Keluarga

M

Saat mantengin rak tissu, mata saya tiba-tiba selingkuh ngelirik ke isi kereta dorong seorang Bapak yang berdiri tak jauh dari saya. Secara seksama saya perhatikan isi belanjaan itu. Lama. Lalu pandangan saya alihkan ke arah si Bapak.

Gak ada yang salah sih sebetulnya. Seorang Bapak pun punya hak untuk belanja sendiri di supermarket. Tapi saya merasa ada sesuatu yang mengganjal. Terutama barang-barang yang di beli si Bapak yang salah satunya adalah pembalut.

Saya perhatikan Bapak itu cuek aja milih pembalut. Kayaknya gak ada kesan malu atau risih. Malah justru saya nya yang sungkan sendiri hehe..

Mangapa harus si Bapak yang beli pembalut?

Kenapa bukan istrinya atau anak perempuannya yang membeli?

Teringat masa kecil saat di suruh Ibu beli pembalut di toko dekat rumah. Setiap kali menyuruh, selain menyerahkan duit, Ibu juga menitipkan pesan khusus sambil bisik-bisik: “Minta di bungkus koran ya. Bungkusnya yang rapat. Jangan sampai dilihat orang”.

Sesampai di toko, saya pun ngomongnya sambil bisik-bisik juga, supaya ucapan saya gak di dengar orang. Dan biasanya penjual langsung tanggap. Tanpa di minta, penjual akan membungkus dengan koran lebar lalu di masukkan ke dalam kantong kresek berwarna hitam.

Begitu juga saat giliran saya sudah mulai mendapatkan ‘tamu’. Selama di sekolah bawaanya selalu diam. Kalau pas pelajaran agama, diam-diam saya pindah bangku di belakang. Demi menjaga rahasia, kalau di tanya teman, saya jawab dengan  mengangkat jari telunjuk, jari tengah dan jari manis membentuk angka 3 dengan posisi terbalik. Dan mereka pun langsung paham kalau hari itu saya sedang M.

Tapi sekarang, begitu melihat ada seorang Bapak membeli pembalut, sepertinya rasa tabu itu sirna. Saya tidak tau mungkin saya nya yang terlalu katro’ dan sungkan sehingga merasa aneh sendiri. Atau mungkin karena efek lain sehingga ada suami yang rela membelikan pembalut buat istrinya.

 

27 Comments

Leave a Reply to Lidya Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *