Piknik

Kalau Blogger didaulat kopdar di Kedaulatan Rakyat

Selain kebudayaan, cerita yang tak bisa dilupa akan kota Yogja adalah moda taksinya.

Tidak seperti di Surabaya, Taksi di Yogja terbilang unik. Unik bentuknya, juga unik kapasitasnya. Yang terakhir ini pastinya harus menggunakan aji-aji lobi sopir dulu supaya bisa dimuat orang banyak.

Pengalaman dengan Taksi Yogja saya alami ketika even Blogger Nusantara 2013 lalu. Ceritanya, sebelum acara berlangsung keesokan pagi, hari Jumat malam saya diajak janjian kopdar dengan teman-teman yang sudah lebih dulu datang. Siapa lagi kalau bukan ajakan dari Pakde Cholik. Namanya Kopdar Kedaulatan Rakyat (Kopdar KR)

Dari Edu Hostel, saya, Mas Rinaldi, Idah, Pak Nuzulul, dan Mimi akan menjemput Pakde terlebih dahulu yang menginap di hotel kawasan jl. Dagen. Begitu sudah ketemu, Pakde ngajak naik becak menuju angkringan di Kedaulatan Rakyat.

“Naik becak saja supaya cepat” kata Pakde.

Tapi ajakan itu ditolak halus sama Pak Nuzulul, sang penunjuk jalan kami. Menurutnya dari pada naik becak mending naik taksi. Setelah dihitung-hitung, jumlah kami total ada 6 orang. Dan dipikir lagi, mana mungkin kami naik taksi ber 6. Secara nalar sih bisa karena taksi Yogja bentuknya seperti model-model Xenia, Avanza. Namun secara umum aturannya kan cuma buat 4 orang. Dan Pak Nuzulul meyakinkan kita itu bisa diatur.

Singkat cerita, berhentilah seunit taksi di depan kami. Tanpa dikomando kami langsung berhamburan membuka pintu taksi. Pakde sudah lebih dulu duduk di jok depan disamping sopir. Saya membuka pintu belakang sebelah kiri, Mas Rinaldi membuka pintu belakang sebelah kanan. Hasilnya kami langsung duduk berbarengan, bersebalahan dengan perasaan nyaman dan tenang. Tinggal Idah, Mimi, sama Pak Nuzulul yang masih diluar. Ketika Pak Nuzulul akan melipat kursi tengah supaya Idah dan Mimi bisa masuk ke jok belakang yang kursinya sudah dimodifikasi alias tanpa kursi, Pak sopirnya tanya:

“Orang berapa Mas?”
“Orang 6, Pak. Yang 2 biar duduk dibelakang” jawab Pak Nuzulul dengan cueknya sambil melipat jok.
“Wah nggak bisa, Pak. Maksimal 4 orang saja”
“Lho biasanya bisa kok, Pak”
“Nggak bisa Pak. Nanti saya dimarahi”
“Tapi, Pak bla.. bla.. bla..”
“Iya, bla.. bla.. bla..”

Pakde: Sambil buka pintu bersiap mau keluar “Ya sudah, numpak becak saja”
Saya dan Mas Rinaldi: Berpandangan. Dalam hati bilang gini: “Yaah.. kok gak jadi, kan posisi kita sudah sempurna laksana dunia milik berdua, yang lain ngekos”

Cerita selanjutnya kami sudah melalui jalan Malioboro yang ramai meriah dengan andong bersliweran di kiri kanan kami. Angin sepoi-sepoi menyapu muka kami dengan segarnya.

Nggak jadi naik taksi. Nggak jadi naik becak. Kita naik Mersi saja, lengkapnya Mersikel alias jalan kaki.. 😀

Jarang-jarang bisa mlaku-mlaku bareng di Malioboro. Bisa foto-foto pula di bawah tulisan jalan Malioboro walaupun harus pke acara nyabotase tempat dulu saking ramainya pengunjung yang pengen foto di tempat itu.

1467247_1437697169776090_1601824364_n

“Jauh nggak sih, Pak?”
“Nggak.. deket kok. Di situ lho.. habis nyebrang rel sepur, sudah sampai di KR” kata penunjuk jalan kami.
“Nyebrang rel sepurnya lewat mana, Pak?”
“Ya lewat sini. Gini lho.. (sambil mendemokan mbrobos diantara celah-celah pagar palang kereta api yang memang bisa dilalui manusia tapi syaratnya harus memaksa ngecilin perut dulu, terutama yang punya bodi melar)

Begitu dilalui:
Saya, aman.
Idah, aman.
Pak Nuzulul, aman (sudah biasa berbuat begitu, keknya)
Mimi, aman, walau dengan sedikit pemaksaan.
Pakde, aman juga meskipun harus ngumpulin keringat dulu.
Mas Rinaldi, antara aman dan tidak secara bodi depan dan belakangnya melar berisi. Bodi belakang berisi ransel, bodi depan berisi.. hmm perut hihi..

“Jamput.. jamput.. mau pergi makan aja soro. Baru kali ini aku pergi makan harus keringatan dulu..” kata Pakde sambil nyeka keringat yang kemudian disambut tertawa ngakak oleh seluruh peserta kopdar yang berada di zona aman.

“Masih, jauh Pak?”
“Nggaaak.. itu lho didepan sudah KR..” sambil nunjuk-nunjuk dengan yakinnya
“Wes ta lah, Nduuk.. ikuti saja. begini ini kalau orang ndeso jadi penunjuk jalan, wes mlaku telungkilo tapi ngomonge dari tadi dekaaat terus…” (sudah jalan 3 kilo tapi bilangnya dari tadi dekat terus)

Setelah jalan dengan penuh liku (baca=terseyek-seyek), dengan keringat yang gak terima kalau dibilang sejagung-jagung, sampailah kami di angkringan Kedaulatan Rakyat.

Gak salah juga sih kalau Pak Nuzulul bilang nggak jauh, emang nggak jauh kok. Maksudnya nggak jauh kalau perginya naik peta. Lha.. gak jauh gimana, wong mlaku dari Jl. Dagen ke KR..

Pelajaran moral paling penting yang didapat kalau jalan sama orang yang ngerti daerah sedangkan kita sendiri nggak tau adalah jangan percaya ucapannya. Yang akhirnya malah membuat kita harus bersusah payah mengeluarkan jagung dari keringat hihi.. eh kliru, keringat sebesar jagung haha..

1451383_1437697193109421_363697072_n

26 Comments

Leave a Reply to yuniarinukti Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *