan akrab Aiptu Pudji). Karena Mas Rinaldy janjiannya bilang ingin bertemu teman, teman apa saya juga gak nanya. Mungkin sudah rejeki saya dapat cerita eksklusif dari tim identifikasi Polrestabes hehe..

Oya, teman-teman masih ingat dengan Aiptu Pudji?

Aiptu Pudji adalah tim INAFIS Polrestabes Surabaya yang merangkap sebagai penulis buku TKP Bicara. Saya sudah pernah posting resensinya di blog ini dengan judul Resensi Buku: TKP Bicara, Catatan Aiptu Pudji Hardjanto, mengungkap kasus bermodal Rumput. Saya juga pernah mengulasnya menjadi profil dengan judul Aiptu Pudji Hardjanto, Polisi Mbois sahabat Jenazah

Saat mencuat ada gereja di bom, satu nama yang saya ingat adalah Pak Dji. Beberapa kali kami ngobrol, Pak Dji sangat menyukai aroma mayat. Ketika petugas lain mengenakan masker saat melakukan iden, Pak Dji dengan segala kebebasannya membiarkan indera penciumannya menyatu dengan jasad yang berkeping-keping.

“Dari kantor, Pak?” tanya saya.

Seperti halnya kawan lama, Pak Dji langsung menjawab satu kalimat tanya saya menjadi berparagraf-paragraf cerita. Saat-saat seperti ini yang paling saya senangi. Dengan cara ini saya bisa bebas bertanya secara detail perasaan Pak Dji saat bertugas tanpa merasa sungkan. Karena saat itulah Pak Dji tidak berperan sebagai Polisi. Tetapi sebagai masyarakat biasa.

Jadi mohon bila ada ulasan obrolan pribadi yang nyangkut jadi tulisan di sini, teman-teman bersikap bijak, ya.

“Iya, dari kantor, Mbak. Baru longgar sekarang, sejak kemarin riwa-riwi antara TKP sama Rumah Sakit”

“… Lihat, nih, saking stresnya sampai merokok. Padahal biasanya gak merokok” sambil tangannya memainkan kotak bergambar mulut berpenyakit.

Pak Dji lalu cerita kalau Senin (12/05) jam 3 pagi baru pulang dari Rusun di Wonocolo, Sepanjang, untuk melakukan olah TKP. Bom yang meledak malam hari menyusul bom 3 gereja di Surabaya membuat Pak Dji harus berjibaku ke sana ke mari.

“Niat saya selesai dari Wonocolo pulang, tidur, lalu bangun siang. Lha kok jam setengah 10 di telpon teman-teman disuruh datang ke Pos (sebutan Polrestabes). Katanya ada bom”

Pak Dji lalu membuka HPnya dan menunjukkan foto dirinya bersama seorang wartawan sedang cangkruk bersandar di dinding peti mati.

“.. ini, di Sepanjang, kemarin. Capek, bawaannya pengen tidur. Mau tidur di dalam peti gak ada bantalnya, haha..”

Begitu mendengar kantornya diserang bom, Pak Dji lalu menghubungi tim terkait untuk memastikan. Belum juga bilang halo, di sana sudah teriak, “cepet ke sini sekarang!”

“Nggak pakai mandi, Mbak, saya langsung ke kantor. Sampai-sampai baju kemarin (bekas identifikasi mayat di gereja) saya pakai lagi”

“…. wes mbuh, ambune koyok opo. Kaos ambu mayat tak gawe maneh” katanya tertawa.

Mengagetkan memang. Dalam durasi 2 hari, berturut-turut Surabaya diserang bom. Yang mengagetkan Pak Dji, kantornya juga kena sasaran teroris.

Di sela-sela obrolan, Pak Dji menunjukkan galeri smartphonenya yang berisi potongan-potongan jenazah pelaku bom Polrestabes. Salah satunya potongan punggung tangan sebatas urat nadi dengan jari-jari yang masih utuh.

Saya terpaku pada salah satu foto yang menunjukan sepuntung rokok menyala di sela-sela jari sebuah potongan tangan milik pelaku. Rupanya gambar itu adalah kerjaan usil Pak Dji bersama rekannya yang menjadikan potongan tangan sebatas urat nadi itu sebagai asbak. Dan gokilnya lagi, di depan potongan tangan tersebut, ada foto Pak Dji sedang menghadap gundukan nasi saat menikmati sarapan paginya.

“Gak gilo (ngeri), Pak, makan bersama mayat?”

“Biasa, Mbaak. Mau gimana lagi wong perut saya lapar” katanya ngakak.

Diceritakan lagi efek ledakan di pos masuk Polrestabes menyebabkan 3 rekannya dan 1 tukang parkir terluka.

“Untung petugas jaga mengenakan pengaman. Usai kejadian bom semua petugas diharapkan memakai sabuk pengaman. Kalau nggak pakai pengaman mungkin ikut tewas”

Iseng saya tanya, “Pak Dji sekarang juga pakai sabuk pengaman?”

Dengan lugas dijawab, “Nggaak. Saya nggak pakai. Saya juga nggak bawa pistol. Buat apa, nek wayahe mati, yo, mati..”

Kata-kata Nek wayahe mati, yo, mati akhir-akhir ini sering terdengar di telinga saya diucapkan oleh arek-arek Suroboyo saat menanggapi rasa takut yang menghinggapi sebagian warga kota.

Seperti yang ada di televisi, tak lama terjadi ‘beldosan’, area sekitar Polrestabes Surabaya ditutup garis polisi radius 200-300 meter. Menurut Pak Dji kondisi TKP sangat berantakan. Tetelan (daging potongan tubuh manusia) berhamburan di sekitar pos jaga. Bahkan atap gerbang masuk Polres dipenuhi dengan daging yang menempel efek ledakan.

Disela-sela obrolan, Pak Dji menerima telepon dari rekannya selama beberapa saat.

“Jadi, gimana dengan pertemuan bersama Pak Jokowi, sempat selfie, gak, Pak?”

“Naah, itu, Mbak! Saya kuepingiiiin banget foto bersama beliau. Jaraknya dengan saya, lho, cuma 3 -5 langkah. Sayang gak ada kesempatan, haha..”

Baca selanjutnya Kisah Aiptu Pudji, Tim Inafis Polrestabes Surabaya saat olah TKP tragedi Bom Surabaya (2)

7 Comments

Leave a Reply to Indira Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *